Selasa, 27 Maret 2012

novel : DO'A SI MARJAN Bag. 2

novel : DO'A SI MARJAN Bag. 2

oleh Gurindam Kelana pada 27 Maret 2012 pukul 10:52 ·
“ KAMILAH “

                                                                                                     Cipt : iwan sekop darat

C                          F
Terangkai kata di hati
G                                C
Aku tuangkan lewat puisi
F                                 C
Coba ku guba tuk bernyanyi
G                                C
Aku hanya menghibur diri

                                             C                    F
                                         Terucap terima kasih
                                             G  &nbKp;                        C
                                         Pada pendengar ku yang sudi
                                             F                       C
                                         Ku berdoa didalam hati
                                             G                     C
Bahagia setiap hari

           E          F           C
      Sair lagu di pinggir jalan
           G             F            G
      Pecahkan menggema lantang

           F          C                      G          A
Reff :  kamilah orang di pinggiran jalanan
            F              G                   C
       Lantang suara mengikuti jaman
            F          C         G          A
kamilah orang di pinggiran jalanan

     C     G       A
Bernyanyi di jalan
            F          C          G       A
kamilah orang di pinggiran jalanan
     F          C         G         A
Memandang alam indahnya di alam
            F          C            G          A
kamilah orang di pinggiran jalanan
F          G         F          G  Knbsp;         C
Menggenggam satu mimpi untuk di angan

( lagu kamilah dapat dilihat di you tube di pencarian iwan sekop darat )

            Ketika marjan sudah mahir bermain gitar ia coba mengubah satu lagu tersebut ia buat untuk menghibur hati opungnya, satu lagu yang ia ciptakan khusus buat opungnya, opungnya selalu tersenyum di balik wajahnya yang senja mendengar lagu yang dinyanyikan cucunya, dalam bahasa melayu pesisir yang kocak.


Talantang, talungkup tangan

                                                                                                     Cipt : iwan sekop darat

Ikutkan gorak kakinyo
Ikutkan gorak badanyo
       Talantang talungkup tangan
Siapo yang samo dio yang kalah

                 Pormainan untuk anak
                 Golak tawo bahagio
                 Sampai duo yang kalah
                 Biarkan dia menjual madah


Golik balago dari bilek
Batinguk nyamuk rasa nak marah
Golik rasonyo hati nenek
Maninguk atuk salua merah

                 Makan dibilik di bori gulo
                 Bajayo samseng kokok laksmano
                 Biarkan nenek golik rasonyo
                 Yang ponting atuk totap bagayo

( lagu talantang talungkup tangan dapat di lihat di you tube di pencarian iwan sekop darat disini penulis menyanyikan dalam diaoloq bahwa melayu pesisir dengan tidak mengganti dari makna atau arti lagu itu sendiri ).

Pagi minggu yang cerah kicau burung bersahutan, embun masih tersisa di rerumputan, geliat kota masih merenggangka urat syaraf nya, sinar lembut sang surya menaungi dunia, ultra violetnya  memencarkan kesegaran bagi jiwa dan raga yang berjemur di bawah sinar pagi sang surya di halaman belakang rumah mereka si marjan masih menyisiri pisang yang baru di tebangnya.
Di hari libur ini halimah, maymunah,mukdin, dapot, dan dolah telah merencanakan main kerumah marjan sekedar kumpul bersama, masak dan makan siang bersama marjan sengaja menyisisri pisangnya agar bisa digoreng dan disuguhkan kepada sahabatnya.
Tak lama sahabatnya pun telah berkumpul dirumah marjan, halimah dan maymunah membawa belanjaan, yang akan mereka masak bersama-sama. Di halaman belakang mereka bercanda dengan obrolan-obrolan ringan diselingi canda membuat yang mendengar bisa tersenyum melihat tingkah anak-anak tersebut.
“ assalamualaikum”.
“walaikum salam wr. Wb “
jawab marjan beberapa dan sahabatnya, dari samping sumah marjan berjalan menuju arah suara di depan rumah.
“ copat datang nyo incek umar “  ujar marjan memulai pembicaraan.
“ iyo jan, tadi mengantar jagung samo wak alang, sokalianlah mengantar kesini, mengapo hanyo duo puluh biji kau mamosan, apo bakurang sekarang baniago ?
“ tanyak incek umar langganan jagung marjan
“ tidak lah incek, hari ini aku tidak barjualan, tak ado pun orang yang berpesta, aku mamosannyo, untuk di makan sajo samo kawan-kawan, lagi pun biar sajo tadi aku yang menjemput nyo .” yukas marjan.
“taka o-apo lah jan, sekali jalan “
“ ayoklah incek umar kito bakombur ( cerita-cerita ) di bolakang opung pun dibolakang lagi bajamur biar sogar katonyo sekalian kita makan goreng pisang “
“ iyo lah jan “

Incek umar pun berjalan mengikuti marjan yang membawa jagung dari belakang, dan duduk di kursi panjang buatan marjan bersama sahabat-sahabat marjan di halaman belakang bertedu di bawah pohon  jambu tak lupa marjan pun mengajak roama anak pak lokot bergabung bersama mereka kepada pak lokot dan istrinya pun marjan mengajaknya untuk makan siang nanti di rumahnya karena sahabat-sahabat marjan banyak masak hari ini, roma pun bergabung dengan mereka di rumah marjan membantu halimah dan maimunah menyiapkan makan siang.
“ marjan, yang banyaklah kau buat hari ini, ado pisang goreng, jagung bakar, tak tolap nanti perut ini “sela dolah.
“  dolah, goreng pisang lah, bukan pisang goreng macam mana pulak lah kau ni bah ! “ celutuk dapot.
“ entah kau ni dolah, dari kecil tak ad betulnya , dari dulu kan sudah tau sepak bola bukan bola sepak, ora ngaeri koe.” Tambah mukdin.
“ iyo pulak yo ,” jawab dolah sedikit bengong tang laen pada tertawa semua melihat ekspresi wajah dolah.
“ tak apo-apo lah, sekali-sekali bukan tiap hari, kalau tiap hari batumpuran ( rugi ) Bandar “sela marjan di ikuti dengan gelak tawa sahabat incek umar dan opung marjan
“ incek, aku ondak batanyo samo incek “ ujar dolah kepada incek ( paman ) umar.
“ ondak botanyo apo ?”
“ mangapo kota ini di namokan kisaran, tau incek sejarah caritonyo” tukas dolah lagi.
  Sesaat incek umar terdiam tak lama ia berkata “…menurut cerito orang dulu, namo kisaran ini di ambil dari nago yang berkilau yang di lihat punduduk dulu”
“  bah ! macam mana cerita itu pak, ada pulak naga di daerah ini .” Tanya dapot penasaran.
“ batanyo-batanyo sajo kaudapot, jangan manyongak orang tuo, biso kualat kau, “ celutuk dolah kocak kembali teman-teman yang lain jadi tertawa.
“ sudah-sudah kita dengar dulu cerita bapak ini, yo uwes pak diceritakan “ ujar mukdin dengan logat jawanya yang berbaur dengan dialek asahan.
Incek umar pun memulai ceritnya,
Menurut cerita rakyat bahwa nama kisaran di ambil dari nama sebuah perkampungan yang disebut kampung kisaran naga.
“ jaman dahulu pada suatu hari turun hujan dengan lebatnya, petir sambung menyambung di langit, membuat kelatan yang menakutkan saling bersambaran, angin bertiup sangat kencang, kayu ara dan pohon kelapa di tepi sungai bertumbangan, sehingga orang2 kampung pun berhamburan keluar dari rumah karena takut tertimpa pohon. Air-air sungai meluap mendadak naik sampai ke biir sungai. Dalam kepanikan itu tiba-tiba salah seorang warga melihat ada makhluk yang berkisar di bawah timbunan pepohonan yang tumbang dan rumput kelayau pun terkuak seolah-olah ada yang menyeruak. Warga tadi pun berteriak “ naga berkisar naga berkisar “, orang kampung pun segera mendekati orang yang berteriak sambil berkata “ mana ular naganya, mana ? “,warga yang pertama melihat menunjukkan ke arah tumpukan pepohonan yang tumbang dan berujar “itu di sabolah situ”
Mereka pun melihat dengan jelas seekor ular naga besar seperti naga. Tubuhnya bahkan lebih besar dari pohon durian yang sudah tua. Tubuh tersebut sangat panjang telah terselimuti dengan lumut dan rerumputan di atasnya. Ualr naga itu terus bergerak berkisar dengan mengibas-ngibaskan ekornya untuk menyingkirkan pepohonan yang menimpa tubuhnya. Lalu ia menuju ke sungai yang sudah meluap dan menghanyutkan diri ke hilir sungai silau sampai ke muara sungai asahan di tanjung balai.
Marjan dan teman-temannya mendengar cerita incek umar dengan seksama, kepada teman-teman marjan pun berkata “ nanti sajo kalau kito ingin mandongar sajarahnyo lebih luas mengenai kisaran,asahan,dan rajo-rajonyo siapo tahu pak lokot dapat menerangkanyo.
Tadi sewaktu manjomput rona ayahnyo sakalian ku undang untuk makan basamo kito.
Siangnya pak lokot dan isterinya pun makan siang di rumah marjan yang di masak oleh teman-temannya, menurut pak lokot semacam acara reunian dapat berkumpul dan makan bersama dengan anak-anak didiknya dulu di bangku sekolah dasar. Marjan dan teman-teman yang lainnya jadi terharu karena memang pak lokot adalah guru mereka yang mengajar di bangku sekolah dasar yang pernah bertanya cita-cita kepada mereka, sebagai tenaga pendidik mereka tahu pak lokot sangat baik kepada anak didiknya.
Tak lupa mereka bertanya mengenai sejarah kota kisaran,asahan dan raja-raja yang dulu memimpin di tanah tersebut.
Kepada marjan dan para sahabatnya, pak lokot mulai menerangkanya. Kisaran merupakan ibu kota Kabupaten Asahan, Propinsi Sumatera Utara. Kisaran meliputi dua Kecamatan yaitu Kota Kisaran Barat dan Kota Kisaran Timur. Kota Kisaran di lintasi oleh jalan raya lintas Sumatera dan juga terletak di jalur Kereta Api Sumatera bagian utara.
Status kota Kisaran sebelumnya adalah kota Administratif, yang kemudian dihapuskan menjadi Kecamatan biasa pada tahun 2003, karena tidak memenuhi persyaratan peningkatan daerah otonomi.
Marjan dan para sahabat mendengarnya dengan seksama penjelasan dari pak lokot dan beliau kembali berkata “ rona, coba kau pulang dulu sebentar kau ambil buku bapak yang bersampul plastic itu di situ ada tertulis tentang Kabupaten Asahan dan raja-raja yang dulu memerintah di tanah Asahan.
“ iya pak “ jawab rona. Ia pun beranjak dari duduknya berjalan dengan sedikit tergesa-gesa menuju rumahnya untuk mengambilkan buku yang di bilang ayahnya ± menit rona telah kembali di rumah marjan dan menyerahkan buku tersebut pada ayahnya yaitu pak lokot. Pak lokot pun membuka halaman dari buku itu ia kembali menerangkan.
Kabupaten Asahan adalah sebuah Kabupaten yang terletak di Sumatera Utara Indonesia. Kapupaten ini beribu kotakan Kisaran dan mempunyai wilayah seluas 4.581 km e sup 2 penduduknya berjumlah 935.233 ( sensus 2003 ).
Asahan juga merupakan Kabupaten pertama di Indonesia yang membentuk lembaga pengawas pelayanan umum bernama Ombudsman.
Dearah Asahan melalui SK Bupati Asahan No. 419 – HUK/tahun 2004 tanggal 20 oktober 2004, secara astronomi Kabupaten Asahan berada pada 2˚03¹-3˚26¹ lintang utara. 99011-1000 01 bujur timur dengan ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut.
Penduduk kabupaten asahan sebagian besar bersuku melayu 75 % , sering juga di sebut melayu asahan, atau melayu batu bara,
Batas-batas wilayah nya Sebagai berikut :
Di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten batu bara dan selat malaka
Di sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten toba samosir dan kabupaten labuhan batu utara
Di sebelah barat  berbatasan dengan kabupaten simalungun  dan kabupaten batu bara
Di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten kota labuhan batu utara dan selat malaka
Adapun Bapak Bupati yang perna menjabat di kabupaten asahan adalah :

Abdullah Eteng ( 15-3-1946 s/d 30-1-1954 )
Rakutta Sembiring Brahmana (1-2-1954 s/d 29-2-1960)
H. Abdul Azis ( 1-3-1960 s/d 3-5-1960)
Usman J.S ( 4-5-1960 s/d 10-5-1966)
H.Abdul Manan Simatupang ( 11-5-1966 s/d 31-1-1979)
Drs. Ibrahim Qani ( sebagai pelaksana bupati 1-2-1979 s/d 2-3-1979)
Dr. Bahmid Muhammad (2-3-1979 s/d 2-3-1984)
H. A. Rasyid Nasution, SH ( sebagai pelaksana bupati 2-3-1984 s/d 17-3-1984)
Abdul Wahab Dalimunte,SH (sebagai pelaksana bupati 17-3-1984 s/d 22-6-1984)
H. Zulfirman Siregar ( 22-6-1984 s/d 22-6-1989)
H. Rohid Sitohang Periode I (22-6-1989 s/d 22-6-1994)
H. Rohid Sitohang Periode II (22-6-1994 s/d juli 1994)
Drs. H Fahrudin Lubis ( sebagai pelaksana bupati 7-1999 s/d 12-1-2000)
Drs. Hakimil Nasution ( sebagai pelaksana bupati (12-1-2000s/d 25-3-2000)
Drs. H. Risuddin ( 25-3-2000 s/d 25-3-2005 )
Drs. H. Taufan Gama Simatupang, MAP ( sebagai pelaksana bupati 25-3-2005 s/d 8-8-2005)
Drs. H. Risuddin ( 8-8-2005 s/d 19-8-2010 )
Drs. H. Taufan Gama Simatupang, MAP (19-8-2010 s/d sekarang )

Tak lupa pak lokot pun menambahkan dalam penjelasannya mengenai sejarah raja-raja  yang berkuasa di tanah asahan.

Sejarah kerajaan Asahan bermula ketika Sultan Aceh, Iskandar muda melakukan perjalanan ke Johor dan Malaka pada tahun 1612 m. dalam perjalanan menuju tujuan tersebut rombongan raja beristirahat di sebuah kawasan di hulu sebuah sungai yang kemudian dinamakan Asahan, dan kembali melanjutkan perjalaan kesebuah daerah yang berbentuk tanjung yaitu daerah pertemuan antara sungai asahan dengan sungai silau, di tanjung tersebut sultan Iskandar bertemu degan raja simargolang, sebagai tempat menghadap kepada raja, di daerah tersebut kemudian di bangun sebuah pelataran atau balai, dalam perkembangannya daerah ini menjadi perkampungan dengan nama tanjung balai, karena letaknya strategis di lintasan jalur perdagangan antara aceh dan malaka maka tanjung balai berkembang pesat.
Dari pertemuan kedua raja tersebut hubungan mereka semakin erat di tambah juga perkawinan sultan iskandar muda dengan salah seorang putri raja samargolang, dari perkawinan tersebut kemudian lahir seorang anak laki-laki yang bernama abdul jalil. Kelak abdul jalil inilah yang menjadi sultan asahan pertama pada tahun1630 M. dalam perjalanan sejarah karena adanya ikatan kekerabatan dengan aceh hingga awal abad ke 19 M. pada 12 september 1865 M. asahan di taklukkan oleh colonial belanda, setelah Indonesia merdeka asahan bergabung dengan NKRI pada tahun 1946
Selain dengan aceh , hubungan kesultanan asahan dengan kerajaan batak pun terjalin dengan sangat baik.
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa di tanah asahan .
Sri Paduka Raja Abdul Jalil I bin Sultan Iskandar Muda Johan berdaulat
Sri Paduka Raja Said Shah bin Raja Abdul Jalil
Sri Paduka Raja Muhammad Mahrum Shah I ibni Raja Said Shah
Sri Paduka Raja Abdul Jalil Shah II Raja Muhammad Mahrum Shah
Sri Paduka Raja Deva Shah Ibni Abdul Jalil Shah II
Sri Paduka Raja Said Musa Shah Ibni Raja Deva Shah
Sri Paduka Raja Muhammad Ali Shah Ibni Raja Deva Shah
Sri Paduka  Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah I Ibni Sultan Muhammad ali Shah
Sri Paduka  Tuanku Sultan Ahmad Shah Ibni Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah
Sri Paduka  Tuanku Al-Hajj Abdullah Nikmatullah  Shah ibni Raja Muhammad Ishak Raja Kualuh dan Kidong.
Juga yang di pertuan muda diasahan ia ditunjuk oleh belanda setelah saudaranya sultan ahmad shah di turunkan secara paksa.
Sri Paduka  Tuanku Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II Ibni Tengku Muhammad Adil
Sri Paduka  Tuanku Sultan Shah  ibni Abdul Jalil Rahmad Shah III Ibnu Sultan Muhammad Husain
Pak lokot pun selesai menerangkan sampai di situ, hari ini banyak yang dapat di petik hikmahnya dari penjelasan incek umar dan pak lokot, marjan dan para sahabat mendapat pelajaran yang sangat berguna.
Karena hari telah semakin sore mereka semua pamit kepada marjan dan opungnya untuk pulang kerumah masing-masing.

Teng, teng, teng lonceng istirahat pertama berbunyi kelas, selesai guru menerangkan  mata pelajaran dan keluar dari kelas, di ikuti dengan siswa yang setenga berlari kearah kantin sekolah, dolah, mukdin dan dapot segera menghampiri sahabatnya yang masih duduk malas dibangkunya.
“ ayo, jan kekantin kita “ ujar mukdin
“ alamak , yang semangat kau jan ! “ sela dapot
“ dululah kalian aku menyusul” jawab marjan
“ mengapo incek ? “ tukas dolah penasaran
“ tak ado lah, agak domam sajoku ini “
“ iyo lah, istirahat kau dulu, kami kekantin yo “
Imbuh dolah  lagi, marjan hanya mengangguk mereka pun berlalu dari hadapan marjan, marjan masih duduk di bangku kelasnya, ia memandang keluar dari pintu kelas yang terbuka, ia melihat seseorang gadis yang berjalan dengan tergesa-gesa karena di goda tiga anak lelaki, gadis itu berhenti menghentikan langkahnya namun tiga pemuda itu terus mengganggu gadis itu, dari sudut ekor matanya marjan terus mengamati gerak tiga pemuda tersebut ia tau gadis yang di goda ketiga pemuda itu adalah roma kakak kelasnya dan juga tetangganya yang sangat baik dengannya, marjan segera beranjak dari bangkunya berjalan ke arah roma yang di ganggu ketiga pemuda yang tak lain kakak kelasnya, tepat didepan mereka marjan menghentikan langkahnya, sepasang mata yang telah memperhatikan marjan ia sengaja mengikuti marjan dari belakang, ketika ia ingin masuk ke dalam kelas dan menemui marjan ternyata marjan telah melangkah ke luar kelas.
“rusli cobalah sedikit kau hargai parampuan.biarkan roma lewat, ujar marjan dengan nada tertahan.
“ o,… nggak senang kau rupanya, atau kau suka sama roma,” hardik rusli kakak kelas marjan dan juga teman satu tim sepak bola dalam naungan sekolah, memang semenjak marjan, dolah, mukdin dan dapot bergabung dalam tim sepak bola sekolah, rusli merasa tersaingi, rusli merasa pamornya seakan pudar oleh sepak terjang mereka di tim sekolah.
“ maafkan aku rusli, aku tak ado hubungan apo-apo sama roma, dio dia sudah ku anggap macam kakakku sendiri, lagi pun kami bertetenggo, “ jawab marjan tenang.
“ ok, mau jadi pahlawan kau ! tukas burhan.
“ wah kayaknya adi kelas sekarang makin ngelunjak sela sofyan sahabat rusli.marjan hanya melirik sekilas mereka.
“ oke, kalau kau memang ingin menjaga kakak mu ini, aku tak akan mengganggunya lagi, tapi ada syaratnya,” rusli menggantungkan perkataannya.
“ apo syaratnyo “
“ syaratnya kau ku tampar dua kali, aku hanya ingin lihat keteguhan dan pengorbanan kau.
“ marjan ..jangan “ pinta aroma.
   Dengan wajah dingin marjan menatap lurus ke arah rusli, ada rasa ngeri yang menyelinap di hati rusli ketika beradu pandang dengan mata elang milik marjan.
“ kalu begitu syaratnyo aku tarimo,tapi pegang janjimu yo “
“ sudah marjan jangan kau ladeni mereka “ dolah, roma berharap.
Namun marjan telah bulat tekadnya berdiri kokoh di hadapan rusli, burhan, dan sofyan. Anak-anak yang lain mulai melihat kea rah mereka.
Rusli merasa menang dengan permainan yang mereka buat. Sementara burhan dan sofyan tersenyum mengejek kea rah marjan. Marjan masih diam dan tak bergeming.
Sementara roma sudah menangis dan lari masuk ke dalam kelasnya. Ketika semua perkataannya seolah tak di gubris marjan mereka berdiri tak jauh dari kelas roma.
“ plak-plak….bak buk “ suara tangan yang keras menerpa wajah secara beruntun dan di akhiri dengan dua buah tinjuan keras ke arah perut membuat marjan sedikit terbungkuk. Dengan cepat marjan kembali ke posisi semula. Sepasang mata sayu yang melihat dari jarak yang tidak begitu jauh secara reflex terpekik tertahan dengan menutup mulutnya dengan kedua tangannya,ternyata sepasang mata itu milik halimah. Ketika ia di beri tahu oleh mukdin,kalau marjan masih di kelas. Dolah juga menyatakan bahwa hari ini sepertinya marjan kurang enak badan,mendengar itu halimah pun segera kembali ke dalam kelas. Dan ternyata ketika ia berjalan di koridor marjan telah keluar dari kelas dan halimah membuntutinya. Setelah melihat kejadian itu halimah langsung berlari ke arah kelasnya. Tak terasa sebulir air mata jatuh di pipinya. Setetes darah segar menetes di sudut bibir marjan dengan cepat ia menyekanya.
“ pogang janji kau rusli dan tarimo kasih syaratnyo” tukas marjan jantan. Ia pun membalik kan badannya dan berjalan menuju kelasnya.
Rusli, burhan, dan sofyan hanya terbengong sesaat seakan ada rasa penyesalan yang mendalam di hati rusli,setelah melakukan tindakan yang tidak terpuji tadi. Dengan masih membawa rasa kesal mereka pun masuk ke dalam kelas.
Ketika lonceng istirahat kedua marjan meminta izin kepada wali kelasnya untuk pulang dengan alas an kurang enak badan,gurunya pun mengizinkan marjan untuk pulang. Sebelum pulang tak lupa dolah, dapot, dan mukdin mengingatkan marjan untuk beristirahat di rumah. Marjan pun pulang ke rumah di saat jam pelajaran belum usai. Dan pada jam istirahat kedua juga tutik teman roma menceritakan kepada mukdin, dapot, dan dolah apa yang ia lihat semua. Antara marjan dan rusli dan kedua temannya. Dengan jelas tutik mengatakan bahwa marjan di tampar dan di pukul guna membela roma. Di tampar dan di pukul sedemikian rupa marjan tidak mundur bahkan tidak bergeming saat itu.
Tutik yang menambahkan bahwa marjan tidak melawan karena ia menyanggupi syarat yang di ajukan rusli tersebut. Sebagai sahabat mereka tahu marjan tidak pernah membuat masalah. Namun jika masalah tersebut datang marjan tidak pernah mundur walau setapak. Selagi itu masih di jalan yang benar, marjan tidak akan pernah takut kepada siapa pun. Ini di buktikan ketika mereka masih SD disaat mukdin, dapot dan dolah di keroyok anak kampung sebelah, marjan yang melintasi jalan tak jauh dari pengeroyokan itu segera meleraikan mereka. Namun anak kampung sebelah malah mengeroyok marjan. Satu pukulan telak ke arah ulu hati membuat seorang anak ampung sebelah terkapar hingga teman-temanya yang lain merasa ciut nyalinya untuk kembali mengeroyok marjan. Mereka pun berlarian menjauhi marjan, dapot, dolah dan mukdin sambil memapah temannya yang tadi terkapar. Disaat itu mukdin bertanya dari siapa marjan belajar ilmu bela diri hingga dapat bertahan sedemikian rupa di keroyok anak kampong sebelah marjan pun mengatakan ia belajar ilmu bela diri dari pak lokot.Akhirnya bersama dapot, dolah, dan mukdin mereka bersama belajar ilmu bela diri dari pak lokot.
Pak lokot mengajarkanya kepada marjan, karena ia tahu marjan besar di jalanan dan di pajak setidaknya dengan ilmu bela diri yang marjan miliki ia dapat mempertahankan dan menjaga dirinya dan sampai saat ini mereka masih berlatih bersama.
Atas perlakuan rusli, burhan dan sofyan kepada marjan. Dapot, mukdin, dan dolah menunggu mereka di luar gerbang sekolah. Dolah dan kedua temannya ingin membuat perhitungan kepada rusli, burhan dan sofyan.
Perkelahian tersebut tak dapat terelakkan lagi. Diluar gerbang sekolah anak-anak yang lain membuat lingkaran melihat perkelahian yang menegangkan itu 3 lawan 3.
Tidak lah sulit bagi dolah, mukdin dan dapot mengalahkan rusli, burhan dan sofyan.
Dengan beberapa kali gebrakan saja rusli dan kedua temannya sudah jatuh terkapar denagn wajah babak belur. Mereka pun akhirnya minta maaf kepada dolah, mukdin, dan dapot atas perbuatan mereka kepada marjan pagi tadi. Maaf mereka di tolak mentah-mentah oleh dapot. Dolah mengatakan jika mereka ingin minta maaf, maka mereka harus minta maaf kepada marjan. Mukdin juga menambahkan bahwa jika memang marjan ingin unjuk kebolehan di serang secara bersamaan pun belum tentu dapat mengalahkan marjan.
Kini barulah rusli dan kedua temannya sadar dengan siapa mereka berhadapan, untung saja dolah dan kedua temannya mengingatkan. Seandainya sahabat-sahabat marjan sesama pedagang baik di pinggir jalan dan di pasar mendengar marjan di perlakukan sedemikian rupa oleh rusli dan kedua temannya dan mereka tidak terima,mungkin saja rusli dan kedua temannya akan menjadi bulan-bulanan sahabat marjan. Walau marjan tidak pernah minta bantuan pada teman-temannya sebagai rasa persahabatan dan solidaritas mereka akan melakukan perhitungan atas inisiatif sendiri.
Sore harinya dengan wajah yang masih bengkak rusli dan kedua temannya datang ke rumah marjan untuk meminta maaf pada marjan. Marjan pun menyesali tindakan dolah, mukdin dan dapot yang menghajar rusli dan kedua temannya itu. Tak lupa marjan pun minta maaf atas perbuatan sahabatnya itu karena memang sama sekali tidak tahu dan tak memberi tahu kepada sahabatnya kejadian tadi pagi.
Akhirnya mereka pun saling berpelukan. Tak lama dapot, dolah dan mukdin serta halimah dan maymunah jug aroma pun datang ke rumah marjan. Mereka pun saling bersalaman dengan rusli dan kedua temannya itu penuh denagn tawa dan canda.
Opung marjan juga mengingatkan untuk dapat selalu menahan diri,menyelesaikan masalah tidak harus berujung dengan perkelahian/kekerasan.
“ tak ado paedahnyo batumbuk, monang pun jadi arang kalah pun jadi abu “ nasehat opung marjan. Karena senja kian temaran mereka pun pamitpulang kepada marjan dan opungnya. Kembali ke rumah masing-masing dengan membawa renungan hati atas nasehat yang di katakan opung marjan sebagai intropeksi diri.
Bulan masih mengambang, bintang bergelayut mesra pada titian cakrawala, hembusan angin malam menyapa lembut mengusap perlahan menerpa raga.
Marjan masih terjaga berteman gitar. Ia bersenandung syahdu di keremangan akan kecintaanya pada sepak bola ia mengubah satu lagu yang berkisah akan semangat yang tak pernah padam.
Susunan kata ia rangkai dalam kalimat pada alunan nada ia untai sedemikian rupa hingga satu lagu tercipta.


“ Tunjuk bahwa kau bisa “                                Cipt: iwan secopdarat
  C          G
Jika hari ini
               F                      C
Tendangan mu tak merobek langit
    F                                C
Jangan surutkan semangatmu
   G                     C
Setidaknya hari ini
               F          G         C
Kau lebih baik dari kemarin
  C          G
Buat hari esok
   F                      C
Lebih baik dari hari ini
                           F                      C
Bersatulah menuju cita
          G                     C
Tunjukkan lah pada dunia
          F                      G         C
Tendanganmu membelah angkasa
   C         G         F          A         C
Kau punya harimau dari sumatera
               F          C         G         C
Gagahnya sang elang dari pulau jawa
    G        F         A        C
Kau miliki merak di Kalimantan
    F         C         G         C
Seindah cendrawasih dari irian
   C              A                F                 C
Gol gol gol gol ai ya….ya…ya..ya…ya…ya…
Gol gol gol gol ai ya,,,ya,,ya,,,ya,,,ya….ya….
G         C
Tunjukkanlah
( lagu tersebut dapat di lihat di you tube pencarian iwan secopdarat )
Selesai menyayikan lagu tersebut yang berjudul “ tunjuk kau bahwa bisa “ marjan kembali memetik dawai gitar dengan jemarinya. Marjan pun menyayikan satu lagu ia gubah sebagai semangat sahabat puterinya ( halimah, maymunah, dan roma ) yang sedang bertanding membela nama sekolah dalam pertandingan voly se-SMU Kabupaten Asahan.
Di lagu tersebut marjan berkisah akan semangat yang tak pernah padam di hati generasi penerus bangsa yang selalu mengutamakan nilai-nilai sportivifitas dalam bertanding dan berharap menjadi yang terdepan.
Para sahabat pernah mendengar lagu yang di nyanyikan marjan dan mereka sangat menyukai lagu itu. Satu lagu yang di nyanyikan dengan semangat oleh marjan.

               “ Jadilah nomor satu “
                                                                                       Cipt: iwan secopdarat
Amy          Dmy              Amy
Putera puteri bumi pertiwi
   B                     Amy
Semangat raihlah prestasi
   Amy           Dmy             Amy
Putera puteri bumi pertiwi
               B                     Amy
Majulah harumkan nama negeri
   G         B         Amy      Dmy
Bertandinglah dengan jujur
   G                     B         Amy
Berjuanglah pantang mundur
Reff*          B         Dmy
Tunjuk kebolehanmu
   Amy      Dmy
Berlatih jangan ragu
   B         Dmy
Jadi lah nomor Satu
   Amy      G         Dmy
Ku yakin engkau mampu
   B                     Dmy      Amy                              Dmy
Ai ya ai ya ai ya o, ey ya…ey ya…………..ey ya o
   B                     Dmy      Amy                              Dmy
Ai ya ai ya ai ya o, et ya…ey ya…………..ey ya o
( lagu jadilah nomor satu dapat di lihat di you tube di pencarian iwan secopdarat )


Pada perlombaan karya tulis yang di selenggarakan pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Asahan marjan pun ikut dalam perlombaan tersebut.
Lomba karya tulis itu bertemakan tentang cita-cita di masa depan yang di buat dalam bentuk karangan atau cerita.
Lomba tersebut di peruntukkan buat lembaga-lembaga sekolah yang berada di Kabupaten Asahan agar para siswa lebih dapat berimajinasi dalam cita-cita yang ia tuang dalam karangan bebas. Untuk lomba ini hadiah pertama mendapatkan uang tunai Rp. 2 juta di susul juara ke dua dengan hadiah uang tunai Rp. 1 juta, sementara juara ke tiga cukup puas dengan hadiah uang tunai sebesar Rp. 500 ratus ribu.
Bukan hanya marjan,para sahabatnya pun ikut berpartisipasi dalam lomba ini.
Marjan  pun mulai menulis, sepenggal kisahnya ia tuang dalam tulisannya, bercerita akan cita-citanya yang berlapis doa ingin memberangkatkan opungnya ke tanah suci memenuhi panggilan ilahi menunaikan rukun yang telah di tetapkan.
Dengan uang tabungan yang ia kumpul dari kecil dari berjualan jagung bakar  dan menjajakan goreng pisang, di tambah uang yang dikirimi ayahnya muda-mudahan dapat mencukupi untuk mengongkosi opungnya ketanah suci, ia yang dari kecil tidak pernah melihat ibunya dan merasakan belaian kasih ibu, selalu merindukan sosok ibu yang hanya ia dapat dari opungnya, atas kerinduan ini ia tuangkan lewat puisi.









Ibu …
Yang melahirkanku
Maafku tak sempat membalas budimu
Ibu …
Yang melahirkanku
Doa ku bermuara di namamu
Banyak yang kan kuceritakan
Ketika aku membaca warna dunia
Banyak yang akan ku ceritakan
Ketika aku membaca ilmu agama
Kakiku menapak jalan
Tiada lelah aku berjuang
Mataku menatap harapan
Tiada letih aku bertahan
Tanganku meraih angan
Tiada terbuaiku dalam khayalan
Hatiku mendekap iman
Yang  ditanamkan sejak dalam kandungan
Ibu…
Yang melahirkanku
Biarkan semua cerita ini kan kusimpan
Danku katakana nanti
Di hari kemudian
Di ruang-ruang surga
Pada taman khayangan
Keindahan yang hakiki
Tepatri di kemuliaan
Sembah sujudku dalam bayangan
Padamu ibu yang melahirkanku
Marjan



Tak lupa marjan  menambahkan sair terkait berirama pada puisi lama di karya tulisannya.

Sekuntum kembang diwadah
Melarung jua di madah
Merangkum tangan tengadah
Menjunjung doa di sembah
                           Melarung jua di madah
                           Hakikat pada hakiki
                           Menjunjung doa di sembah
                           Kepada zat yang maha tinggi
Hakikat pada hakiki
Terpatri betuas tepi
Kepada zat yang maha tinggi
Berpada diri melapis hati
                           Terpatri betuas tepi
                           Berselah di ruang inti
                           Berpada diri melapis hati
                           Bertanya kasih sayang sejati
Berselah di ruang inti
Sireh disulam cindai biru
Bertanya kasih sayang sejati
Beroleh makna cinta ibu
                           Sireh disulam cindai biru
                           Wadah belanga ku mamagari
                           Beroleh makna cinta ibu
                           Fatwa pujangga yang abadi


Di dalam karya tulisannya pun marjan mengatakan dan berangkat ketanah suci  dan menyempurnakan rukunnya mudah-mudahan opungnya menjadi  muslimah yang sejati mencukupi rukun pada lapisan iman yang hakiki.
Seminggu kemudian para siswa yang ikut lomba tersebut berkumpul di lapangan, ribuan siswa memadati lapangan menenti pengumuman pemenang dari lomba karya tulis, marjan dan para sahabat berkumpul di lapangan tersebut dengan rasa berdebar-debar tak lama pengumuman itu di bacakan oleh pihak penyelenggara yaitu dinas pendidikan dan kebudayaan, siapa-siapa saja yang keluar sebagai pemenang dari lomba karya tulis ini.
Pihak dinas pendidikan  dan kebudayaaan mulai membacakan di mulai dari pemenang ke 3, yaitu karya tulis yang di buat syarifah fauziah, dengan judul “ aurat muslimah “ siswa-siswa yang lain bertepuk tangan. Pemenang kedua yaitu karya tulis dolah dengan judul anak laut.
Siswa-siswa lain pun bertepuk tangan, marjan, mukdin, dan dapot memeluk dolah secara bergantian tak lupa maimunah halimah dan roma menyalami dolah.
Sementara yang berhak sebagai pemenang ! yaitu karya tulis marjan dengan judul “ doa simarjan “. Marjan seakan tak percaya mendengar namanya di sebut sebagai pemenang pertama tak henti-henti ia mengucapkan syukur kepada yang Maha Kuasa. Ucapan selamat  di terima marjan para sahabat memeluknya , maimunah, halimah, dan roam menyalaminya.
Sebelum pulang kerumah pihak penyelenggara kepala dinas pendidikan dan kebudayaan memeinta marjan menemuinya di ruangan kerjanya, marjan pun memenuhi panggilan tersebut,  ia pun masuk ke dalam ruangan, marjan kenal betul siapa kepala pimpinan dinas dinas pendidikan dan kebudayaan itu, kepala pimpinan tersebut adalah pak haji ramli ayah dari halimah, selain menjadi pejabat kepala pimpinan pak haji ramli seorang pengusaha yang sukses dan memiliki lahan sawit  yang sangat luas peninggalan atau warisan orang tuanya,  karena pak haji  ramli anak tunggal otomatis semua asset kekayaan orang tuanya jatuh ketangannya namun dengan harta peninggalan yang berlimpah tidak membuat ayah halimah jadi takabur dan gelap mata, dengan harta warisan ia sering memberikan sumbangan-sumbangan, baik itu ke panti asuhan, masjid, panti jompo, fakir miskin dan badan-badan social lainny, baginya harta itu adalah titipan.
Ketika marjan menemuinya di ruang kerjanya, pak haji ramli, menyatakan ia sangat senang dengan tulisan yang dibuat marjan dengan bahasa yang sangat sederhana marjan mampu membuat pembaca larut dalam kisahnya.
Pak Haji Ramli juga menambah ia tersentu membaca cita-cita yang di tulis marjan,
Kepada marjan ia mengatakan ingin membantu marjan dengan memberangkatkan opungnya ke tanah suci.
Tidak terkira senangnya hati marjan mendengarnya, doa yang selama ini ia panjatkan akhirnya terkabul, dari tangan pak haji ramli lah ia ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak haji ramli, pak haji ramli hanya tersenyum melihat wajah polos marjan, pak haji ramli kenal betul dengan marjan dan opungnya, suatu kebahagiaan tersendiri dengan di iringi rasa ke ikhlasan ia dapat membantu marjan mewujudkan doa dan cita-citanya.
Kepada pak haji ramli marjan pun pamit pulang ia ingin segera memberitaukan kabar gembira ini pada opungnya, di sepanjang perjalanan pulang senyum kebahagiaan selalu tersenyum di bibir marjan wajahnya pun berseri-seri.
Marjan tertegun ketika ia tiba dirumah, banyak warga yang berdatangan kerumahnya dengan menggunakan kupiah, salah seorang warga menghampiri marjan yang masih mematung di halaman depan rumahnya, sambil memegang pundak marjan ia berkata .
“ yang sabar kau ya jan, opung mu telah menghadap tuhan yang maha kuasa, incek umar yang pertama tahu perihal kematian opungmu, ketika mengatar jagung untuk kau jual nanti”.
Dengan masih memangkul bahu marjan ia membawa marjan masuk melihat untuk yang terakhir kalinya wajah opungnya yang sudah menua dengan terbujur kaku, wajah itu begitu tenang dan damai, incek umar memeluk marjan dengan kuat seakan memberi semangat berujar “ yang sabar kau marjan, ikhlaskan kepergian opung kau, mudah-mudahan samuo amal perbuatan opung kau diterimo di sisi yang maha kuaso.”
Marjan hanya membisu tiada sepatah kata, yang keluar dari mulutnya, tetesan air mata duka mengalir dari sudut matanya, ia tak kuasa menyekanya  biarlah air mata itu keluar mengurangi detak yang bergejolak didalam dadanya.
Setengah berbisik kepada opungnya yang telah terbujur kaku “marjan mengatakan .” pung, maafkan aku yang tak sempat mewujudkan cita-citaku memberangkatkan engkau ketanah suci .” ada rasa sesal yang mendalam di saat marjan mengucapkan kata tersebut.
Pak lokot pun merangkul bahu marjan ia pun terharu mendengar perkataan yang di ucapkan marjan dengan linangan air mata luka yang mendalam.
Para sahabat marjan tiba dirumah duka di saat opung marjan telah di mandikan dan di sholatkan Cuma berduka cita dan menyampaikan rasa bela sungkawahnya kepada marjan, para sahabat dan warga mengantara opung marjan ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Marjan masih termenung di gundukan tanah yang masih baru, pak haji ramli menghampiri marjan, dan perlahan ia rangkul pundak marjan, marjan  menatap kea rah pak haji ramli sambil berkata, “ maaf pak, aku tak dapat membawa opungku menemui bapak.”
Pak haji ramli hany tersenyum dengan suara pelan ia berkata .” marjan, semua cita-cita dan doa mu mungkin sudah didengar yang maha kuasa, hanya saja  caranya lain, dengan membawa opungmu langsung ketanah suci, tanpa perantaraan, semua itu sudah menurut kehendak yang maha kuasa. Kamu harus  banyak berdoa semoga opungmu di terimah di sisi yang mah kuasa .”
Kembali pak haji ramli mengatakan. “mengenai biaya keberangkatan opungmu ketanah suci pun tetap bapak bagikan kepada mu, semoga engkau dapat membagikan kepada yang berhak menerimanya, marjan kita sebagai  manusia hanya bisa berencana, namun tuhanlah yang menentukan, hendaknya engkau dapat menerima semua cobaaan ini dengan ikhlas, kelapangan dada.dan keluasan pikiran.
Marjan hanya mengangguk mendengar nasehat dari pak haji ramli.dan merupakan dalam setiap kata demi kata yang di ucapkan pak haji ramli memang di akui berpisah dari orang yang sangat di sayangi sangatlah sulit.namun itulah ujian, ujian keikhlasan ketika rasa terpisahkan.



SELESAI



















BIODATA PENULIS
Lahir di Dabosingkep, Kepulauan Riau pada tanggal 26 Januari 1976, terlahir dengan nama kecil yang akrab disapa Iwan, tumbuh dan besar di kampung sekopdarat (Dabosingkep). Beragama Islam, berjenis kelamin laki – laki, dan kini menetap di Kisaran, Asahan Sumatera Utara. Berprofesi sebagai pedagang sayuran di pasar kartini, Kisaran dan juga pedagang di pasar kaget (pekan) di sekitar kota Kisaran.


Beberapa karya tulis iwansekopdarat,
  1. Novel tentang Rindu
  2. Novel tentang Rindu 2
  3. Novel Layang – Layang Zaman
  4. Buku Fatwa Cinta
  5. Buku Madah Aksara
  6. Novel Primadona di Ujung Trotoar
  7. Buku Tiang - Tiang Aksara
  8. Do’a Si Marjan

PRIMADONA DI UJUNG TROTOAR Bag. 1

PRIMADONA DI UJUNG TROTOAR Bag. 1

oleh Iwan Sekopdarat pada 10 Maret 2012 pukul 14:37 ·

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT . Saya ucapkan atas selesainya novel ini tanpa ridho dan petunjuk darinya mustahil buku ini dapat dirampungkan, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman – teman yang membantu dalam menyelesaikan novel ini.
Novel ini berkisah tentang perjalanan hidup seorang pemuda, yang terlahir dengan keadaan tidak sempurna, keteguhan dan kebulatan tekadnya dalam mengarungi hidup, membuatnya lebih mewarnai kehidupan.


                                                                                          Kisaran,          Maret 2012
                                                                                                        Penulis


                                                                                                   Iwan sekopdarat



 Jangan pernah menyerah pada hidup
Jangan jua menyalahkan takdir
Dari hidup banyak ilmu yang dapat dihirup
Dengan takdir berserah diri dibarengi fikir

Jangan pernah merasa menyesal terlahir kedunia
Terlahir dalam keadaan tidak sempurna
Tiap – tiap makhluknya Tuhan punya rencana
Syukuri pada anugrahNya
Jadikan kekurangan yang ada
Menjadi kelebihan yang nyata”



                  Bisikan Rindu
                                                      Cipt. iwansekopdarat

G        Dmy         C
Berjuta rasa rindu
                         G      Dmy
Menggebu didalam dada
G        Dmy         C
Selalu tak kuasa
                    G            Dmy
Menahan ingin berjumpa
           Amn     C         G
Denganmu selalu kasihku
          Amn      C         Dmy
Denganmu selalu o…o…o….
                 Dmy    G         Dmy
Reff           Laksana untaian
                               Amn              G                  Dmy
                  Kata cinta nan mesra  engkau ku puja
                  Dmy   G       Dmy
Bisikan asmara
            Amn                    G          Dmy          G
Terngiang dalam dada rasa bahagia, bersama
                     B           C              Amn       Dmy
Bila malam ku terbayang selalu
 B          C              Amn              Dmy
Kala rindu mencekam membelenggu

( Lagu Bisikan Rindu dapat dilihat diyoutube dipencarian iwansekopdarat )

“ jadi betol bang! Kate kak Siti tu?”, tanya Midun penuh selidik. “betol ape Dun?”, jawab Zaman heran. “abang nak merantau ?”. tukas Midun lagi. “ai, entahlah Dun, tingok nantilah”. Zaman hanya tersenyum memandang Midun yang murung. “awak tenang je Dun, kalau pon abang merantau, bapak yang jualan disini, awak bantu bapak ye”. “iye bang, Midun pasti kerje betol – betol”, Midun coba meyakinkan Zaman.
“tanggal berape berangkat bang?”, kembali Midun bertanya. “ tengah bulan lah”, ujar Zaman singkat. Dengan dibantu Midun pekerjaan, Zaman memberesi jualannya, memasukkan buah-buahan ke dalam peti karena senja sudah bergagang malam, Midun berpikiran seandainya jadi Zaman merantau ia khawatir kehilangan pekerjaan ternyata Zaman tau kegalauan Midun sebab itu Zaman menerangkan bahwa bapaknya yang menggantinya ia jualan di pasar.

            Seorang wanita setengah baya warga keturunan memarkirkan sepeda motornya di depan tempat Zaman berjualan. Setelah memarkirkan sepeda motornya wanita itu menghampiri Zaman.
“ man, ade limau (jeruk)?”
“ ade buk, baruje dimasok Midun!”
“ nak berape kilo”, tanya Zaman kepada wanita itu yang tak lain orang tua sahabatnya, Afung.
“ satu kilo je man, buat sembahyang”, jawab wanita itu.
“ iye lah buk, Dun, ambek balek jerok tu, timbang sekilo ye”, Zaman meminta Midun untuk mengambil jeruk yang tadi sudah mereka masukkan ke dalam peti. Midun pun mengambil dan memilih jeruk yang segar – segar lalu menimbangnya.
“ man, tadi kate Afung die denga dari Siti awak nak merantau, merantau kat mane?”, tanya wanita itu.
“rencane nak ke Medan buk, kalu bise sambil kuliah, kalau ke Batam itu tempat industri. Siapelah nak nampong macam kami ni”, Zaman coba menerangkan dengan keadaannya, Zaman membetulkan letak tongkat penyangganya.
“ kat Medan kelak nak kerje ape?”, wanita itu kembali bertanya.
“Jualan jugelah buk, tapi kalau baru – baru bialah jadi pekerje atau makan gaji, itong – itong pengenalan lingkungan, kalaulah paham selok beloknya barulah siket – siket buka sendiri”. Ibu Afung yang mendengar penjelasan Zaman hanya mengangguk – anggukkan kepalanya.
“ kalau Afung rencanenya kemane?”,
“ ai, entahlah man, bapak Afung tu keras orangnya, die ndak Afung tu kat Dabok lah, Afung tu ndak dijodohkan dengan anak kawan die”
“ jadi ape kate Afung”, dari pertanyaannya terlihat ada mendung kesedihan di mata Zaman, ibu Afung dapat melihat sinar mata Zaman yang sedikit kecewa.
“ Afung hanye diam je man, kalau ibuk ni payah nak becakep, asek kate bapak Afung je yang betol, karne tu Afung sekarang sereng temenong”, Zaman tertunduk mendengar pernyataan ibu Afung, tak lama ibu Afung pun pulang, tinggallah Zaman yang masih diam dengan fikiran yang berkecamuk.
            Siti baru saja selesai membereskan dapur dan meja, langkahnya tertahan ketika ia mau masuk ke kamarnya mendengar suara abangya. “ ape bang?”, ujar Siti. “ betol mang ti, Afung tu nak dijodohkan bapak die?”, tanya Zaman kepada adiknya Siti. “ iye bang, lucu na, ade geg jaman sekarang dijodoh-jodohkan cam pilem Siti Nurbaya je”.

“ Afung, die nolak ti?”
“ die bilang dak kuase ngelawan kehendak orang tue die, tingok je waktu yang bicare”, kembali Siti menerangkan kepada Zaman dengan ocehannya.
“ kasian Afung og ti, haros ngikot kehendak orang tue padahal Afung cakep same abang, die maseh nak sekolah”.
“ yang kasian Afung, ape abang? Macam dak rela je Afung nak kawen”, seloroh Siti menggoda abangnya.
“ ade – ade je awak ni ti, cam mak Joyah je, abang Afung, Azman, Atan tu bekawan baek, bukan ade hubungan ape- ape!”.
“ ai, entah buaye ntah katak, ntah iye ntah tidak, mane ade maleng nak ngaku bang, kalau semue ngaku penoh penjare”, celutuk Siti dengan nada candanya.
“ ah, ngelayan awak ni ti, jangankan menang seri je payah”, Zaman pun berlalu dari hadapan Siti dengan wajah tersenyum kecut melihat tingkah adiknya.
            Pak Karim dan Bu Mariam hanya tersenyum mendengar candaan anak bungsu mereka menggoda abangnya dari ruang tamu. Zaman pun duduk di ruang tamu,ibu Zaman yang duduk di depannya tau kerisauan putranya itu. “man, dah mantap rencane awak nak merantau?”, ayah Zaman mulai membuka pembicaraan. “ iye pak”, jawab Zaman sambil memeluk tongkat penyangganya. “ tongkat tu ganti man, dah lapok nampaknye”, ayahnya memperhatikan tongkat yang dipeluk Zaman. “lah, kami pesan mang pak, kate bang den yang buat kosen tu, besok petang siap la”, Pak Karim hanya menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan putranya. “kelak kalau kat Medan awak kuliah nak ngambek jurusan ape?”, Bu Mariam pun bertanya kepada putranya.         “ jurusan pertanian mak, bia Zaman lebeh paham mengenai tanaman dan care perawatan die, lagi pon sekolah kat kampung orang itong – itong menambah pengalaman kalau bise Zaman kuliah nak sambil kerje”. “kerje ape man?”, ujar ibunya lagi. “ kerje kat pasa jelah mak, bantu orang  beniage, kelak kalau ade rizki biselah bukak sendiri”, jawab Zaman.      “ hari ape jadi berangkat man?”, Pak Karim bertanya kapan keberangkatan Zaman.            “ seminggu lagilah pak”. “dari sekarang lah bisela man, awak siapkan ape – ape nak dibawak kat sane kelak”, nasehat ibunya. “ iyelah mak”, jawab Zaman pelan.
            Bang Togar menghampiri Zaman yang baru selesai melayani pembeli di pasar.      Di pasar bang Togar berjualan cabe dan sayur mayur.
“ man, jadi keputusanmu sudah bulat berangkat ke Medan?”
“ kalau ke Medannya Insya allah dah bulat bang, cume nantilah Medan kat mananye saye tinggal”.

“ kalau saran abang man, lebih bagos kau ke Kisaran, Medan terlalu sesak man, lagi pula apa – apa di Medan mahal, walau jarak Kisaran ke Medan ± 4 jam menggunakan sepeda motor, Kisaran lebih aman, tenang, di Kisaran pun ada Universitasnya, namanya Universitas Asahan ( UNA )”, bang Togar coba memberi solusi.
“ makaseh bang atas saran abang, kelak Zaman pertimbangkan lagi”,
“ abang ngomong gitu sama kau karena abang sudah lama di Medan, beda waktu abang ke Kisaran, ke rumah tulang (paman) abang, di Kisaran abang rasa kau lebih cocok kalau memang jadi nanti abang kasi alamat tulang abang itu, biar nanti tulang abang membantukan mendaftar di Universitas itu”
“ sekali lagi makasih og bang atas masukannye”.
            Siti menghampiri bang Togar dan Zaman yang sedang ngobrol, ia membawa goreng pisang makanan kegemaran abangnya yang dimasak ibu mereka, tak lupa Siti pun mempersilahkan bang Togar dan Midun untuk mencicipinya.
            “ bang, Siti balek luk ye, maseh banyak kerje kat rumah , ni ade surat dari Afung tadi Afung ke rumah”, “iyelah, hati – hati kat jalan jangan ngebut”, nasehat Zaman sambil menerima amplop yang disodorkan adiknya, Zaman langsung memasukkan ke dalam saku celananya.
            “ bah! Kasihanlah si butet tu ditinggal ucok merantau ha…ha…ha…”, Midun yang mendengar canda bang Togar jadi ikut tertawa. “
“ kawan aje bang, laen tak” jawab Zaman seadanya,
 “ ayoklah man abang jualan duluk, pokonya kau pertimbangkan saran abang, terima kasih gorengnya”
“ same – same bag Togar”
Bang Togar pun berjalan menuju tempat jualannya yang tidak begitu jauh dengan tempat dimana Zaman berjualan. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 5 sore. Zaman dan Midun pun mulai membereskan jualannya menutup lalu pulang kerumah masing – masing tak lupa Zaman membayar upah kepada Midun.
Zaman memetik senar gitarnya namun entah mengapa resaah hatinya, semakin menghimpitnya, ia teringat akan surat dari Afung yang dititipkan kepada Siti, Zaman merogoh saku celana digantungan yang tadi siang dipakinya.
Ia membaca nama pengirimnya disudut kiri amplop yang berwarna biru muda, Afung, dengan hati – hati ia menyobek pinggiran amplop itu, agar kertas surat tidak ikut tersobek, Zaman membaca isi surat itu, bertinta biru dengan kertas berwarna merah muda.


                                                                                          Menemui : Zaman
                                                                                          Sahabatku
                                                                                          Ditempat

Salam sahabat,
Man, sebelumnya aku minta ma’af, mengganggu waktumu untuk membaca surat ini. Seminggu lebih kita tak saling jumpa sehatkah dikau adanya?
Man, dari Siti aku mendapat kabar bahwa minggu depan dirimu telah menginjakkan kakimu ditanah perantauan, sebagai sahabat aku slalu berdo’a moga dirimu slalu dilindungi Yang Maha Kuasa. Semoga Tuhan mengabulkan semua keinginanmu, raihlah cita – cita mu man,
Man, mungkin dari Siti dirimu sudah tau tentang perjodohanku, walau kita hidup bukan di jaman Siti Nurbaya lagi, namun aku tak kuasa man. Tak kuasa menolak keinginan orang tuaku , sebagai anak biarlah, aku menurut kehendak orangtuaku, aku takut durhaka man, durhaka kepada orang tuaku, memang mereka bilang semua keputusan ditanganku, aku tak tega saja melihat mereka kecewa dengan keputusan ku kelak,
Man, sebenarnya masih banyak yang ingin kuceritakan tapi sudahlah ……
Man, sekali lagi aku minta ma’af yang bercerita masalahku kepadamu, tak pantas aku mengatakan semua ini,
Man, teruslah memberi kabar jika dirimu kelak disana kepada sahabatmu ini.
Ku hatur ma’af jika kata – kata ku membuat engkau tidak suka

                                                                                          Dariku
                                                                                          Sahabatmu
                                                                                          “Afung”



Dengan masih memeluk gitar, fikiran Zaman jauh menerawang surat Afung masih digenggamnya seperti ada sesuatu yang hilang darinya, namun ia tak tau apakah gerangan itu?.
Zamanpun berdiri dengan tongkat penyangganya, membuka jendela, melihat malam nan indah bertabur bintang dengan sinar rembulan yang teduh. Zaman pun mengambil ballpoint dilaci meja dan selembar kertas, ia berniat membalas surat sahabatnya, Zaman pun mulai menulis ia duduk dibangku yang tak jauh dari jendela, sesekali matanya memandang gugusan bintang yang bertaburan diangkasa, tak lama kemudian surat itupun selesai. Zaman membaca  surat yang ia tulis

                                                                                                Menemui : Afung
                                                                                                Sahabatku
                  &n sp;                                                                             Ditempat

Salam sahabat
Disaat menulis surat ini aku dalam keadaan sehat, begitu juga hendaknya dengan dirimu disini, semoga tak kurang satu apapun, dan tetap dalam lindungan Yang Maha Kuasa.
Fung, suratmu sudah kuterima dan kubaca, sebagai sahabat aku hanya bisa memberimu semangat. Semoga engkau ikhlas menjalani semua ini.
Memang fung terkadang bagi kita hidup ini berlaku sangat tidak adil, namun ingatlah satu hal tidak ada orang tua yang tidak ingin anaknya hidup bahagia, mudah – mudahan dengan pilihan orang tuamu kelak dirimu kan bahagia.
Fung, jika kelak engkau hidup bahagia, sebagai sahabat aku pun akan merasa bahagia.
Akupun akan terus mengabarimu disaat diri diperantauan nanti.
Aku minta ma’af jika selama ini ada kata – kata baik yang tidak ataupun disengaja, menyinggung perasaanmu, tak ada gading yang tak retak, begitu jua dengan ku, yang tak luput khilaf dan lupa.
Akhir kata aku slalu berdo’a, moga engkau kelak dapat hidup bahagia. 

                                                                                          Dariku
                                                                                          Sahabatmu
                                                                                          “Zaman”
Selesai membacanya Zaman melipat surat yang baru ditulisnya, dan memasukkan surat itu kedalam amplop yang berwarna putih, Zaman pun menyimpan surat itu disaku celananya.
Zaman merebahkan dirinya dipembaringan, matanya terus menerawang, pikirannya tersangkut diawan, bayang wajah Afung mengusik benaknya, “rindukah aku pada Afung, sahabat yang dalam seminggu ini tidak bertemu” bisik Zaman dalam hati.
Kembali ia bangkit dari tidurnya, mengambil gitar, dengan rasa yang tak menentu Zaman mulai menggubah lagu, lagu yang tercipta dari galau hati yang tiada tentu.

               Selaksa ku Merindu
                                                        Cipt. iwansekopdarat
C
Terhempasku dalam lamunan
C
Terhenyak ku dalam gurauan
          F                C
Wajahmu, dalam ingatan
C
Selaksa hatiku merindu
C
Laksana guruh tak menentu
            F                C
Senyummu, slalu terbayang
G    F           C
Di titi rasa sisi hati
G    F                     Dmn               E
Bertirai sepi, kan engkau ku mimpi
                  F                G      C              Amn
Reff           Redup rembulan, bias berwarna
                  F            G               Amn
Berkilau bintang disurga
F                G     C              Amn
Rindu tertawan, ku tak kuasa
F                G             Amn
Jikalau datang menjelma
Dmn           Amn         G                   Amn
Cahaya rembulan, ku yang kehilangan
Dmn                            Amn
Berkilaunya bintang
F             G              C
Rindu kutahan seorang
( Lagu Selaksa ku Merindu dapat dilihat diyoutube dipencarian iwansekopdarat )
                  Zaman coba mengulang lagu tersebut, setelah ia hafal betul. Zaman pun menuju jendela dilihatnya bulan masih disana, hanya letaknya bergeser, condong sedikit dari posisi semula. Zaman menutup jendela dan kembali merebahkan dirinya kepembaringan.
Matahari baru sejengkal bergeser dari ubun – ubun kepala, Zaman meminta Midun untuk membantunya memberesi jualan.
“ ndok bang pehal, cepat na tutup?” tanya Midun keheranan.
“ tak de ape – ape lah ndun, ni hari mang agak cepat tutup, abang nak kerumah makcik abang, kat kat buket bilah, sebelum pegi merantau, abang nak kesane kejap sekeda nak bilang je”, ucap Zaman.
“ o…o…” hanya itu yang keluar dari bibir Midun ia pun lantas dengan cekatan membantu Zaman,
Setelah menutup jualannya, Zaman kembali keruah, walau hari ini mereka tidak jualan sampai sore, Zaman tetap membayar penuh upah Midun.
Dirumah ia meminta izin kepada Ibu dan Ayahnya pergi berkunjung ketempat kediaman pamannya adik dari ibunya. Kedua orang tua Zaman mengizinkan niat Zaman untuk bersilaturrahmi kerumah pamannya, bersama Siti adiknya dengan sepeda motor mereka berangkat kerumah pamannya, tak lupa ayah dan ibunya berpesan agar hati – hati membawa kendaraan dijalan raya, jarak dari rumah mereka kerumah pamannya memakan waktu 1 jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor.
Siti memarkirkan sepeda motornya didepan rumah yang bercat kuning tidak begitu jauh dari jalan raya, rumah yang sederhana namun tertata rapi, Zaman dan Siti pun turun dari sepeda motornya berjalan menuju rumah yang mereka tuju.
Zaman mengurungkan niatnya mengetuk pintu rumah tersebut, dari dalam rumah terdengan suara seorang wanita yang tak lain istri dari pamannya sedang bernyanyi sambil berseru “ guring nak, ai , guring!” ( tidur nak, tidur ) dan menyanyikan lagu daerah yang berasal dari Kalimantan Selatan yaitu lagu Paris Berantai, lagu yang tidak asing ditelinga Zaman dan Siti, karena ibunya pun sering menyanyikan lagu itu sewaktu merreka kecil, Zaman tersenyum terkenang masa – masa kecilnya dulu, ibunya selalu menyanyikan lagu tersebut ketika menidurkan Siti yang masih kecil didalam buaian.


                        “ Paris Berantai “

Wajah pang sudah hari baganti musim
Wajah pang sudah
                  Kota Baru gunungnya bamega
                  Bamega ombak manapur, di selakarang  2x
Pisang Sirat tanamlah babaris
Babaris sa tabang bamban, ku halangakan  2x
                  Burung Binti batiti dibatang
                  Dibatang sibatang buluh, kuning menggading
Kacilangan lampulah dikapal
Dikapal anak walanda, main komidi  2x
                  Batamu lawanlah Adinda
                  Adinda iman didada, rasa malayang  2x
Bapalat gununglah babaris
Babaris hatiku dendam, ku salangakan  2x
                  Malam tadi bamimpilah datang,
                  Nang datang, rasa bapaluk lawan siading  2x
Kasiangan guringlah sabantal
Sabantal, tangan ka dada hidong ka pipi  2x

Biasanya jika menyanyikan lagu ini ibu Zaman menutupnya dengan beberapa buah “ mandihin “ ( pantun ) dalam bahasa Banjar.

Banaik pinang dikantor
Sabigi sambar buaya
Turon naik baalas pupor
Pagat kalong tuhok bagaya
Nyamannya makan karak
Makan karak dipipiringan
Nyamannya rarangan parak
Nyamannya batitiringan

Ibu Zaman orang Kalimantan ( suku Banjar ) sementara ayahnya orang Melayu        ( suku Melayu ) karena suaminya orang Melayu. Ibunya telah membaur dengan orang melayu dan Zaman pun hidup dan dibesarkan di tengah – tengah kampung melayu, paling sesekali saja. Ibunya menggunakan bahasa banjar jika saudaranya berkunjung namun jika mereka berbicara dengan atau di depan ayah Zaman, mereka tetap menggunakan bahasa melayu, menjaga perasaan ayah Zaman agar tidak salah pengertian namun sedikit – sedikit Zaman, Siti dan ayahnya paham dan mengerti bahasa banjar hanya pengucapannya saja yang agak kaku.
Dengan pelan Zaman mengetuk pintu itu sambil berujar setelah makciknya (bibi) selesai bernyanyi menidurkan anaknya, “ assalamu’alaikum”. “ wa’alaikumsalam wr. wb”, jawab suara dari dalam rumah. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu, secara bergantian Zaman dan Siti menyalami dan mencium tangan makciknya.
“ kabila datang”, tanya makciknya
“ hanyar cik ai”, jawab Zaman
  ( baru makcik )
“ masoklah, pamali di higa pintok!”
  ( masuklah, pantang di depan pintu )
“ hi ih cik ai”, tukas Siti
“ kamana acik Utoh”, Zaman menanyakan keberadaan pakciknya
“ barabah di kamar, tadi pagi kadak, bagawik kadak motong gatah, garing jarnya”
  ( tidur di kamar, tadi pagi tidak kerja, nyadap karet, sakit katanya )
“ satu mat leh, acik iyang panggil acik Utoh hikam”
Makciknya pun berjalan menuju kamar tidur. Tak lama pakcik Zaman pun keluar dari kamar tidur diikuti istrinya dari belakang.
Zaman dan Siti pun menyalami dan mencium tangan paman ( pakcik ) mereka ketika pamannya hendak duduk di kursi ruang tamu,
“ acik Utoh garing?”, tanya Siti
  ( paman Utoh sakit?)
“ hi ih nak ai”, jawab paman mereka
  ( iya )
“ abah, umakmu wagaskah man?”
  ( ayah, ibumu sehatkah? )
“ wagas haja cik ai”, jawab Zaman
  ( sehat saja )
Zaman pun bercerita kepada paman dan bibinya tentang niatnya yang ingin merantau disana kelak, ia pun berencana melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Paman dan bibi Zaman menanggapi dengan positif niat Zaman, tak lupa mereka memberikan nasehat kepada Zaman agar selalu rendah hati dan jangan meninggalkan sholat. Karena hari sudah semakin sore Zaman dan Siti pun pamit pulang.
“ kainak bulik, acik iyang mengulah wadai kikicak, satumat lagi masak”, makciknya meminta Zaman untuk menunggu sebentar. ( nantilah pulang, bibi sedang buat kue kikicak / kue khas dari Banjarmasin, sebentar lagi masak ).
“ hi ih man ai, kai nak kasi awan umak hikam wadai tu”, tukas pamannya.
Tak lama bibinya pun memberikan kue yang sudah dibungkusinya kepada Siti untuk dibawa pulang.
Seminggu sudah Zaman menginjakkan kakinya di perantauan. Setelah menimbang perkataan bang Togar, Zaman memutuskan untuk coba mengadu nasib di Kisaran. Pak Karim ayah Zaman yang melanjutkan usaha Zaman berjualan di pasar Dabosingkep dengan dibantu Midun. Sebenarnya di pasar pun cukup bagi Zaman memenuhi kebutuhan hidupnya namun bukan itu yang dicari Zaman. Selagi muda biarlah coba merantau ke negeri orang sekedar menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan.
Hanya 2 hari Zaman menginap di rumah tulang ( paman ) bang Togar. Paman bang Togar berprofesi sama dengan ayahnya, tukang becak. Sementara istrinya berjualan kecil – kecilan jajanan anak – anak dirumahnya. Zaman tidak ingin menyusahkan keluarga mereka mereka yang dianugrahi 4 orang anak.
Dengan alasan ingin mandiri, dibantu paman bang Togar Zaman pun menyewa kamar sewa, tidak begitu jauh dari rumah paman bang Togar, masih dikawasan mutiara dekat dengan pasar bakti, akhirnya Zaman dapat menemui kamar sewa. Dengan harga tidak terlalu tinggi, letak kamar tersebut bersebelahan dengan yang punya rumah. Sebuah kamar sewa yang sudah dilengkapi dengan toiletnya, kini Zaman belajar hidup mandiri, tahun ini Zaman sengaja tidak mendaftar ke Perguruan Tinggi tapi Zaman berencana mendaftarkannya tahun depan. Biarlah setahun ini ia belajar mengenal lingkungandan mencari pekerjaan agar nanti jika ia kuliah tidak menjadi bahan pikiran orang tuanya mengenai biaya atau dana uang kuliahnya. Zaman ingin dengan hasil kerjanya dapat membiayakan kuliahnya sendiri.
Pagi – pagi sekali Zaman sudah rapi dan bersih dengan tongkat penyangganya, ia berjalan menuju jalan raya. Di pinggir jalan Zaman menyetop betor ( becak bermotor ) kepada pengemudinya Zaman minta diantarkan menuju pasar bakti hanya memakan waktu 5 menit Zaman pun tiba di pasar bakti masih disekitar kawasan mutiara. Setelah menyerahkan ongkosnya Zaman pun masuk ke dalam pasar tersebut. Beda dengan pasar di kampung halamannya, di pasar bakti Kisaran lebih ramai dipadati pembeli. Zaman duduk di warung kopi dan memesan the manis hangat, dari cerita paman bang Togar Zaman tau pasar bakti biasanya sudah selesai berjualan atau menutup jualannya kurang lebih pukul 12 siang, mereka beraktivtas mulai pukul 04.00.
Di Kisaran, Medan atau sekitarnya mereka menyebut pasar – pasar dengan sebutan “ pajak “. Di Kisaran terdapat 3 pajak yaitu pajak ( pasar ) bakti, pajak kartini dan pajak kota. Mereka menamakan pasar tersebut menurut jalan atau letak pasar itu. Zaman berjalan menghampiri seorang lelaki seumuran ayahnya yang duduk membersihkan bawang di tempat jualannya.
“ permisi pak, bapak butuh orang kerja?”, tanya Zaman coba menawarkan dirinya
“ siapa yang mau kerja dek?”, orang tua itumalah bertanya sekilas memandang      Zaman yang berdiri dengan tongkat penyangganya
“ saya pak”, jawab Zaman
“ sebentar ya dek, istri saya sedang pergi bentar lagi sudah datang, nanti saya rundingkan sama dia, kau duduklah dulu”, dengan ramah lelaki tersebut menawarkan Zaman duduk
“ iya pak pak terima kasih”
Tidak lama seorang wanita seumuran ibu Zaman datang, kepada wanita yang tak lain istri lelaki itu, ia berkata :
“o, makni butet, halakon munyukkun boido kerejo dison?”
( bu, anak ini bertanya bisa tidak kerja disini )
“ ise “, tanya si istri
 ( siapa )
“ halakon”
 ( anak ini )
“ o…, dek besoklah kau kemari lagi, biar ibu rundingkan sama bapak”, ujar wanita itu kepada Zaman
“ iya buk, terima kasih”
“ asli darimana dek?”, tanya lelakiitu
“ dari Kepulauan Riau pak, Dabosingkep”
“ bah, puang jauh sekali itu, gimana ceritanya bisa sampai di Kisaran?”. tanya lelaki itu lagi.

Kepada mereka Zaman pun menjelaskan mengapa ia merantau ke Kisaran sekedar menambah pengalaman juga ingin melanjutkan sekolahnya disini masuk ke Perguruan Tinggi, sambil melayani pembeli wanita itu mendengarkan cerita Zaman. Zaman pun bercerita.
Tahun ini biarlah ia mengenal lingkungan dulu sambil mencari pekerjaan dengan bekerja, Zaman tidak ingin menyusahkan orang tuanya di kampung. Ia ingin membiayai kuliahnya sendiri. Zaman juga menambahkan dalam ceritanya, dikampngnya dulu Zaman pun juga berjualan dipasar, ia berjualan buah – buahan.
Mendengar cerita Zaman hati sepasang suami istri itu pun tersentuh, menurut mereka Zaman seorang yang pekerja keras, gigih dan pemberani dengan bersanggkan sebatang tongkat. Zaman menggantung cita – citanya setinggi langit. Zaman tak mau dengan kekurangannya, mengharap belas kasihan orang ditambah lagi Zaman sudah paham seluk beluk jualan sebelum Zaman pamit pulang, mereka meminta Zaman agar besok datang lebih awal. Mereka menerima Zaman bekerja atau membantu mereka berjualan di pasar. Dengan ajah berseri Zaman pun pulang menggenggam satu mimpi. Malamnya Zaman menulis surat kepada orang tuanya, mengabari keadaanya.       Seminggu sudah ia tidak mengabari keluarganya semenjak pertama ia menginjakkan kakinya di perantauan.



                                                                                          Kisaran
                                                                                          Menemui
                                                                                          Keluarga
                                                                                          Di Dabosingkep

Assalmu’alaikum wr. wb                                         
Di saat menulis surat ini ananda dalam keadaan sehat walafiat begitu juga hendaknya dengan ibu ayah dan adik disini tidak kurang satu apapun dan semoga dalam limpahan rahmat dan karunia Allah SWT.
Terlebih dahulu ananda minta maaf baru sekarang mengabari keluarga disini.
Disana ananda sudah dapat pekerjaan, membantu orang berjualan di pasar, berjualan cabe, bawang tomat, sayuran, dll.
Ananda juga minta maaf karena tahun ini ananda sengaja belum mendaftarkan diri masuk ke Perguruan Tinggi, ananda ingin lebih mempersiapkan diri dengan bekerja, insyaallah tahun depan ananda baru melanjutkan pendidikan ananda, semoga keluarga disini memaklumi keputusan yang ananda ambil.
Ibu, ayah dan adik hanya ini yang dapat ananda tulis, ananda mohon maaf jika dalam menulis terdapat kata – kata yang kurang enak dibaca.
Akhir kata ananda ucapkan,
 assalamu’alaikum wr.wb


                                                                                                            Sembah Sujud Ananda


                                                                                                                        Zaman



NB: Dek Siti, tolong sampaikan salam abang
kepada bang Togar juga salam dari
keluarganya disana



Selesai menuliskan surat itu Zaman merebahkan dirinya dipembaringan kamar sewanya. Ia menatap langit – langit, terbayang wajah ibunya, ayah dan Siti adiknya. Zaman tersenyum entah mengapa bayang wajah Afung menghiasi lamunannya. Zaman yang tadi tersenyum terlihat murung, teringat akan Afung, teringat akan perjodohan Afung yang tidak diinginkannya.
“ mengape tiba – tiba aku rindu dengan candanya, suaranya, wajahnya dan semua yang ia miliki”, batin Zaman. “kini baru aku sadari bahwa aku sangat rindu kepada sahabat – sahabatku”, kembali Zaman berujar dalam hati, entah perasaan apa yang menghinggap Zaman saat ini. Zaman bangkit dari tidurnya mengambil gitar yang digantungkan tak jauh dari tempat tidurnya, gitar yang dibawanya dari kampung sebagai sahabatnya diperantauan.
Dengan rasa yang tak menentu Zaman luahkan dalam gubahan lagu, jemari tangannya mulai memetik dawai gitar merangkai kata demi kata hingga lagu tercipta.

                  Tak Menentu
                                                Cipt. iwansekopdarat

D                           C
Dengarkanlah, nyanyian jiwaku
G                                        D
Dalam sudut hatiku yang rindu
D                           C
Dengarkanlah tarian nafasku
    G                                 D
Di kesunyianku yang syahdu
      C    
Teringat wajahmu selalu
      G
Menggoda khayalku
    B                           A
Hanya selalu ingin bertemu

                                D                  A                    B
Reff                       Rasa hatiku jadi tak menentu
                                                G               D
                              Slalu ingin dekat dirimu
                               D                         A             B
                              Mata indah menghias wajahmu



                                                           G       A          D
                              Senyummu menggoda dalam hatiku
                               D                     A          B
                              Maafkanlah diriku terlalu
                                                        G           D
                              Walau kau bukanlah milikku
                               D                   A                 D
                              Titip rindu hanyalah untukmu
                                                        G       A        D
                              Smoga kau bahagia ceria selalu

( Lagu Tak Menentu dapat dilihat diyoutube dipencarian iwansekopdarat )

            Zaman coba mengulang – ulang beberapa kali lagu tersebut, kembali ia meletakkan gitar ketempat semula, Zaman pun tertidur, tertidur dalam luahan rasa yang tak menentu.
            Tiga hari sudah Zaman membantu sepasang suami istri seumuran orang tuanya itu berjualan di pajak ( pasar ). Di pajak sang suami biasa dipanggil dengan sebutan amangni mawar ( ayah mawar ) sementara si istri biasa dipanggil dengan sebutan nai mawar            ( singkatan dari inang mawar, ibu mawar ) ada juga yang memanggilnya dengan sebutan Pak Mawar dan Omak Mawar. Bapak dan ibu mawar asli orang batak yang telah lama tinggal dan menetap di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara.
Bapak mawar bermarga Sirait sementara istrinya boru ( sebutan marga bagi perempuan ) Pardede. Mayoritas penduduk Kisaran bersuku melayu dan batak ada juga beberapa suku lain seperti jawa, padang, dll juga warga keturunan ( cina ).
            Untuk memahami bahasa melayu Asahan atau melayu deli tidaklah begitu sulit bagi Zaman hanya berbeda dalam pengucapan lafalnya dimana bahasa melayu Kepulauan Riau biasanya di penghujung kata diakhiri dengan huruf atau vokal “ e ” sedangkan melayu Asahan atau melayu deli dipenghujung katanya biasa diakhiri dengan huruf atau vokal“ o “  seperti pada contoh kata,
 hendak kemana
“ ndak kemane “ ( bahasa melayu Kepulauan Riau )
“ ondak kamano “ ( bahasa melayu Asahan atau melayu deli, Tanjung Balai Asahan, Batu Bara dan Medan sekitarnya )
            Beda dengan bahasa batak, Zaman masih kurang paham atau kurang mengerti. Bapak dan ibu mawar memiliki 2 orang anak, keduanya perempuan, yang paling besar bernama Mawar Sirait sementara adiknya bernama Melati Sirait. Dalam adat istiadat batak biasanya bagi orang yang sudah berkeluarga dan dikaruniai anak, mereka biasa memanggil dengan sebutan atau nama anak tertua, mereka seperti pada amang ni mawar dan nai mawar atau inang mawar.
            Begitu juga di pajak, para pedagang dengan suku – suku yang berbeda membaur menjadi satu, terkadang jika mereka sedang bercerita sesama pedagang tanpa sengaja masih tersisip jua bahasa kedaerahan mereka namun itulah keharmonisan yang tercipta diantara mereka sesama pedagang. Zaman pun dapat membaur dengan mereka, dengan semua canda dan kelakar mereka.
            Kepada  Zaman, bapak dan ibu mawar memintanya agar Zaman memanggil mereka tulang ( paman ), nang tulang ( bibi ). Zaman pun memanggil bapak mawar dengan sebutan tulang dan bu mawar dengan sebutan nan tulang.
            Mereka pun meminta Zaman untuk tinggal bersama mereka, agar bisa berangkat bersama – sama menuju pajak, dengan halus Zaman menolaknya,  Zaman lebih memilih permintaan kedua mereka, tinggal di rumah sewa di depan rumah mereka, rumah sewa yang sangat sederhana, itu milik bapak, ibu mawar. Sengaja  mereka membuat rumah yang bergandengan 4 pintu untuk disewakan. Zaman pun kini menempati salah satu rumah sewa milik keluarga Mawar.
            Zaman pun dikenalkan dengan anak mereka yaitu Mawar yang masih kuliah di Universitas Asahan dan Melati berstatus sebagai pelajar di salah satu Sekolah Menengah Umum Negeri Kisaran. Dengan ramah dan santun, Zaman menyalami mereka satu persatu.
            Mereka sangat puas dengan hasil kerja Zaman, selain ramah dalam melayani pembeli Zaman juga cekatan dalam menimbang barang dagangan. Zaman juga pemuda yang jujur dan taat beribadah, mereka sangat terbantu dengan hadirnya Zaman, mereka menyukai sifat dan sikap Zaman.
            Hari ini Zaman berjualan dibantu Mawar dan Melati. Orang tua Mawar dan Melati hari ini tidak berjualan karena menghadiri acara pernikahan pihak keluarga di Porsea. Kepada Zaman mereka berpapasan agar hati – hati dalam berniaga, harus teliti menerima dan mengembalikan uang juga teliti dalam menimbang barang dagangan yang dbeli oleh pembeli. Zaman pun mencerna apa yang dinasehatkan kepadanya.
            Dengan betor ( beca bermotor ) barang milik ayah Mawar pukul 3 subuh Zaman sudah keluar, memilih barang – barang yang segar untuk dijual, mereka memilih barang – barangnya di pajak kota. Dengan sepeda motor Mawar dan Melati mengikuti Zaman dari belakang yang mengendarai betor milik ayahnya, mereka menuju pajak kota tepat biasa mobil mengangkut sayur, cabe dan buah – buahan biasa berhenti dan bongkar muat disana, jika terlambat memilih barang – barang segar, niscaya barang – barang itu sudah dipilih pedagang lain baik yang berjualan di pajak bakti, pajak kartini ataupun pajak air joman.
            Di tengah perjalanan, tak jauh dari tempat hiburan malam, Zaman, Mawar dan Melati menyaksikan seorang wanita cantik ditampar seorang lelaki. Zaman pun menghentikan betornya persis dihadapan mereka diikuti Mawar dan Melati yang memarkirkan sepeda motor mereka di belakang betor. Zaman pun turun dari sadel betor dengan tongkat penyangganya Zaman berjalan menghampiri mereka. “bang, jangan seperti itulah sama perempuan, lagipula tak baik dilihat orang bertengkar di pinggir jalan”, ujar Zaman coba menengahi. “ tak layak perempuan jalang ini kau bela”, dengus lelaki tersebut, tanpa menunggu tanggapan dari Zaman lelaki itu pun berjalan menuju mobil yang tak jauh dari mereka, dengan mengendarai mobilnya lelaki itu berlalu dari hadapan Zaman, Melati dan Mawar yang memeluk wanita yang barusan kena tamparan lelaki itu. Kepada wanita itu Zaman berujar, “mari kak, kita ke warung kopi itu, istirahat sejenak menenangkan pikiran kakak”. “ ayoklah kak kita kesana”, dengan isyarat mulut Melati menambah perkataan Zaman. Sambil memeluk wanita itu Mawar berjalan menuju warung kopi diseberang jalan tak jauh dari mereka, kepada pemilik warung Zaman memesan 4 gelas teh susu hangat. Zaman, Melati dan Mawar iba melihat wanita itu, matanya masih berkaca – kaca menahan sakit akibat tamparan tadi, dipipinya masih tergambar bekas tamparan. Setelah agak tenang barulah Zaman menanyakan mengapa sebab terjadi pertengkaran itu yang berujung dengan tamparan. kepada Zaman, Mawar, Melati wanita itu mulai bercerita, ia seorang wanita panggilan yang biasa dipanggil perempuan malam atau dengan sebutan kupu – kupu malam, lelaki tadi merupakan langganannya. Ia coba menghindar dari lelaki itu karena lelaki itu bertabiat kasar dan beringas, ia kerap mendapat siksaan jika harus melayani nafsu lelaki itu. Tak jarang badannya biru – biru lebam dan bengkak akibat siksaan atau pukulan dari lelaki yang tadi menamparnya. Zaman, Mawar, dan Melati mendengarkan cerita wanita itu dengan seksama, di penghujung cerita wanita itu seolah – olah menyerah pada nasibnya dengan mengatakan “ mungkin sudah nasib dek, apa mau dikata lagi, nasi sudah menjadi bubur mungkin inilah takdir yang harus kakak jalani, padahal tadi kakak sudah menghindar dari lelaki itu pergi dan menjauh dari tempat biasa kakak dan teman – teman mangkal di ujung jalan tak jauh dari tempat hiburan itu, namun lelaki itu tetap mengejar kakak”.
            Setelah suasana kembali tenang Zaman, Mawar, dan Melati berniat menawarkan diri untuk mengantar wanita itu ke rumahnya karena mereka pun harus melanjutkan perjalanan menuju pajak kota untuk memilih barang dagangan yang akan dijual mereka. Dengan halus wanita itu menolaknya, ia mengatakan bahwa ia tinggal tidak begitu jauh dari sini. Tak lupa wanita itu mengucapkan terima kasih kepada Zaman, Mawar dan Melati. Ia juga memperkenalkan dirinya, wanita cantik itu bernama Kenanga, biasa dipanggil Anga. Zaman, Mawar dan Melati pun menyebutkan nama mereka masing – masing kepada Kenanga.
            Di warung kopi mereka berpisah setelah Zaman membayar minuman yang mereka minum. Zaman, Mawar dan Melati dengan menggunakan kendaraan masing – masing mereka menuju pajak kota memilih barang dagangan. Setelah selesai Zaman meminta tolong kepada pengemudi becak pengangkut barang ( betor barang ) mengantarkan barang tersebut ke pajak bakti.
            Setibanya di pajak bakti, Zaman pun memberi upah atau ongkos kepada pengemudi tersebut. Dengan dibantu Mawar dan Melati mereka menyusun dan merapikan jualannya. Pembeli pun mulai berdatangan, mereka pun mulai berniaga. Bagi Mawar dan Melati mereka sudah paham mengenai seluk beluk jualan karena memang dari kecil jika hari libur mereka sering membantu orang tuanya berjualan.
“ sadia sabe sakilo boru?”, tanya seorang pembeli kepada Mawar
  ( berapa cabe sekilo dek?), ( boru untuk sebutan anak perempuan )
“ sapuluh opat amang boru”, jawab Mawar
  ( empat belas pak)
“ dang hurang ?”
“ daong, nga murah amang boru, ngaturun, natuari sapuluh pitu”
  ( tidak, sudah murah itu pak, sudah turun, semalam tujuh belas )
            Pembeli tersebut meminta Mawar untuk menimbang cabe itu 3 kg.
“tomat mon sadia?”, tanya pembeli yang lain
  ( tomat ini berapa )
“ lima ribu buk sekilo, ibuk mau berapa kilo”, jawab Zaman menggunakan Bahasa Indonesia, sedikit – sedikit Zaman mulai mengerti bahasa yang mereka ucapkan.
“ bah! Harga nai, dang dapot hurang saotik”, tukas ibu tadi
  ( bah! Mahal benar, tidak bisa kurang sedikit )
“ kalau banyak ibu ngambil nanti saya korting harganya”, jawab Zaman
            Si ibu pun mengambil kantongan plastik, memilih dan memasukkan tomat ke dalam kantongan tersebut.
“ Melati! Jangan lupa yo taruk belanja uwak di kareto, karang wak bayar siap memilih        Ikan”, ujar seorang pembeli yang lainnya lagi kepada Melati.
 ( Melati! Jangan lupa ya, letakkan belanja di sepeda motor bapak, nanti bapak bayar       siap memilih ikan )
“ iyo wak”, jawab Melati
  ( iya wak )
            Begitulah keseharian mereka dalam melayani pembeli, setidaknya sedikit – sedikit mereka bisa menguasai bahasa yang diucapkan pembeli, baik itu bahasa jawa, batak, melayu atau yang lainnya. Biasanya kalau yang berbelanja subuh – subuh adalah pembeli yang juga berjualan di rumah rumah – rumah atau pedagang keliling yang biasa mereka sebut along – along ( pedagang keliling ).
            Tak terasa hari telah menunjukkan pukul 11 siang, pembeli pun yang berdatangan sudah tidak begitu ramai beda dengan pagi tadi. Zaman, Mawar dan Melati pun memberesi barang dagangannya, biasanya jam 12 siang mereka sudah tutup dan kembali ke rumah. Ada juga diantara pedagang yang siangnya jualan di kampung – kampung masih sekitar kota Kisaran, biasanya kampung tersebut telah menyediakan tempat khusus bagi para pedagang untuk berjualan dan tempat itu dibuka seminggu sekali, sudah ada hari yang ditetapkan disetiap kampung – kampung yang dimasuki pedagang berjualan di kampung mereka, mereka biasa menyebutnya dengan “ pekan “, seperti contoh hari minggu pekan di daerah Somba huta. Hari senin pekan di daerah air belu, selasa di Tinggi raja, rabu di Prapat Janji, kamis di kampung Sidodadi, jum’at di daerah Mandoge dan sabtu di Desa Sungai Silau ( masih di kawasan sekitar kota Kisaran ). Hanya di pajak kota yang berjualan sampai sore.
            Selesai berjualan Zaman kembali ke rumah sewanya. Tak lama kemudian datang seorang pengantar surat atau pak pos berhenti di depan rumahnya, kepada Zaman pak pos itu menyerahkan 2 buah surat. Sebelum pergi tak lupa Zaman mengucapkan terima kasih kepada pak pos yang mengantarkan surat kepadanya. Zaman membaca tulisan pada amplop itu yang satu dari Siti adiknya dan yang satunya lagi dari Afung sahabatnya. Zaman menutup pintu rumah dan berjalan menuju kamarnya, Zaman pun membaca surat yang dikirimkan adiknya.


                                                                                                Dabosingkep
                                                                                                Menemui
                                                                                                            Abang Zaman
                                                                                                Di kediaman

      Assalamu’alaikum wr.wb
            Kabar Siti, emak dan bapak sehat walafiat, tak kurang satu apapun begitu juga dengan abang disini tetap dalam lindungan Yang Maha Kuasa.
            Bang, surat abang sudah kami terima dan sudah Siti bacakan kepada emak dan bapak. Bapak terharu mendengarnya, mamak pun menitikkan air mata mendengar niat abang itu. Kami keluarga disana percaya dan setuju dengan apa keputusan yang abang ambil. Mamak dan bapak juga berpesan agar abang jangan meninggalkan sholat dan pandai menjaga diri hidup di negeri orang.
            Midun masih tetap membantu bapak jualan di pasar, mamak pun masih jualan di rumah.
            Bang, hanya inilah yang dapat Siti tulis. Siti minta maaf kalau ada kata – kata yang kurang enak dibaca. Jangan bosan – bosan menulis surat kesana.
Akhir kata Siti sudahi dengan
      Assalamu’alaikum wr.wb


                                                                                                Adikmu


                                                                                                  Siti


NB.  Salam balik dari bang Togar
Juga tolong sampaikan salamnya
Buat tulangnya disini          



            Zaman bahagia membaca surat dari adiknya yang mengatakan orang tua mereka sehat walafiat. Selesai membaca surat dari keluarganya, Zaman membaca satu surat lagi ditulis sahabatnya Afung.

                                                                                                            Dabosingkep
                                                                                                              Menemui
                                                                                                             Sahabatku
                                                                                                                Zaman

Salam rindu
            Di saat menulis surat ini baru aku tau rasanya rindu setelah berpisah jauh dari sahabatku.
            Sebelumnya aku minta maaf karna baru sekarang membalas suratmu. Aku tak tau harus mulai darimana.
            Man, kalau tidak ada halangan aku menikah dengan lelaki pilihan papa, tanggal da hari sudah ditetapkan. Aku pun sudah dipertemukan dengan lelaki itu, ia berasal dari Tanjung Pinang seperti aku warga tionghoa dan satu kepercayaan mungkin karna baru kenal aku tidak punya rasa apa – apa kepadanya namun itu semua sudah keinginan papa, aku tak kuasa menolak, aku hanya beranggapan positif biarlah ini salah satu tanda bukti baktiku kepada orang tua yang telah membesarkanku dengan kasih sayangnya yang tulus dan tak terhingga.
            Man,
            Sekali lagi aku mina maaf atas semua kelancanganku sebelum engkau meneruskan membaca surat ini, sebagai seorang wanita tak layak bagiku untuk mengatakan hal ini namun aku lebih tersiksa jika tidak mengatakannya.
            Disaat jarak dan waktu yang memisahkan kita,  disaat lautan yang membatasinya. Baru kusadari bahwa aku sangat merindukan seorang sahabat, tempat berbagi cerita suka dan duka, teman di dalam duka dan kawan di dalam bahagia.
            Aku pun tak tau akan rasa rindu entah sebatas dalam arti sahabat atau lebih, aku tak mampu memaknainya.
            Ku harap dirimu tidak berpikiran atau beranggapan yang bukan – bukan kepadaku.
            Sedikit lega menyeruak dalam dada, setelah mengatakan semua ini, aku hanya ingin kedepannya dalam aku membina rumah tangga, mampu bagiku belajar untuk mencintai atau mengenal lebih dekat pasanganku, ku utarakan semua ini agar tiada lagi yang terganjal dalam hati, akan rasa ini biarlah perlahan – lahan ia kan sirna digilas masa. Ia kan menjadi debu ditimpa sang waktu namun kenanganmu tetap menjadi bagian dari hidupku. Seorang sahabat yang banyak mengajariku arti hidup. Seorang sahabat yang hebat menyikapi hidup, bagiku engkau lebih dari seorang sahabat, lebih dari seorang kakak. Engkau sahabat hatiku, suatu hal terindah bagiku mengenalmu.
            Aku pun slalu berdoa semoga dikemudian hari dirimu menemui pilihan hatimu, yang benar – benar menyayangimu dan nantinya hidup berbahagia bersama dirimu.
            Di akhir kata, ku hanya bisa menuliskan kata maaf, maaf dan maaf, dengan semua keterusterangan ini. Ku minta dirimu tidak membalas surat ini dan ku harap engkau dapat mengerti dengan keadaanku saat ini.
            Akan kenangan indah bersamamu, kan ku simpan dihatiku.

                                                                                                            Sahabat
                                                                                                            Yang slalu merindu


                                                                                                            Afung

Sesaat Zaman terpaku, ia pun merasakan hal yang sama dirasakan Afung, terasa panas dikedua belah kelopak matanya, Zaman berusaha keras menahan agar tiada jatuh sebulir pun air mata dari sudut matanya. Dengan keteguhan hatinya Zaman memejamkan kedua matanya dan Zaman pun berhasil menahan bulir air mata, terakhir sebulir air matanya jatuh ketika mendengarkan lagu yang diciptakan sahabatnya Azman dan Atan buat dirinya lagu itu khusus buat Zaman mereka memberi judul lagu itu          “ layang – layang Zaman “ ( untuk lebih jelasnya anda bisa membacanya di novel layang – layang Zaman karya iwansekopdarat )
            Zaman meraih gitar yang digantungkan tak jauh dari tempat duduknya. Dengan jemarinya Zaman mulai memetik dawai gitar akan semua rasa ini ia tuangkan dalam lagu yang digubahnya.



            “ Janganlah Kau Benci”
                                                            Cipt. iwansekopdarat

Kan ku simpan dihatiku
Kenangan indah  bersamamu
Merajud cerahnya hari
Kita lalui berdua
Semusim kini tlah pergi
Masa pun kini tlah berganti
Engkau pun ada yang memiliki
Kau curahkan cinta yang ada
Tak harus cinta kan selamanya
Akan memiliki
Cerita cinta yang pernah kau miliki
Janganlah kau benci
Reff        Hanya kata maaf dariku
Pabila dulu pernah tersakiti
Moga bahagia, engkau dengannya
Mungkin itulah pinta terakhirku
Biarlah semua ku bawa pergi
( lagu Janganlah kau Benci dapat dilihat diyoutube dipencarian iwansekopdarat )

   Zaman pun berusaha mencoba untuk tetap tegar dengan semua ini, karena dipasar siangnya sudah tutup dan selesai jualan, Zaman mencari kesibukan dengan berjualan kepekan - pekan seminggu 3 kali. Zaman kepekan – pekan dengan modal sendiri sisa dari uang sakunya merantau. Zaman berjualan mangkok, piring, gelas dan perabotan dapur lainnya yang berbahan plastik, hari Minggu ia kepekan Somba Huta, Senin di Airbelu dan Rabu di pekan Prapat Janji, hari selebihnya digunakan Zaman untuk istirahat, karena setiap pagi Zaman tetap membantu Bapak dan Ibu Mawar berjualan dipajak, biasanya Zaman berjualan mengendarai betor milik ayah Mawar, sebenarnya Zaman tidak hati namun ayah Mawar dengan sedikit memaksa agar Zaman memebawa betornya berangkat ke pekan – pekan. Ayah Mawar pun tidak memunguti uang dari Zaman ketika menggunakan betor barangnya. Itulah yang membuat Zaman jadi agak sungkan. Biasanya Zaman pulang ke rumah selesai jualan ke pekan – pekan selesai maghrib, sebisanya Zaman masih menyempatkan diri untuk sholat maghrib di rumah.
   Malamnya barulah Zaman beristirahat merebahkan dirinya di pembaringan rumah sewanya, sebelum tidur Zaman juga terkadang memetik gitar dan bernyanyi satu dua lagu. Karena ayah Mawar tidak pernah meminta uang dari Zaman yang telah membawa betornya, selesai jualan ke pekan tak lupa Zaman sering membeli kue atau jajanan lain buat ayah Mawar sekeluarga. Ayah dan ibu Mawar sangat bersimpati dan sifat Zaman yang santun, ramah, jujur dan pekerja keras. Mereka tidak mempermasalahkan kekurangan fisik yang ada pada diri Zaman karena menurut mereka walaupun Zaman cacat fisik namun hati Zaman tidak cacat, beda dengan pemuda – pemuda jaman sekarang, terkadang terlintas dibenak ayah Mawar ingin bermenantukan Zaman, sempat jua keinginan itu diutarakan pada istrinya ibu mawar ternyata ibu Mawar pun menanggapi positif. Ia ingin Zaman menikah dengan salah satu putrinya dikemudian hari kelak.
   Kesan pertama bagi Mawar dan Melati mengenal Zaman biasa – biasa saja, sedikit iba melihat kekurangan yang ada di diri Zaman yang terlahir dalam keadaan tidak sempurna, namun lambat laun rasa simpati itu berubah menjadi rasa suka. Ketika lebih mengenal pribadi Zaman, Mawar dan Melati pun sangat suka dengan lagu – lagu yang dinyanyikan Zaman. Dengan kepribadian Zaman diam – diam Mawar dan Melati jatuh hati kepadanya. Zaman tergolong pemuda tampan hanya dikarnakan ia berjalan dengan menggunakan tongkat peyangga seolah – olah lebih mencolok kekurangannya. Menurut pandangan Mawar, Zaman seorang lelaki penyabar, pelindung dan punya prinsip, itu yang membuat Mawar menyukai Zaman. Sedangkan menurut pandangan Melati, Zaman tipe cowok penyayang, setia dan romantis. Antara Mawar dan Melati punya pandangan yang berbeda untuk menyukai Zaman.
   Zaman masih membereskan jualannya, pembeli yang datang tidak lagi seramai pagi. Pak Mawar membawa istrinya berobat dan meminta Zaman untuk membereskan dan menutup jualan. Disela – sela ia merapikan jualan seorang pembeli bertanya padanya,
“ berapa bawang merah seperempat bang ?”,
“ eh kamu Kenanga, apa kabar ?
” Zaman seolah tidak menjawab yang ditanyakan Kenanga tadi malah Zaman balik bertanya
“ sehat man ?”
“ ini anakmu “ kembali Zaman bertanya ketika melihat Kenanga menggenggam jemari anak kecil,
“ iya man, anakku “, jawab Kenanga
“ kamu buru – buru nggak ?”
“ nggak juga man”
“ oh ya, jadi lupa aku, biar kutimbang dulu bawang yang engkau pesan, duduklah dulu”, Zaman pun mempersilahkan Kenanga duduk sekedar istirahat ditempat jualannya.
“ namanya siapa dek”, tanya Zaman kepada gadis kecil yang berjalan di samping ibunya.
“ Bulan om”
“ o… Bulan, Bulan sudah sekolah”
“ sudah om, kelas 1 SD”, jawab gadis kecil itu dengan polos Zaman pun membelikan 3 botol teh sosro dan sebungkus roti kering, ia menyuguhnya kepada Kenanga dan Bulan. Zaman dan Kenanga pun larut dalam obrolan ringan, tak lupa Kenanga pun bertanya asal usul Zaman dan dimana kampung halaman. Zaman pun menjawab apa adanya, hati Zaman terenyuh jua mendengar penuturan Kenanga, mengapa sebab ia jatuh dalam lumpur dosa.
               Kenanga adalah anak tunggal dari keluarga berada ayah dan ibunya sibuk dengan pekerjaan masing – masing mereka beranggap semua masalah bisa diatasi dengan materi bahkan bagi mereka kasih sayang itu dapat dibeli, Kenanga kecil hidup dalam gelimangan harta namun hampa dan kosong  dalam jiwa. Kenanga kecil pun tumbuh beranjak remaja seperti ibu dan bapaknya, Kenanga pun beranggapan uanglah segala – galanya, pertengkaran antara ibu dan ayahnya yang kerap ia dengar baginya bagai sarapan pagi saja. Kenanga pun slalu mengunjungi tempat – tempat hiburan yang dianggapnya sebagai obat yang dapat menentramkan jiwanya. Ia juga mendengar kabar angin disekitarnya yang mengatakan ayahnya memiliki wanita lain selain ibunya, begitu juga dengan ibunya yang memiliki pria lain selain ayahnya. Puncak pertengkaran hebat itu disaat ayah melihat langsung ibu berselingkuh dengan pria lain di rumah mereka. Ayah pun menceraikan ibu, sementara Kenanga ikut ibunya. Setelah berpisah dari ayah bukan ibu sadar dan bertobat bahkan semakin menjadi – jadi. Kenanga pun terjebak dalam pergaulan bebas, ibunya marah besar ketika mengetahui Kenanga hamil dan Kenanga pun dikeluarkan dari sekolah. Saat itu Kenanga masih duduk dibangku kelas 2 Sekolah Menengah tingkat Atas ( SMA ).
               Kenanga pun keluar dari rumah setelah pertengkaran hebat dengan ibunya. Kenanga minta pertanggung jawaban kepada lelaki yang membuat ia jadi begini, namun lelaki itu menolak dengan alasan ia telah beristri dan juga menuduh Kenanga sering gonta ganti pasangan. Pria itu berujar bahwa benih yang ada di rahim Kenanga bukan dari benihnya saja bisa jadi benih dari lelaki lain. Kenanga sangat terpukul mendengar jawaban tersebut. Kenanga berniat meninggalkan kota dimana dia dilahirkan. Tak sanggup bagi Kenanga untuk tetap bertahan di kotanya dengan rentetan kejadian yang sangat menyakitkan.
               Bersama sahabatnya ia merantau dan sampai di kota Kisaran. jiwanya masih labil dengan kurangnya pemahaman tentang keagamaan. Setelah selesai melahirkan, ia kembali terjebak dalam lumpur dosa. Ia tidak memiliki keahlian apa – apa, ia pun berprofesi sebagai wanita panggilan guna menghidupi anaknya dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari dan sampai saat ini profesi itu masih dilakoninya, namun ia bertekad dalam hati tak ingin Bulan anaknya mengikuti jejaknya. Kenanga ingin Bulan yang masih anak – anak belajar ilmu agama dari sekarang agar dapat nantinya mengerti dan memahami arti ketuhanan. Jauh dilubuk hatinya Kenanga juga mengatakan bahwa ia juga ingin kembali kejalan yang diridhoi Allah swt.