Kamis, 09 Mei 2013

DERAU-DERAU HATI Bag. II


 Bagian 3
            Seorang pemuda sedang memperbaiki kerusakan mobil pelanggan di bengkel besar pak Utomo. Di tempat ini ia bekerja sebagai montir. Sangking seriusnya pemuda tersebut tidak sadar bahwa seorang satpam tepat berdiri di belakang pemuda itu. “Tam, Rustam!” pemuda yang merasa namanya di panggil segera menoleh ke belakang melihat asal suara. “Ada apa pak” jawab pemuda itu. “Kamu di panggil pak Andi, katanya ada urusan penting, sekarang juga kamu kekantor pak Andi” jelas petugas keamanan perusahaan tersebut. “Ya pak” tukas Rustam.
            Satpam itu pun  kembali menuju ruang jaga sedang Rustam membersihkan tanganya dengan kain lap. Setelah bersih Rustam pun berjalan menuju kantor pak Andi, putra pak utomo yang tak lain ayah Tira seorang pengusaha sukses. Setibanya di pintu ruangan kantor, Rustam mengetuk pelan, terdengar suara dari dalam ruangan kantor tersebut, “ya, masuk” pak Andi pun mempersilahkan Rustam duduk di depan meja kerjanya. “Nama kamu Rustam ya!”. “Ya pak , saya Rustam!” jawab Rustam singkat. Andi melihat sekilas pemuda yang duduk dihadapanya ini, seminggu sebelumnya Andi telah memantau pekerjaan Rustam.
            “Ada yang ingin saya bicarakan, lebih baik kita keluar sebentar lagi pula sudah jam istirahat siang, kesanya terlalu formil kita berbicara disini, mari ikut saya!” jelas pak Andi. “Baik pak”. Rustam pun mengikuti pak Andi dari belakang, dengan mengendarai mobil spirt milik Andi mereka menuju restoran, selesai makan barulah pak Andi memulai pembicaraanya.
            ”Rustam saya minta tolong sama kamu.”
            “Apa yang bisa  saya bantu, pak?” tukas Rustam keheranan.
            “Begini Tam…,” Andi pun menjelaskan kepada Rustam apa yang keluarga Andi rundingkan sebelumnya.
            Rustampun mengangguk-angguk  pelan menyimak penjelasan Andi. Sebenarnya umur Rustam dan Andi tidak terpaut jauh paling tiga atau empat tahun beda usia mereka. Namun karena Andi yang memimpin perusahaan ini otomatis ia disegani dan dihormati dengan sebutan “pak”, sedang Rustam seorang pekerja atau karyawan yang harus menghormati atasanya.
            Setelah selesai Andi menerangkan semuanya, Rustampun berujar “kasihan sekali nasib adik perempuan pak Andi, ia harus menanggung derita begitu hebat!”
            “Itulah Tam, kasaihan Tira saya ingin kamu menerima tawaran ini, membantu saya dan keluarga menjadi suami sementara Tira, saya berjanji akan membayar mu, tapi tolong rahasiakan semua ini.” Kembali Andi menyambung perkataanya. “Satu lagi Tam, saya harap kamu mengerti keadaan adik saya dan nanti tidak tersinggung  dengan ucapan ketusnya yang masih trauma dengan kaum lelaki yang dianggapnya  jahat dan biadap.”
            “Akan saya fikirkan lagi pak,” sela Rustam datar.
            “Semoga besok kamu sudah memberikan jawabanya,” harap pak Andi menutup pembicaraanya.
            Merekapun kembali menuju tempat kerja. Rustam kembali menyelesaikan pekerjaanya dan pak Andi pun sibuk dengan pekerjaanya.
            Malam harinya Rustam menimbang-nimbang perkataan pak Andi waktu mereka selesai makan di restoran. “Yach kasihan keluarga pak Andi yang di rudung masalah dalam keluarganya, lebih kasihan lagi adik pak Andi itu, ia harus mengandung benih dari orang yang tidak ia kenal, biarlah aku menyanggupinya saja. Bukanya tergiur dengan jumlah uang tawaran pak Andi, tapi aku lebih mendengar kata hati membantu keluarga pak Andi dengan ikhlas,” bisik batin Rustam. Rustam pun tertidur  dengan satu pilihan yang ia buat dengan mantap.
            Keesokan harinya  setelah mendengar jawaban Rustam, Andi pun membawa Rustam ke rumahnya. Di rumah pak Utomo dan istrinya sudah menunggu. Sebelum berangkat menuju rumahnya, lewat telepon seluler Andi telah memberitahukan pada ayahnya, bahwa ia sudah menemukan dan akan membawa  pemuda itu  bertemu ayah dan ibunya. Andi sudah memilih Rustam untuk menjadi suami Tira.
            Setibanya di rumah istri pak Utomo menyilahkan Rustam masuk dan duduk di rumah mereka yang mewah penuh dengan peralatan-paralatan luk dan serba mahal, mereka ngobrol seadanya . Pak Utomo menambah sedikit penjelasan Andi semalam pada Rustam. Rustam pun mengangguk pelan tanda mengerti apa yang pak Utomo jelaskan.
            Tak lama istri pak Utomo pun memanggil puterinya, dengan wajah murung Tira menghampiri dan duduk di sebelah ibunya. Sekilas Tira melihat wajah pemuda itu, tiba-tiba muncul rasa bencinya terhadap kaum lelaki. Tira seolah-olah benci melihat pemuda yang duduk di depanya ini, dalam benak Tira mungkin pemuda itu tengah mentertawakan nasib yang ia derita , juga dalam benaknya Tira juga berfikir bahwa pemuda ini telah di bayar ayah atau kakaknya dengan jumlah uang yang tidak sedikit.
            “Enak sekali pemuda ini, tunggu saja apa yang akan ku perbuat nantim,” bisik batin Tira yang merasa lelaki ini mengambil kesempatan  dari ketidakberdayaan keluarganya yang ditimpa masalah pelik.
            Sedang Rustam hanya sekilas beradu pandang dengan Tira. Dalam hati rustam mengakui kecantikan wajah Tira, namun dengan sorot mata Tira yang tajam dan dingin Rustam tak mau terlalu jauh menebak-nebak dan mereka-reka.
            “Tam, kenalkan ini adik saya Tira, Tira ini Rustam,” ujar Andi. Rustam pun menyodorkan tanganya di  sambut dingin oleh Tira , mereka saling menyebut nama masing-masing. Selesai itu pak Utomo pun menjelaskan inti pembicaraan mereka , kepada Rustam Tira pun menerangkan perkataanya.
            “Kamu jangan merasa dengan pernikahan ini kamu bias memiliki ku, dan mengatur hidupku, pernikahan ini bersifat sementara, setelah aku melahirkan nanti, hubungan ini aku anggap usai, dan kamu tidak lagi menjadi bagian dari keluarga ini. Kamu juga harus menandatangani surat ini, sebelumnya kamu boleh membaca isi surat ini,” ujar Tira menyerahkan kepada Rustam gulungan kertas yang tadi Tira pegang.
            Rustam membuka gulungan kertas tersebut dan membaca isinya. Di dalamnya tertulis beberapa poin. Rustam pun menyimak membaca isi surat tersebut. Adapun poin-poin yang tertulis di kertas itu adalah :
1.      Setelah menikah sang suami tidak boleh tidur seranjang dengan  istri dan tidak boleh saling bersentuhan.
2.      Sang suami tidak berhak melarang  atau menegur apa-apa yang dilakukan istri.
3.      Sang suami harus siap kapan hubungan  ini diakhiri.
Setelah membaca poin-poin diatas Rustam pun menandatangani surat itu, ia menyanggupi syarat-syarat yang di tulis Tira.
            Pak Utomo pun menjelaskan hari H pernikahan mereka dan menceritakan apa-apa saja yang perlu disiapkan. Rustam            hanya mengikuti pembicaraan mereka, sementara Tira menuju kekamarnya.
            Selesai mereka merembukkan semua pembicaraan, Andi pun mengantar Rustam pulang menuju kos-an tempat tinggal Rustam. Tak lupa Andi berujar “terima kasih Tam kamu sudi membantu keluarga kami, ku harap kamu tidak tersinggung dengan sikap dingin Tira juga surat yang kamu tandatangani tadi, somoga kamu mengerti dan memahami sikap ketus Tira kepada mu.”
            “Taka apa pak, saya mengerti, saya tulus melakukan ini,” jawab Rustam mantap. Sore ini Rustam telah mengambil keputusan dalam hidupnya. Tiga hari lagi ia akan menikah, menikah dengan seorang gadis yang tidak bisa ia miliki seutuhnya. Dalam benaknya Rustam berfikir begitu mudahnya orang-orang yang memiliki harta yang melimpah mempermainkan makna pernikahan. Mereka selalu membandingkanya dengan uang, sanggup membayar harga dari sebuah pernikahan.
            Sebelum hari pernikahanya Rustam menyempatkan diri menghubungi orang tuanya di kampong lewat telephon seluler.
Mamak  : Halo, Assalamu’alaikum, awak ni Tam?
Rustam  : Wa’alaikumussalam Wr.Wb. iye mak, ini rustam mak. Ape kaba, sehat?
Mamak  : Ai gini-gini lah Tam, sehat-sehat lah tue. Kadang sehat kadang sakit, name pun lah tue, tapi Alhamdulillah lah Tam mak baek-baek saje.
Rustam  : Sukor lah mak, mane bapak mak, biase bapak yang nerima telephon.
Mamak  :Bapak pergi kenduri, tadi petang ade orang ngundang bace doa selamat, kendurinye abes isya, sekarang ni maseh di sane lah bapak awak tu.
Rustam : o… (ujar Rustam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Rustam pun duduk bersandar di dinding kamar kosnya)
Mamak  : Aok Tam, bapak awak tu segan bawak Hp pegi kenduri, kelak macam pak cik Jamel kau tu, katenye pegi kenduri bawak Hp, begitu agik bace do’a, bunyi Hp  tu lagu india pulak, jadi gelik hati yang denga, mak je denga cerita bapak awak tu, jadi tekilai.
Rustam   : ade-ade je mak ni (ucap Rustam sambil tersenyum).
Rustam   : Bapak ape kaba mak?
Mamak  : Bapak awak tu sehat lah, cume beberapa hari ni agak lemah badan katenye, tapi masehlah motong getah, samelah dengan mak masehlah bantu bapak awak tu motong getah. Awak sendiri ape kaba Tam?
Rustam    : Alhamdulillah sehatlah mak! Bang Amer ape kaba mak ? Adek Munah pun sehat Mak ?
Mamak     : Bang Amer kau tu sekeluarga sehat, adek Munah kaupun sehat, baru sebulan lepas hari, bayi die laki. Namanya Muhammad Rizki. Bapak awaklah kan yang kasi name. Laki Munah pun sehatlah,Cuma sekarang agak kurang tido die, asek bejage malam, ningok Rizki tu. Munah pun melahirkan normal, dak operasi.
Rustam    : sukurlah mak kalau sume sehat-sehat dah nambah lagi cucu mamak jadi tige, due dari Bang Amer, satu dari Munah
Mamak     : Iyelah Tam, lah tige cucu mamak bapak awak ni, di bilang adek Munah kau tu, Bang Rustam bile lagi ?
Rustam    : ndak mamak, kerje je maseh setengah taon, merantau maseh seumo jagung, lah nak mike kawin, nak di kasih makan ape anak gadis orang ( ujar Rustam sambil tersenyum kecut )
Mamak     : Kalo bang Amer kau bilang, kalau dak jelas je kerje di situ, bagoslah balek je, motong getah kat sini. Kate abang kau tu, pak mak lah tue baguslah awak yang nguros kebon. Taulah abang kau sibok ngaja di sekolah same dengan kakak ipa kau, adek kaupun Munah kerje di bank, ni karne melaherkan die ambek cuti. Laki diepun, adek ipar kau tu, sibok di kanto, dak lah polisi disuroh motong getah
Rustam    : Ai mak, bialah dulu Rustam cari pengalaman dikampung orang, lagie pon baru je Rustam di sini, do’akan saje mak Rustam berhasil di negeri orang.
Mamak     : Mak same bapak awakni  slalulah bedo’a moge awak sehat-sehat tak kurang satu apepun, baek-baek di kampong orang, jangan lagi begajol, sembahyang jangan ditinggal, jangan lagi suke betumbok, umopun dah maken tambah. Pikekan juge berumah tangge, mak pon pengen nimang cucu dari awak.
Rustam    : iye mak, Rustam denga cakap mak.
Mamak     : Ha, satu lagi pesan mamak, pandai-pandailah begaol, jike awak rase ketemu jodoh di negeri orang, bagus-baguslah menilainye, bukan dari banyak harte atau cantik di rupe, tapi carilah gadis yang lembot budi bahase dan baei perangaiye. Kalau dapat carilah yang seiman, nikah tu Tam bukan cube-cube, tapai usahe menyatukan hati  dalam jalinan bahtere rumah tangge sampai maot kelak memisahkanye. Bidok haluan kemudi harus dijage jangan sampai karam di tengah samudre. Teroslah bedo’a moge kelak dapat jodoh seorang gades yang dapat membanggakan keluarge, membine keluarge yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Jangan macam orang-orang kat TV tu, seminggu kawen esok cerai, bolak-balek kawen bolak balik cerai. Mang Tuhan ndak mengharamkan orang yang becerai tapi Tuhan ndak suke geg dengan orang yang bulak-balek kawen bolak balek cerai. Nikah tu bukan maen-maen Tam, jadi jangan cube-cube kalau hati belum ikhlas.
Rustam    : Iyelah mak, Rustam denga nasehat mak ni, oh iye mak, hari dah maken malam mete Rustam pun dah terkebel-kebel, sudah dulu og mak, isok-isok sambung lagik, Rustam takot telambat pegi kerje, lah nak tido lah ni.
Mamak     : Gok lah Tam, bagos-bagoslah di tempat kerje, awak ndak nunggu bapak lagik mungkin kejab lagik baleklah bapak awak tu.
Rustam    : Sampaikan je salam Ruslam same bapak ye mak, adelah kelak Rustam telephon bapak, sampaikan juge salam Rustam same keluarge bang amer, juge keluarge adek Munah, sudah dulu mak ye, Assalamu’alaikum.
Mamak     : Wa’alaikumussalam Wr.Wb
            Selesai ibunya menutup pembicaraan Rustam merebahkan dirinya di kasur kamar kosnya. Telephon seluler masih tergenggam di tanganya
            “Maafkan Rustam mak, Rustam tidak berterus terang same mamak tentang pernikahan yang akan Rustam jalani nanti, ape-ape yang di bilang mamak akan selalu Rustam ingat, mungkin bagi keluarga pak Utomo pernikahan itu hanya suatu permainan hidup, tapi bagi Rustam pernikahan itu bukan maen-maen atau cube-cube. Biar saja keluarga Utomo memainkan perannya dalam pernikahan ini, namun Rustam tetap menjalankan bisik hatinya yang tulus menjalankan pernikahan ini dengan ikhlas, semoga Tuhan mengampuni ku,” bisik batin Rustam.
            Rustam pun tertidur dengan satu pesan dari ibunya yang ia rekam dengan jelas dalam benaknya.
Bagian 4
            Di salah satu restoran mewah ternama milik pak Utomo diselenggarakan acara atau resepsi pernikahan puterinya, Tira dan Rustam. Tamu-tamu undangan mereka silih berganati berdatangan mengucapkan selamat tanda suka cita kepada keluarga pak Utomo dan kedua mempelai. Acara berlangsung sesuai dengan yang diharapkan, pagi harinya di tengah berlangsung acara ijab Kabul, dengan khidmad ekspresi wajah Tira terkesan datar dan acuh, hanya Rustam yang melaksanakan dengan tulus, ikhlas dan sungguh-sungguh acara demi acara tersebut.
            Selasai acara resepsi penikahan, pak Utomo sekeluarga  kembali ke tempat kediamanya. Rustam pun kini menjadi bagian dari keluarga pak Utomo.
            Di tempat kediaman pak Utomo yang mewah, Rustam menempati satu ruangan yaitu kamar tamu untuk dirinya, karna ini sesuai dengan apa yang Tira bilang dan tulis. Hari ini sangat melelahkan bagi Rustam, ia segera merebahkan dirinya di ruangan kamar yang sangat asing baginya. Beberapa kali Rustam menarik nafas beratnya, ia coba memandang langit-langait kamar yang putih bersih. Di kamar ini semua peralatan tertata rapi. Suara ketukan pintu kamar menyentakkan lamunan Rustam, ia pun segera bangkit dan membuka pintu kamar tesebut.
            “Boleh aku masuk Tam?” ujar Andi anak pak Utomo
            “Silahkan pak,” jawab Rustam pelan
            “Tolong Tam, jangan panggil bapak, panggil saja Andi.” Ucap Andi menerangkan
            “Baik… pak,..eh Andi,” sela Rustam tanggap.
Andi duduk di tepi pembaringan, Rustam pun duduk di samping Andi.
            “Lelah Tam.”
            “Lumayan…Ndi,” terasa canggung Rustam memanggil nama Andi.
            “Terimakasih ya Tam, kamu sudah menyelamatkan martabat keluarga ini, oh ya tam terimalah cek ini, ini tanda terimakasih kami pada kamu, tam,” Andi pun menyodorkan selembar cek pada Rustam. Dengan cepat Rustam menyanggah perkataan Andi.
            “Jangan pak, eh… jangan Andim, aku ikhlas membantu keluarga ini, aku akan berusaha mengembalikan keceriaan dan senyum Tira seperti dulu lagi, apalagi engkau pernah bilang ndi, bahwa aku ini sahabat mu.”
            “Rustam, jika engkau menganggap aku sahabat dan kakak iparmu tolong terima ini, anggap ini sebagai cendramata atau kado pernikahan dari seorang sahabat.” Andi pun menyelipkan cek tersebut  ke dalam saku kemeja Rustam.
            Rustam hanya mendesah pelan.
            “Aku mohon padamu Tam, semoga engkau kerasan tinggal disini, jika nanti Tira berbicara terus padamu, tolong kamu bias menahan diri Tam, demi aku Tam sahabat mu,” pinta Andi
            “InsyaAllah Ndi, aku di beri kekuatan oleh yang maha kuasa untuk menjalani semua ini,” jelas Rustam.
            “Sekali lagi terimakasih Tam, engkau telah mengorbankan hatimu untuk seorang sahabat, pengorbanan ini akan aku ingat selalu.”
            Rustam hanya termenung mendengar penjelasan Andi, tak lama Andi pun permisi dan keluar dari ruangan kamar. Tinggallah Rustam seorang diri yang lagi termenung memikirkan apa-apa yang akan terjadi melewati hari demi hari nanti, ia merogoh saku baju kemejanya mengeluarkan selembar cek. Sekilas Rustam membaca angka atau nominal yang tertulis di kertas cek tersebut. Nominal angka yang tidak sedikit setara dengan harga pembelian rumah baru dengan tipe sedang atau mewah. Rustam segera membuka laci meja yang berada di ruangan kamar tersebut, dan memasukkan cek tersebut ke dalam laci. Rustam tidak begitu tertarik dengan kertas cek yang diberikan Andi, karena memang niat Rustam tulus dan ikhlas membantu keluarga ini.
            Seperti biasa sebelum melakukan rutinitas keluarga, pak Utomo selalu menyempatkan diri berkumpul bersama di pagi hari untuk sarapan bersama-sama. Semenjak kejadian buruk yang menimpa Tira , ia jarang mau sarapan bersama ayah, ibu dana kakaknya. Tira lebih memilih sarapan pagi di kamarnya. Ayah, ibu dan kakaknya pun mengerti dan memahami keadaan Tira. Seperti pagi ini Andi, ayah dan ibu sudah duduk di meja makan, pak Utomo meminta bik Mimah untuk membangunkan Tira dan meminta bik Minah memberitahukan Tira agar sarapan pagi bersama-sama. Juga kepada Andi pak Utomo mengatakan agar memberitahukan Rustam untuk sarapan bersama-sama. Andi pun bergegas ke kamar Rustam. Rustam sudah bangun, di pintu kamar ia berpapasan dengan Andi.
            “Kebetulan Tam, mari papa ngajak sarapan bersama-sama.”
            “Terimakasih Ndi, duluan saja, nanti aku sarapan di luar, sekalian mengambil beberapa barangku di tempat kos ku, sekalian permisi sama ibu kos ku,” tolak Rustam halus.
            “Inikan hari libur, nanti ku temani kamu ketempat kos mu, sekarang kita sarapan bareng dulu sama mama, papa,” ajak Andi.
            Rustam pun berjalan di belakang Andi menuju ruang dapur keluarga, disana sudah menunggu pak Utomo beserta istri. “Ayo tam duduk, kita sarapan bareng,” ucap pak Utomo.
            “Ia pak, jawab Rustam sopan dan duduk di sebelah Andi, ibunya Andi tersenyum kepada Rustam, sambil mengangguk sopan Rustam juga tersenyum.
            “Jangan canggung-canggung Tam, panggil saja papa, dan ini mama,” ujar pak Utomo meyakinkan.
            “Baik pa, eh pa…ma,” kembali rustam menjawab dengan pelan dan sopan.
            Tira pun sudah menyusul dan berdiri di belakang kursi meja makan, tatapanya seakan tidak bersahabat melihat Rustam, dengan ketusnya Tira berujar. “Pa…ma… Tira tidak mau sarapan kalau laki-laki itu sarapan disini,” ekor mata Tira melirik kearah Rustam. Rustam hanya memandang sekilas kembali ia tertunduk.
            “ Tira tak  baek gegitu, mari kita makan sama-sama,” ucap ibunya pelan. Tira hanya berdiri dan mematung membisu.
            “Tidak apa-apa buk, saya sarapan di luar saja, sekalian mau permisi sama ibu kost tempat dimana saya ngekost,” tanpa menunggu jawaban Rustam pun berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu depan.
            “Pa, biar saja Andi yang manemani Rustam, membantu Rustam membawa barang-barangnya kesini,” tukas Andi, pak Utomo pun mengangguk pelan, Andi bergegas menyusul Rustam. Dengan mobil sport Andi, mereka meluncur menuju tempat kost Rustam. Namun, sebelumnya mereka menyempatkan diri untuk sarapan pagi sejenak di restoran terdekat. Di sela-sela sarapan, Andi meminta maaf atas perkataan Tira tadi kepada Rustam. Andi menjelaskan mungkin saja Tira masih trauma dengan kejadian buruk yang menimpa dirinya, hingga ia sangat membenci kaum laki-laki yang ia anggap jahat dan semoga Rustam memakluminya. Rustam hanya mengangguk pelan mencoba mengerti dan memahami sikap Tira saat ini.
            Sementara di ruang makan keluarga, tidak banyak yang di ceritakan ayah, ibu dan Tira. Selesai makan Tira kembali ke ruangan kamarnya, pak Utomo dan istrinya masih duduk di ruang makan keluarga.
            “Ma, semoga Rustam mengerti keadaan Tira saat ini dan memakluminya.”
            “Ia pa, kalau mama lhat Rustam itu kayak orang baik-baik,” imbuh si istri.
            “Moga saja ma, apa yang di fikiran mama benar adanya,” tutur pak Utomo. Kembali pak Utomo menambahkan perkataanya. “Mudah-mudahan ya ma, Tira dapat melupakan kejadian kelamnya.”
            “Yach pa, semua butuh proses. Moga-moga saja sedikit demi sedikit Tira kembali bangkit dari keterpurukanya.”
            “Hari berganti hari bulan demi bulan terlewati tidak terasa usia kehamilan Tira sudah memasuki bulan ke tujuh. Rustam masih tinggal di rumah kediaman pak Utomo. Andi kakak Tira sahabat dan kakak ipar Rustam selalu memberikan dorongan semangat pada Rustam, agar Rustam dapat bertahan, mengerti dan memahami situasi ini. Rustam pun berusaha untuk tidak mengecewakan hati sahabatnya itu.
            “Selama tinggal di rumah kediaman pak Utomo Rustam selalu menunjukkan perilaku-perilaku yang baik, membuat perasaan pak Utomo dan istrinya menjadi senang. Mereka berharap suatu saat Tira mau membuka pintu hatinya untuk Rustam dan menerima Rustam menjadi suaminya dan Rustam dapat menerima Tira apa adanya, menjadikanya seorang istri dalam hakikat pernikahan yang sesungguhnya, bukan seperti yang dijalani oleh tira dan Rustam saat ini.
            “Sementara hati tira masih beku dan dingin, ia selalu berbicara ketus pada Rustam. Tira terus berfikiran kalau Rustam mengambil kesempatan dalam kejadian ini, memang dedikit banyak Tira sudah berubah. Perkembangan dari perubahan inimembuat pihak keluarga tidak lagi merasa was-was dan sedikit tenang. Tira yang kini menyandang predikat atau berstatus istri, tidak lagi merasa canggung dengan kehamilanya, terkadang Tira juga mau menyetir mobilnya sendiri sekedar mencari udara segar atau mengunjungi tempat rekreasi guna merilekskan fikiranya,tira juga mengajak ibu atau bik imah pembantunya, menemani ia keluar rumah.
            Kepada Rustam Andi banyak mengucapkan rasa terimakasihnya atas perkembangan perubahan sikap Tira saat ini, sesekalipun Tira sudah mau tersenyum, namun tidak untuk Rustam, terlalu salkit hati Tira di buat kaum laki-laki, kepada Rustam lah ia tumpahkan semua kekesalanya. Sementara Rustam yang selalu menerima perlakuan kurang menyenangkan dari Tira selalu berikhlas hati. Andi pernah mengatakan pada Rustam bahwa sebenarnya sifat Tira tidak seperti itu, mungkin dikarenakan kejadian buruk menimpa Tira ia jadi seperti ini membenci kaum laki-laki.
            Rustam pun merasa senang melihat perkembangan sikap Tira kearah yang lebih baik seperti saat ini, walaupun Tira sendiri tidak menyukai dan cenderung membenci Rustam. Namun bagi Rusta tak mengapa, ia tulus melakukan semua ini. Pengorbanan tulus dari seorang sahabat.
            Keluarga Utomo, ayahnya Andi merasa banyak berhutang budi pada Rustam dan menganggap Rustam sebagai pahlawan mereka yang telah menyelamatkan martabat keluarga, menutupi aib dari kejadian buruk yang menimpa Tira putri  mereka. Dengan ini semua tidak membuat Rustam besar kepala dan berbesar hati, Rustam tetaplah Rustam dengan kesederhanaanya dan ketulusanya, yang ingin membuktikan kepada orang-orang di kampong halamanya bahwa Rustam yang dulu diberi gelar preman kampung, kini telah berubah menggenggam masa depan, meraih cita-cita dan harapan dengan jalan yang benar.
            “Jauh di lubuk hati Rustam ia selalu berdo’a pada Yang Maha Kuasa semoga suatu saat kebekuan hati Tira yang bagaikan salju itu dapat mencair dan tidak lagi beku.
            Derau-derau hati Rustam berbisik
            Laksana suara hujan yang dibawa angin
            Derunya menyeruak kalbu menyeruput rindu
            Menyirami bumi dari kegersangan hati yang pilu
            Ibarat daun atau ranting kering yang layu dan
            Gugur di tanah tetaplah masih berguna
            Menjadi satu zat yang dapat menyuburkan tanah
            Menumbuhkan kembali daun-daun dan ranting-ranting dengan sempurna.
SEKIAN

(Bersambung pada kisah selanjutnya “Derau-Derau Hati 2”)


“Karena dengaanmu”

Kursi meja kaki kepala hati aku punya
Namun cinta aku tiada
Lemari buku tinta juga pera aku ada
Namun rinduku entah kemana
Menulis menyurat menggores menggurat aku telah
Namun jiwa ini musnah
            Melintang membujur merentang menjemur aku ingin
Namun rasa tiada yakin
Denganmu yang membuat cintaku mengembara
Denganmu yang menjadikan rinduku entah dimana
Denganmu yang melihat jiwa ini dari ruang dan celah
Denganmu yang meyakinkan rasa ini jadi mungkin
Karena denganmu
Membuat hati ini berdentang syahdu
Karena denganmu
Menjadikan hati ini mengangkasa di awan biru
Karena denganmu
Mengajarkan hati ini bagaimana cara merindu
Karena denganmu…
Karena denganmu…


“Belajar Menghargai”

Sebutir nasi yang tersisa di ujung bibir
Tidak sempat dimakan dan dibuang sembarangan
Padahal itu cukup buat umpan
Umpan untuk ikan
Ikan untuk makan
Kawan butir padi yang kelak ditanak
Menjadi butir nasi
Kawan roti yang kelak dibakar
Menjadi makanan
Jadi…hargai sebutir nasi yang tersisa di ujung bibir
Usaplah lembut ia
Letakkan pada tempatnya
Dan basuhlah bekasnya denganb air
Hanya air yang dapat mengusap lembut ujung bibir
Hanya air.


“Laksana Paku Besi”
Laksana paku besi membaji hatiku
Menghantam ganas menghujam keras
Menggilas buas
Darah menganak sungai
Luka ini belum usai
Perih ini baru mulai
            Tiada cindai membekap luka
            Karena aku bukan laksmana
            Bukan dari pusaka sakti
Hanya sebilah paku besi
Aku sekarat
Setengah nafas ini terbata
Di hujam paku besi bekarat
Terengah jiwa di muara kata


“Matahari Bulan Bintangku”

Endot, enot, eyot
Sapaan akrap matahari bulan bintangku
Menyinari menerangi
Taburan warna pijar yang berseri
Endot enot eyot itu aku
Darah daging tulang sum-sum denyut nadiku
Peluk angan dekap rindu selimut sukmaku
Endot laksana matahari
Kemilau berpijar menerangi
Enot laksana bulan
Sinaran lembutmu menyirami
Eyot seumpama bintang
Kerlap-kerlip mu menghiasi
Itu semua aku bagian dari
Dari mimpi dalam angan yang pasti




“Waspadalah Bersikap”

Aku tersesat di hutan belantara
Dimana hukum rimba merajalela
Tidak tau jalan keluar
Tidak tau harus berbuat apa
Memangsa
Atau menunggu dimangsa
Itu sama saja
Tak jauh beda
Siklusnya berputar bagai roda
Walau tidak mencuri
Walau tidak korupsi waspadalah bersikap jeli dan hati-hati
Agar tidak masuk perangkap
Sebuah konspirasi
Yang tersembunyi dan tersusun rapi

Opera Anak Negeri
“Celoteh Anak Negeri”                                                                    Cipt. Iwan Sekop Darat

C                  F          G                  C
Tuan dengarlah celoteh anak negeri
                         F                      G      C
Yang di atas sana jangan berdiam diri
                           F                     G                  C          
Wajah-wajah bocah masih banyak kurang gizi
                      F             G                    C
Sedang tuan sibuk urusan yang tak pasti
C                  F          G                  C
Tuan dengarlah celoteh anak negeri
                            F             G                 C
Yang sering korupsi bagus dihukum mati
                               F              G                     C
Yang tak dapat makan mencuri mungkin wajar
                              F             G                C
Sedang tuan kenyang mencuri kurang ajar
                       Dmn           F           G                  C
Yang maling nasi ketahuan dipukul sampai mati


                        Dmn          F                   G                C
Dan yang korupsi ketahuan malah sempat angkat kaki
Reff
      G       F            C        F        G       C
Kalau tak mau dihujat tuan jangan bejat
C             G              C        F         E        C
Kalau tak mau dikecam tuan jangan kejam
C          D          A                C
Dengarlah celoteh anak negeri
               D                 A           G         C
Jangan tuan duduk diam langsung pergi
     G   F                C
Hoaa aa langsung pergi
  G       F                     C   G   F
Hoaa am langsung pergi, ho aam
             C
Makan hati


“Celoteh Hati”

Dari apa yang tersirat
Dengan apa yang tersurat
Itu hanyalah celoteh hati
Yang tak harus di perdebat
Yang tak usah diingat
            Jikalau lancang menata aksara
            Andaipun tajam merangkai kata
            Maafkan beta
            Sepuluh jari rapat didada
            Kaki dan tangan jiwa mengiba
Adakala bersyair cinta
Adakala berpuisi jiwa
            Ada kala bersajak rasa
            Ada kala gurindam do’a
Adakalanya…
Melihat di sekeliling kita
            Dari celoteh hati
            Jangan disimpan di hati
            Dikupas dan dikaji
            Cukup dibaca saja
            Dan dimengerti
            Dalam celoteh hati


”Hati Pantun”

Jarak dari semua
Lepas dalam ikatan
Bersajak berirama
Mengupas dengan kiasan
            Laron dan kelelatu
            Lain ucapan satu bilang
            Yang diibaratkan sesuatu
            Yang difikirkan seseorang
Jika membingkai ukiran
Hendaklah berkayu jati
Kata dirangkai fikiran
Rasa dihaluan hati
            Melirik dan mendekap
            Merangkul dalam lena
            Di sebalik dua ucap
            Bersimpul satu makna
Bergurindam meniti sapa
Berpedoman madah puisi
Yang dipandang cantik adalah rupa
Yang dipandang indah adalah budi
            Bukan keris jadi keramat
            Bersenandung di malam sunyi
            Dalam baris empat kerat
            Terkandung maksud tersembunyi
Jikalau air hendak dituntun
Jangan ditadah kaki memijak
Jikalau mahir merangkai pantun
Maka mudah syair dan sajak
            Antara janji dan ucapan
            Disitu perlu menjaga lidah
            Antara isi dan sampiran
Berselimut untaian madah
Antara ucapan dengan janji
Anak tekak bagai daun
Antara sampiran dengan isi
Disitu letak hati pantun
            Tiada kutawar lagi
            Madah menyalun rasa memndam
            Carilah penawar hati
            Dicelah pantun dan gurindam
Merekah dan mengatup
Seumpama kerangnya mutiara
Menyerah dalam hidup
Laksana pantun kurang aksara
            Bertarung dengan taji yang direndam
            Mengais jadi ayam jawara
            Bertudung pantun bersaji gurindam
            Berbaris jari merapat do’a


“Ini itu Jadi Anu”

Ini ingin
Mimpi jadi mungkin
Itu mau
Rindu jadi menggebu
            Ini mimpi
            Ingin berharap mungkin
     Itu rindu
     Mau menggebu-gebu
Ini cinta
     Rasa jadi berbunga
Ini hati
     Jiwa indah berseri
            Ini rasa
            Cinta laksana bunga
            Ini jiwa
            Hati harum mewangi


“Gurindam Hati”

Hendaklah menjaga hati
Dari sifat iri dan dengki
            Ucap bibir dalam fikir
            Bisik hati jangan mungkir
Barang siapa mengutamakan budi
Tingkah lakunya suci di hati
            Bisik hati desah sukma
            Di situ jiwa angkat bicara
Jikalau hati diibaratkan putih
Karena putih warna yang bersih
            Lihat hati kala berdo’a
            Makrifat diri pada yang Kiasa
Lihat hati mengenal cinta
Rindu bertali diujung rasa
            Lihat hati merangkai mudah
            Puisi teruntai tatanan indah
Rahasia gurindam hati
Baris dan kerat memadahi


“Igauan”

Racau igauku di siang buta
Lagi terik matahari membakar dunia
Pelana mimpi berlari kencang juga
Telimpuh kaki
Dari lagu racauku sendiri
            Tidur belum lelah
            Mata jadi memerah
            Di banguni sudah
            Igau ini jadi terbelah
Dalam igauan
Dari racauan
            Memanggil satu nama
            Menyebut satu makna
Igauanku tak lagi
Racauku pun berhenti
Setelah tak bersama lagi
Setelah tak ku miliki lagi


“Rubuhnya Rindu”

Rubuh angan mimpi dan rindu
Rubuh di pusara kalbu
Rebah tak lagi bangkit
Rubuh di kaki langait
            Tumbang rasa cinta dan hati
            Tumbang di hakikat sanubari
            Terlentang terlungkup terkapar
            Tumbang di kerat ujar
Jatuh angan mimpi dan rindu
Jatuh rasa cinta dan hati
Terjebak dan terjerembab pilu
Tersentak gegap-gegap deri
            Tumbang jatuh jadi rubuh
            Tumbang rasa
            Jatuh cinta
            Rubuhlah rindu di dada
Karenanya aku kini tersiksa
Jiwa ini merana hati kecewa
Oleh cinta
Yang rubuh rebah
Yang tumbang melintang
Yang jatuh bangun


“Impiku”

Aku impikan di setiap malam
Tanpa terlewatkan
Aku impikan sepanjang hari
Tanpa lelah hati ini
            Impianku engkau menjadi milikku lagi
            Impianku engkau disini
            Kembali seperti waktu dulu lagi
            Bersama saling mencintai
            Bersama saling menyayangi
                        Bersama saling mengasihi
                        Bersama saling berbagi
                        Dalam cerita dan kisah abadi
                        Itulah yang ku impikan kini



 BIODATA PENULIS
Lahir di Dabo Singkep, kepulauan Riau pada tanggal 26 Januari 1976, terlahir dengan nama kecil yang akrab disapa Iwan, tumbuh dan basar dikampung Sekopdarat ( Dabo Singkep ) beragama islam berjenis kelamin laki – laki.
            Kini menetap di Kisaran, Asahan Sumatera Utara, berpropesi sebagai pedagang sayuran dipasar kartini Kisaran dan juga pedagang di pasar Kaget ( Pekan ) disekitar kota Kisaran.
            Adapun beberapa karya tulis Iwan  Sekop Darat :
1.      Tentang Rindu                                                    ( Novel )
2.      Tentang Rindu 2                                                 ( Novel )
3.      Layang – layang Zaman                                     ( Novel )
4.      Fatwa Cinta                                                        ( Kumpulan Puisi Sair & Sajak )
5.      Primadona Diujung Trotoar                               ( Novel )
6.      Madah Aksara                                                    (Novel dan Kumpulan Sajak )
7.      Tiang – tiang Aksara                                          (Novel dan Kumpulan Sajak)
8.      Do’a Simarjan                                                    ( Novel )
9.      Sulaman Aksara                                                 ( Kumpulan Puisi Sair & Sajak )
10.  Dilema Hati Menyinta                                         ( Novel )
11.  Pasukan Pramuka                                                 ( Novel )
12.  Bilur – bilur tinta                                                 ( Kumpulan Puisi Sair & Sajak )
13.  Buih Debur Riak Cinta                                        ( Kumpulan Puisi Sair & Sajak )
14.  Bingkisan Ramadhan                                           ( Cerpen dan kumpulan sajak )
15.  Helai Rindu                                                          ( Cerpen drama dan kumpulan sajak )
16.  Nektar Cinta                                                         ( Novel )
17. Bumi Segantang Lada                                          ( Drama dan Kumpulan Sajak )
18. Sejuta Warna Bougainvillea                                 (Drama cerpen dan kumpulan Sajak)
     (Kado Terindah Buat Yang Dicinta )
19. Celah Sukma                                                         ( Drama dan Kumpulan Sajak )
20. Derau – derau Hati 1                                            ( Novel dan Puisi )
21. Derau – Derau Hati 2                                            (Novel dan Puisi )