Minggu, 18 Maret 2012

TIANG - TIANG AKSARA Bag. 2

TIANG - TIANG AKSARA Bag. 2

oleh Iwan Sekopdarat pada 19 Maret 2012 pukul 10:59 ·

Di dalam tidurnya abang bermimpi melihat pemuda yang berbaju kotak – kotak itu bersama 3 sahabatnya. Pemuda itu tidak membawa gitarnya. Abang ingat betul dengan mereka walau kenangan itu sudah berlalu ± 15 tahun yang lalu, abang ingin mendekat namun langkahnya tertahan seolah – olah ada dinding kaca yang tebal menahannya. Abang coba berteriak memanggil mereka namun suara abang seolah terpantul ke wajahnya sendiri. Abang pun hanya terdiam mendengar mereka saling bertukar cerita antara pemuda itu yang mereka sebut dengan penulis, tuan pujangga, tuan petuah dan sang penyair. Abang ingat buku yang tadi dipinjamkannya dari Bu Ida kini berada di tangan siempunya buku, si penulis mulai membolak balikkan halaman demi halaman, ia mulai berkata,
“ kepadamu para tiang – tiang aksara, aku yang masih buta dalam menulis dan membaca banyak yang ingin aku tanyakan”
“ tanyalah wahai penulis dengan apa yang dikau tanya kami coba untuk menjawab dan menjabarkannya menurut pengetahuan kami masing – masing”, ujar tuan petuah
Penulis berkata,
 “ all the wealth, of the world could not buy you friend, not pay you for the lose of one “
  ( segala kekayaan di dunia tidak dapat membelikan kamu seorang sahabat dan juga tidak dapat membayar kamu oleh kehilangan seorang sahabat )
Tuan petuah pun mulai menjawab,
          “ indah nian petuah yang dikau bacakan penulis akan arti sahabat yang melebihi dengan emas seikat.
                   Sahabat ialah obat
                   Obat dari segala raja obat
                   Dengan perkataan mampu menyirami hati yang nestapa
                   Dengan perbuatan mampu menyejukkan langkah yang fana
                   Ingatlah akan makna sahabat
                   Sekalipun gigi dengan lidah adakalanya tergigit
                   Hendaklah jangan menjadi minyak bercampur air
                   Carilah kamu seorang sahabat
                   Yang mau menangis dalam kesusahan “


Tuan pujangga coba menjawab dengan bahasa pantunnya,
            “ maka ku ikat tepak tembikar
              Tembikar menyilau di kias kata
              Makna sahabat tiada tertukar
              Sekalipun dengan kilau emas permata
                             Tiada bertemu ujung dikebat
                             Jika lidi tinggal sebatang
                             Ingatlah kamu seorang sahabat
                             Disaat iri dirantau orang
              Sekerat ujung jari
              Sekebat yang jadi peniti
              Sahabat yang terpatri
              Ialah sahabat yang mengerti isi hati “
Sang penyair pun menanggapinya dengan bahasa puisinya,
            “ Sahabat hati…
              Tiada harta dunia untuk mengganti
              Tak terganti
              Sekalipun bumi berhenti
              Berputar tuk matahari
              Andai pun tau, harga emas permata
              Maka sahabat
              Tidak terharga dengan harta dunia

              Sahabat hati…
              Mungkin suatu saat kan pergi
              Namun maknanya
              Tetap bersemi di hati
              Beruntunglah diri
              Dapat bertemu dan berbagi
              Dengan sahabat hati “


Si penulis pun puas dengan jawaban tiang – tiang penyangga sastra, kembali ia bertanya, dari buku yang dibacanya,

                          “ a bird in the bag is worth two on the song”
              (seekor burung di dalam tas lebih berharga daripada dua ekor dicabang kayu)

Kali ini tuan pujangga yang mulai menjawabnya,
              “ jika hendak belajar ilmu ikhlas
                 Taulah ia rasa sukur yang berkias
                             Barang siapa yang berharap sekerat
                             Tentulah yang ditangan tiada ia dapat
                 Sebutir telur yang dipegang lebih terpandang
                 Daripada seekor ayam dikandang orang
                             Syukuri yang di dapat saat ini
                             Jangan berharap lebih melampaui “ 

Tuan petuah pun coba menggenapinya,
                   “ ialah nafsu…
                      Yang slalu meraja …
                      Sekalipun ada tetap kurang adanya
                      Tiada mengenal cukup untuk suatu nafsu
                      Yang ada seakan dibiarkan
                      Yang tiada selalu diharapkan
                      Harapkan merpati yang terbang tinggi
                      Punai ditangan dilepaskan “

Sang penyair pun coba menjawab menurut bahasa hatinya,
                      “ aku terpelanting
                        Dari hasratku sendiri
                        Banyak sungguh bunga
                        Yang ditangan layu kurasa
                        Aku buta oleh rasa
                             Tuli oleh rindu
                                      Dan bisu oleh cinta
                        Mengharap mawar yang temaram
                        Seroja ditangan tidak kusiram “

“ wahai penulis adakah lagi suatu kata pada tiang – tiang aksara yang hendak kau baca agar kami bisa menjabarkannya”, tukas tuan pujangga.



Si penulis pun mulai bertanya dalam buku yang dibacanya,
                                “ it is no use crying over spilt milk “
                        ( tidak ada gunanya menangisi susu yang terbalik )
Adakah tuan – tuan dapat menjelaskannya ?” 
Sang penyair pun menjawab,
              “ dari candu dunia
                 Terkadang terlupa
                 Dengan kesenangan sesaat yang terpedaya
                 Sesal timbul dibelakangnya
                 Terlena dekapan candu yang menggoda
                 Menangisi sudah tiada guna
                 Dengarkan bisikan nurani
                 Jarang ia mengingkari “

Tuan petuah pun menjawab dalam madahnya,
              “ ingatlah olehmu akan pepatah
                 Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna
                 Ingat jua olehmu akan satu pepatah kalau nasi
                 Sudah menjadi bubur, keduanya menandakan
                 Hitung hidupmu dalam langkahmu
                 Seumpama engkau berusaha
                 Sebisa engkau berdoa “
Tuan pujangga pun menafsirkannya,
              “ jika hasrat yang berencana
                 Hendaklah di niat dengan doa
                             Barang siapa memulai usaha
                             Rugi dan untung ia terima
                 Hendaklah dipangkal bertanya
                 Niscaya dihujungnya berupaya
                             Berpikir sebelum melangkah
                             Agar kecewa tiada singgah “
Abang dengan seksama mendengar semua pembicaraan mereka, si penulis kembali mulai bertanya dari buku yang dibacanya,
                      “ as the old cock crows, the young cock learns “   
              ( sebagai juga ayam jantan tua berkokok, yang muda pun belajar )
Tuan petuah menjawab,
“ laksana buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya bagaikan tunas yang tumbuh tak jauh dari induknya seumpama air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan jua
Ialah kaca
Yang dicermin oleh anaknya
Akan perangai dan tabiat yang ada
Hendaklah menjadi tauladan
Bagi yang muda menjadi pedoman “
Sang penyair pun menambahkannya,
              “ dari pundi – pundi
                 Tersingkap batas mengekang
                 Jangan salahkan yang muda
                 Jangan kucil mereka
                 Jangan acuhkan semua
                 Ingat sewaktu mereka bertanya
                 Pahami yang muda berjalan
                 Telusuri langkah semua
                 Dimana tempat bersangga
                 Cerminan yang muda di depan
                 Ajari sebongkah rasa
                 Andaipun cermin janganlah retak
                 Agar yang muda berkaca
                 Tidak hilang dalam gerak “




Tuan pujangga pun menjawab dalam kiasan pantun,
                 “ satu pun dihadapkan
                   Akarnya ditiang anjungan
                   Sepantun bertauladan
                   Agar tak hilang berpedoman
                                      Bawalah naik peti ditangga
                                      Tangga tidak dihanyutkan
                                      Hendaklah baik budi bahasa
                                      Semoga kelak diturutkan
                   Naik perahu disiang hari
                   Ingatlah pendayung jati
                   Baik buruk budi pekerti
                   Anaklah yang menuruti

Kembali si penulis bertanya dari buku yang dibacanya,
                              “ as you have brewed so shall you drink “
                   ( sebagai yang kamu tarak, begitu pula yang akan kamu minum )

Tuan petuah pun coba mengupas dari perkataan tersebut,
                 “ seumpama menyemai, ialah beroleh menuai
                 Sebagaimana menanam, ia jua yang memetik
                               Hendaklah arif dan bijaksana
Dalam menyikapi hidup dialam fana
Memang terkadang tiada ia sempurna
Namun berusahalah
Berlaku adil pada sesama”





Tuan pujangga pun menjawab
                 “ hendaklah berlaku didunia dengan arif dan bijaksana
                 Niscaya hidup tiada siang sengketa
Barang siapa menabur fitrah
Niscaya disorga tiada tempat ia bertadah
                 Barang siapa menabur kebajikan
                 Ilmu amalan tentu ia dapatkan
                               Berlakulah seperti timbangan
                               Adillah ia dalam soalan
                 Bertanam nafsu diraga sendiri
                 Tahulah klak tiada satupun tercukupi

Sang penyair pun menjawab
                 “ pucuk niur dipatah
Kelapa berbuah tak berguna
Air laut pasang
Pasir dipantai pun tenggelam
Ketika angin berkumandang
Cemara dan jati ikut tumbang
Jangan berharap
Pucuk niur yang dipatah
Buah kelapa santan terasa
Jangan berharap air laut yang pasang
Pasir dipantai pun tergenang
Jangan diharap angin yang berkumandang
Cemara dan jati hanya bergoyang
Haraplah pada untaian
Semoga kelak menjadi tiang aksara pada kiasan


Sipenulis terkagum mendengar untaian mereka,  kembali ia bertanya dari buku yang dibacanya
                        “ beauty is but skin deep “
                   ( kecantikan hanya sedalam kulit )

Kali ini sang penyair yang mulai menjabarkannya
                 “ Cantik …………….
Terkadang aku tersesat oleh kilau mu
Terpedaya oleh pancarmu
Tak dipungkiri
Rasa terluah diawal rupa
Rindu bertekuk diawal bentuk
Cinta terpatri dipandang mata
Asmamu berembuk diujung lekuk
Hingga aku terlupa
Bahwa cantik akan memudar
Digiling sang waktu yang berputar
Hingga aku tak sadar
Cantik akan luntur
Digilas sang masa yang bertutur”
Tuan petuah pun menjawabnya
                 “ Jika engkau bertanya tentang kcantikan
Kenalilah olehmu kecantikan yang hakiki
Kecantikan yang terpancar dari dalam diri
Yang bermuara dihati
Sinaran insan disanubari
Kecantikan wajah hanya sedalam kulit ari
Tak kekal dan abadi
Namun kecantikan dan ketinggian budi pekerti
Selalu bersinar sampai di akhir hayat nanti
Ia tetap berseri di hati pecinta yang sejati “
Tuan pujangga pun menjawabnya,
              “ kenali cantik dari hati
            Taulah ia akhlak yang berbudi
  Jika terkagum dengan wajah yang mempesona
  Disitu awal ia terpedaya
             Pujilah akan kecantikan hatinya
            Jangan terlalu menyanjungkan kecantikan wajahnya
Janganlah cantik dibuat pedang menusuk jantung jantan
Disitulah mulai masuk godaan setan
          Cantik adalah karunia dari Allah semata
          Syukuri dan tawaduklah kepadanya
                      Cantik terkadang membuat jiwa jadi angkuh
                      Hendaklah melapisinya dengan tasamuh “
Kembali si penulis bertanya dari buku yang dibacanya,
                   “ take time while time server “
            ( ambillah waktu selagi waktu meladeni )

Tuan petuah pun menjawabnya,
          “ kerjakan bagimu apa yang dapat dikau kerjakan hari ini, jangan menunda–nunda
            gunakan padamu kesempatan karena kesempatan jarang beroleh dua kali
            dengan bermalas – malas banyak waktu yang terbuang percuma
          Sebagaimana memetik buah yang sudah masak pada tangkainya, maka petiklah buahnya sebelum ia layu dan jatuh ke tanah
          Sebagaimana perahu yang siap membentang layar di laut yang tenang, maka mulailah berlayar sebelum ombak menerjang diterpa angin barat daya yang garang “

Sang penyair pun menjawabnya,
            “ Waktu terus berlalu
              Bagai kuda yang berpacu
              Meninggalkan kenangan bagai debu
Waktuku waktumu
Kadang terbuang percuma
Dengan bermuram durja
Masih banyak pekerjaan yang tertunda
Yang tak sempat ditulis oleh pena
Dari tinta – tinta
Selagi bisa
Buatlah pena menari selagi diisi tinta
Rangkaikan satu kata
Pada tiang – tiang aksara
Segenap engkau menulisnya “

Tuan pujangga pun berkata,
            “ seteru terkadang berbahaya
Jika diselimuti dendam di dada
Waktu tidak terbuang percuma
Selagi mengisi dengan yang berguna
Paku lurus dipalu
Ditempa parang pada pahatannya
Waktu terus berlalu
Tanpa seorang dapat menahannya
Ditempa parang pada pahatannya
Berkelah siku selarik yakin
Tanpa seorang dapat menahannya
Gunakanlah waktu sebaik mungkin
Berkelah siku selarik yakin
Tangan hamparkan berkelang hampa
Gunakan waktu sebaik mungkin
Jangan biarakan hilang percuma

Sesaat si penulis membolak balikkan buku yang dibacanya, halaman demi halaman ia lihat. Kembali ia bertanya dari buku yang dibacanya, kepada tuan – tuan yang dianggapnya sebagai tiang – tiang aksara.
                   “ when wine is in, wisdom is out “
            ( Jika anggur masuk, kebijaksanaan keluar )

Tuan petuah pun menjawabnya
“ reguk dahaga dari minuman sesat
Hanya memuaskan nafsu sesaat
Pada tiap – tiap kerat
Pikiran pun tiada tepat
Meletaknya diatas meja
Berkurunglah meruah dari padanya
Membiarkan ia bertengger diatas kursi
Tentulah hidup ia merugi
Jauhi selagi mana bisa dijauhi
Karena ia dapat merusak hati
Akal sehat jarang terkendali”

Tuan pujangga pun berkata
“ sekali mencoba menenggak minuman yang memabukkan
Niscaya makin jauhlah ia dengan Tuhan
            Tiada rasa bangga yang tercipta
            Setelah mereguk tuak dan nira
            Kenapa yang memabukkan diharamkannya
            Tiada terdapat kebijaksanaan didalamnya
Cobalah melepas dahaga dengan seteguk air putih
Taulah ia akan semangat yang mulai putih”



Sang penyair pun berkata
“ dalam lorong – lorong gelap
Dalam gerbang – gerbang pengap
Terkadang minuman menjadi penghangat
Terkadang minuman menjadi ia kuat
Dari geliat kota yang berkembang
Yang memabukkan slalu disuguhkan
Melupakan adat ketimuran
Menelanjangi budaya yang diajarkan
Masih banyak yang menyehatkan
Mengapa ini menjadi pilihan
Pilihan yang mengangkangi kebijaksanaan”

Kembali sipenulis bertanya dari buku yang dibacanya
“ adventure is a good teacher “
( mengembara adalah guru yang baik )

Tuan pujangga pun menjawabnya
Itik dirumah dari paya
Masuk kedalam tungku belanga
Petiklah hikmah darinya
Karena pengalaman ilmu yang berguna

Bergadang gagah diberitan
Bersiteru merapal keikhlasan
Terkadang kegagalan menyakitkan
Namun disitu awal kesuksesan
          Berbaju teluk belanga
          Bersongket dirajut cindai sutra
Jangan ragu untuk mencoba
Karena salah guru yang paling mulia
Sang penyair pun menjawabnya
“ perjalanan bersimbah peluh
Duduk bersimpuh
Dikaki cakrawala
Ditiang – tiang aksara membaca
Talu bertalu diangkasa
Ach………
Ternyata sudah senja
Perjalanan tiada renta
Menafsir ilmu manusia
Dari memandang yang berguna”

Tuan petuah pun berujar
          “ Pada tiap – tiap pengalaman, hendak dapat memetik pelajaran, tiada ilmu yang paling berguna, selain pengalaman yang ada.
          Belajar tidak harus selamanya apa yang kita baca, ada kalanya belajar dari apa yang kita lihat, tak jarang belajar dari apa yang kita ingat ( pengalaman )

Kembali si penulis bertanya dari apa yang ia baca
“ He laughed on the wrong side of his mouth “
            ( ia tertawa pada sudut mulut yang salah )

Tuan petuah pun berkata
“ Tertawa dalam suka lumrah adanya
Tertawa dalam duka sungguh tersiksa
Tertawa dalam terpaksa tiada beroleh bahagia
Tersenyumlah seumpama senyum itu dapat membuat kebahagian
Walau senyum yang keluar menyakitkan
Seumpama tertawa karena terpaksa
Berturut ikhlas namun tak rela

Tuan pujangga pun berujar,
          “ hidup penuh tanda tanya
          Tertawa pun terkadang ada suka dan dukanya
                             Seandainya tertawa di batin yang merana
                             Sungguhlah hati yang tersiksa
          Sepandai – pandai ia melapisi dengan tawa
          Tak jarang matalah yang berbicara
                             Tanda di sudut hati yang sepi
                             Bahwasanya ia menangisi diri sendiri

Sang penyair pun ikut berkata
“ kerlingnya meratap
Tertawanya menyurat
            Dipalung tanpa urat
            Ditawa tinggal sekerat
Rupa kaku menyurat
Pikiran beku sarat
            Tawa dilolongan rembulan
            Menatap selah berbilang
            Tersenyum usang
            Dan coba tertawa yang dipaksakan”

          Sipenulis terdiam sesaat seolah – olah menyimak semua perkataan, ia pun menutupkan halaman demi halaman sampai buku itu ia dekap dalam dada, mereka tiada bergeming, ataupun berbaling. Sementara abang yang tak jauh dari mereka, masih memperhatikan sambil mencerna semua perkataan yang ada.

Sipenulis pun berkata kepada tuan petuah
“ kepadamu tuan petuah
Aku berolh ilmu dengan apa yang tuan kata
Kembali kita bersua
Kembali aku mendengar madah seribu rupa
Aku yang masih meraba
Dengan tongkat pada tiang – tiang aksara
Aku yang masih meraba
Dengan tongkat pada tiang – tiang aksara
Aku yang masih merangkak
          Tertatih – tatih ilmuku tiada tegak
          Berpetuah tuan seumpama
Bermadah tuan berlapis laksana
Berkidung tuan diuntaian laksmana
Bernasehat tuan dengan seksama
Terkadang aku terlupa
Teringat masa yang ada
Menganggap tuan kata usang belaka
Yang dianggap barang pusaka
Yang tak perlu dibaca
Padahal disetiap lekuk hidup di alam nyata
Telah tuan gariskan dengan kata dan peribahasa
Kecil tapak tangan nyiru ditadahkan
Di akhir kata
Salam hormatku sepenuhnya raga “








Tuan petuah tertegun mendengar untaian penulis dan ia pun berkata,

“ Terkadang kata yang lama
Dianggap usang dan tiada mengena
Tiada banyak yang mengingat
Tiada sedikit pula yang menyurat
Tak jarang yang muda
Tiada tau berpijak dimana
Ketika ditanya tentang madah bahasa
Yang bergayut ditiang – tiang aksara
Ingatlah akan budi luhur negeri
Yang menjunjung tinggi adat dan budi pekerti
Melapisi dengan umpama
Menaburi dengan laksana
Menyemai dengan selaksa
Pada akar – akar bahasa
Menancapkan tiang – tiang aksara
Untuk dikenang sepanjang masa
Menjadi pedoman kehidupan manusia
Untuk melihat negeri yang bebudaya
Lihatlah dari ilmu dan santun budi bahasanya
Sebagaimana aku jua manusia
Tiada gading yang tak retak
          Tiada beroleh sempurna
          Terkadang tersilap madah dan kata
          Hendaklah menyiratnya dengan seksama”






Kepada tuan pujangga pun penulis berkata

“ kepadamu tuan pujangga
Aku beroleh tau dari madah yang tuan pantunkan
Aku beroleh tau
Dari fatwa yang tuan lapis dalam gurindam
Jika hidup boleh membeli mimpi
Maka kan ku beli mimpi yang berlapiskan untaian
Bergurindam memberi nasehat
Taulah kami ilmu yang makrifat
Dalam pantun yang tuan kerat
Dengan khidmat kami menyurat
          Tiada mutiara yang paling berharga
          Dibanding fatwa dan madah pujangga
Seteru resah bersusun pantun
Disitulah letak ilmu yang tuan tuntun
          Anak resun hendak berlayar
          Kakinya terendam di benua
          Dari pantun kami belajar
          Dari gurindam kami mencerna
Diakhir kata
Salam hormat ku diuntai rasa”






Mendengar perkataan penulis, tuan pujangga terharu ia pun berkata,

                             “ dari gurindam dua kerat
                              Selami iman yang bermakrifat
                   Dari pantun empat kerat
                   Pahami ilmu yang tersirat
                              Berjajar dimadah semu
                              Berpada diwadah kecil
                              Belajar beroleh ilmu
                              Berusaha beroleh hasil
                   Berpada diwadah kecil
                   Bermuara digalah raga
                   Berusaha beroleh hasil
                   Berdoa beroleh sorga
                               Bermuara di galah raga
                               Tempahlah dikaca atau suasa
                               Berdoa beroleh sorga
                               Mintalah pada Yang Maha Kuasa
                   Tempahlah dikaca atau suasa
                   Agar ragu tak hinggapi disana
                   Mintalah pada Yang Maha Kuasa
                   Dimana ilmu letak berguna “


Dan kepada sang penyair tak lupa si penulis berkata,
“Kepadamu sang penyair
Dari bilik kata terukir
Terdapat suatu rahasia sair
Tuan lapis dalam tabir
Susah sungguh pahami akhir
Sementara awal tiada kami mahir
Derap kata tuan
Ringkik pena tuan
Dengus tinta tuan
Menyelimuti sair tuan
Terbata kami membaca
Mengeja kami berkata
Beroleh maksud hati tuan
Akan sair dalam untaian
Termenung pulang
Akan tiang – tiang pada aksara
Kau pahat jalang
Terkadang lembut dan menghanyutkan
Tak jarang buas beringas dengan perikebinatangan
Itulah sair dengan apa yang tuan tuliskan
Diakhir kata padamu sang penyair
Salam hormatku tiada mencair “



Sang penyair pun tertegun dengan apa yangkdiucapkan penulis dengan mahir. Ia tersenyum simpul pada si penulis yang dapat menyerap madah petuah, fatwa pujangga, dan puisi penyair, maka sang penyair pun berkata,
“ titik dari pena
Tidak merubah tinta didalamnya
Warna pada tinta
Tidak merubah titik pada nuansa
Bentuk rupa
Ingatlah menari pena dimasanya
Luahan rasa
Ingatlah tinta yang melukiskannya
Seteguk diminum terasa
Secawan dituang percuma
Itu rupa resah kami berkata
Dari tali
Dari tiang
Sungguh kami berpuisi
Tinta kami petualang
          Dari api
          Dari air
          Pena kami tulis mimpi
          Mimpi tak kunjung akhir “



Selesai si penulis berkata, tak lama mereka saling berjabat tangan dengan erat sebagai tanda salam perpisahan tak lupa tuan petuah, tuan pujangga dan sang penyair melambaikan tangannya ke arah abang. Abang ingin membalas lambaian tangan itu namun tangannya seolah – olah sulit digerakkan. Tangannya seakan kaku, dari sorot matanyalah abang mengisyaratkan melambaikan tangannya. Mereka pun tersenyum satu persatu dari mereka seolah – olah larut dalam angin hingga menjadi satu titik cahaya. Dan titik cahaya itu dengan cepat melesat keangkasa membaur dengan kerlap kerlip bintang diuntaian sepenggal malam, kini hanya tinggal si penulis yang tak lain seorang pemuda yang sangat dikenal abang, ia masih menggunakan baju kotak – kotak berwarna hijau.
Kepada abang si penulis tersenyum dan ia berkata,
“ wahai engkau anak muda yang dulu ku kenal masih belia, suatu hidayah dan karunia dari Yang Maha Kuasa memberimu kesempatan dapat bersua dengan para penyangga sastra.

          Yang berkata pada tiang – tiang aksara
          Ingat kamu akan petuah dari madah bahasa yang ada
          Pahamimu akan fatwa yang dilabuhkan pujangga
          Dan cerna olehmu akan sair yang diuntai oleh penyair
          Ingat jua akan kamu

“ janganlah berusaha mengucapkan bilangan tiga di depan
 jika bilangan yang satu engkau tinggalkan
 janganlah berusaha memahami kata dimasa depan
jika kata dimasa lalu engkau abaikan
dari fatwa pujangga maka taulah engkau letak ilmu berguna kemana bermuara
jika pun engkau coba memahami makna yang tersirat

“ maka janganlah mendahului mempelajari ilmu yang empat
 Jika ilmu yang satu tiada tepat “
Kepada ilmu syariat yang bertarekat dan hakikat
Yang bermakrifat hendaklah lebih dulu mengenal
Sifat sang pencipta penguasa alam jagat
Agar tiada salah menafsir makna yang tersirat
Ingat jua akan sair yang diuntai berlapis puisi
Haruslah mencernanya dengan jeli
Yang melontar kata pada relung ruang hati
Bersuara tersekat dijari
Pada tiang aksara bersembunyi
Bersembunyi di rupa
Berselimut dirasa
Cernalah ilmu bahasa dalam puisi
Yang harus dipahami dengan hati
Diakhir kata padamu anak muda yang dulu ku kenal belia
Salam hangat dariku, sahabat yang terpisahkan masa

          Sipenulis pun melmbaikan tangannya kepada abang sebelum raganya seolah larut, turut dengan bayangan menyatu dengan alam dan menjadi satu titik yang bercahaya bak kerlipan bintang surga.
          Abang tak sempat membalas lambaian tangan penulis, ia tersentak dan terjaga terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara kuali yang dipukul dengan sendok mengeluarkan suara nyaring sambil berujar lantang.
Seorang murid pak Rahim berujar
          “ makan – makan, makan, dah siap masak, sarapan, sarapan!”
Abang yang terbangun dari tidurnya hanya tersenyum melihat tingkah kocak anak tersebut. Pak Rahem pun menghampiri abang dan membawa 2 gelas kopi hangat
“ ha, baru bangon, bang, nyenyak tido tadi malam agaknye?”
“ iya pak Rahem, mungkin kamu kelelahan menempuh perjalanan semalam!” jawab abang
“ ai gitu lah bang name pon jalan jaoh, cepatlah bejalan cuci muke tu, sarapan kite “
“ iya pakcik “
          Abang pun bangkit dari duduknya menuju belakang kemah untuk membersihkan wajahnya. Ia tersenyum mengenang mimpinya tadi malam. Suatu pelajaran yang sangat berguna baginya dengan bertemu tuan – tuan penyangga sastra yang merangkai kata pada tiang – tiang aksara.
          Tak lama abang pun duduk ditempat semula. Bu Ida dan beberapa siswi mempersiapkan sarapan pagi sebelum melanjutkan kembali perjalanan menuruni gunung muncung. Walau sarapan menu yang sangat sederhana apa adanya mereka makan dengan lahapnya, bercengkrama, saling canda menambah rasa keakraban diantara mereka, seolah makan dalam kumpulan keluarga besar yang ceria dan bahagia.
          Selesai sarapan dan istirahat sejenak mereka membersihkan tempat dimana mereka mendirikan tenda dan kemah semalam. Tepat 08.00 wib pagi mereka pun mulai melanjutkan perjalanan dengan menuruni lereng dan tebing gunung muncung yang licin, tidak seperti waktu mendaki mereka melewati jalan yang beraspal. Disaat menuruni lembah dan tebing mereka melewati jalan setapak yang digunakan orang yang pernah naik ke gunung muncung sebelumnya. Disini mereka harus ekstra hati – hati, jika tebing yang dilalui agak terjal dan licin mereka saling berpegangan, mereka mengikuti jalan dari mata air gunung muncung.
          Pukul 11.00 siang mereka sudah kembali di kaki gunung muncung, berjalan diatas air yang mengalir pada bebatuan yang berhamparan. Suara gemerincing air yang melewati sela – sela bebatuan bagai satu orkestra musik pada komposer alam. Kicau burung bersautan, hutan pun tersenyum berseri menandakan pemandangan alam yang masih asri dengan semangat abang dan lainnya terus menapaki jalan membiarkan kaki basah kala melintasinya diatas air.
          Tak lama kemudian sampailah mereka pada air terjun ang tidak begitu tinggi namun menawan hati. Patahan batu telah tersusun rapi menjadikan ia salah satu tempat rekreasi atau objek wisata aset berharga dari Pulau Dabosingkep. Objek wisata tersebut diberi nama “ batu ampar “. Disitu abang dan yang lainnya membersihkan diri berkejaran di dalam air bermain bersama, dengan riang gembira abang sangat bahagia melakukan perjalanan ini. Melihat keindahan alam dari dekat, menyatukan hati dan pikiran dengan alam dan masih banyak lagi pengalaman yang berharga yang dapat dipetik dari perjalanan ini.
          Kembali ia teringat pada Indah, ingin rasanya ia segera pulang untuk menceritakan semua pengalamannya kepada kekasihnya tercinta. Indah pasti senang mendengar kisah yang dibawa abang, ingin suatu saat abang mengajak Indah untuk mendaki gunung muncung dan menuruni tebingnya berjalan mengikuti aliran mata air pegunungan dan bercengkrama dibawah siraman air terjun yang romantis batu ampar. ( satu kenangan bersama sahabat di gunung muncung salam hangat selalu buat Ibrahim, Rafik, Zainal, Bakri, Dekko, Darwis, Sarni, Ani, Maya, Rabiah, Mila, Dewi, Ncek Wan, Asna, Santi, Rita dan teman – teman A2 biologi lainnya tahun ajaran 1996 SMA N 1 Dabosingkep ).

                    “ Aku Ingin Pulang”      Cipt. iwansekopdarat

          Dmy                               Amy
Dalam waktu yang berganti
                             B
Tiada yang menemani
                   E
Tetap kujalani
                           Dmy
Walau harus sendiri
                   Dmy                             Amy
                   Dalam waktu yang berganti
                                    B
                   Harus kuakui
                                          E
                   Tak bisa memiliki
                                        Dmy
                   Berharap menanti
                     G                                B
                   Terasa semua menghilang pergi
                    C                 Amy
                   Kemana ku cari ho…o…o…
Amy             Dmy
Reff   Aku ingin pulang
          Amy                              B      
          Bermain ditengah padang
           G                               Amy
          Berteman rumput ilalang
                 B                             C
          Yang luas membentang ho…o…o…
           G                   D
          Aku ingin pulang

SELESAI
BIODATA PENULIS
Lahir di Dabosingkep, Kepulauan Riau pada tanggal 26 Januari 1976, terlahir dengan nama kecil yang akrab disapa Iwan, tumbuh dan besar di kampung sekopdarat (Dabosingkep). Beragama Islam, berjenis kelamin laki – laki, dan kini menetap di Kisaran, Asahan Sumatera Utara. Berprofesi sebagai pedagang sayuran di pasar kartini, Kisaran dan juga pedagang di pasar kaget (pekan) di sekitar kota Kisaran.
Beberapa karya tulis iwansekopdarat,
  1. Novel tentang Rindu
  2. Novel tentang Rindu 2
  3. Novel Layang – Layang Zaman
  4. Buku Fatwa Cinta
  5. Buku Madah Aksara
  6. Novel Primadona di Ujung Trotoar
  7. Buku Tiang - Tiang Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar