Senin, 06 Februari 2012

Novel : LAYANG - LAYANG ZAMAN Bag. 2

Novel : Layang -layang Zaman Bag. 2

oleh Iwan Sekopdarat pada 2 Februari 2012 pukul 11:00
Afung pun membaca satu lembarnya lagi, kertas itu bertuliskan puisi, tak lupa dibawah puisi tersebut bertuliskan nama Ameng, Afung tertawa kecil dari gaya penulisan surat dan puisi pun tau kalau Ameng hanya menyuruh orang membuatkan puisi untuknya, Afung dan Ameng sekelas. Afung tau bagaimana atau berapa nilai Ameng dalam pelajaran bahasa Indonesia, namun tak dipungkiri Afung sangat suka dengan puisi itu, Afung ingin tau siapa pembuat puisi itu, hingga tak jemu – jemu ia membacanya berulang – ulang, Afung pun membalas surat Ameng. Ia menolak dengan halus permintaan Ameng. Ia menjelaskan dengan hati – hati agar Ameng tidak beranggapan yang bukan – bukan atau sakit hati, biarlah mereka tetap bersahabat, jika suatu saat nanti dipertemukan sang pencipta, jodoh tidak lari kemana, namun saat ini ia ingin menggapai cita – citanya meraih masa depan. Tak lama kemudian Afung pun permisi kepada ibunya untuk main ke rumah Siti, nyonya Aling pun mengizinkan anaknya untuk main ke rumah Siti. Setibanya di rumah Siti, Afung menceritakan semuanya. Siti hanya tersenyum-senyum mendengarkannya, tak lupa Afung meminta Siti untuk menyampaikan surat yang dituliskannya kepada Ameng. Siti pun menyanggupinya, tak lama Bu Mariam memanggil Siti dan meminta Siti untuk mengantarkan gorengan yang dibuat Bu Mariam kepada Zaman yang masih berjualan di pasar, Afung dan Siti pun pergi membawa makanan tersebut ke pasar.
“bawak ape ti?”, tanya Zaman. “bakwan bung”, jawab Siti seadanya. “oi fung ape kaba?”, Zaman pun menanyakan keadaan Afung ketika melihat Afung ikut menemani Siti mengantar kue tersebut. “sehatlah man, lumayan laku ari ni man?”, Afung malah balik bertanya, “ai, lumayanlah fung, cukoplah beli beras sekilo”, jawab Zaman santai. Afung hanya tersenyum mendengar jawaban Zaman. “bang, Siti balek luk og, maseh ade kerje siket, nak ngasi makan ikan kiong”, ujar Siti kepada Zaman abangnya. “iyelah ti, hati-hati dijalan og”, Zaman menasehati adiknya. Siti pun mengangguk tersenyum. “Midun, makan kue tu ye!”, tak lupa Siti pun menawarkan gorengan itu kepada Midun. “iye, kak makaseh ye”, Midun menjawab sambil tersipu malu. “makanlah dun jangan malu-malu”, sela Zaman. “iye bang”, jawab Midun sambil merapikan letak buah-buahan. “yok kak Afung, kami balek luk”, tak lupa Siti pun menghidupkan starter sepeda motornya dan berlalu dari hadapan Afung. Siti dan Afung datang ke pasar tadi menggunakan sepeda motor masing – masing. Zaman membantu Siti sewaktu membeli sepeda motor bekas dalam hal keuangan walaupun bekas masih layak digunakan. Ayahnya pun ikut membantu juga menambah kekurangan uang untuk membeli sepeda motor tersebut.
“Oh iye fung, kami jadi lupe, kami ade aritu buat lagu, awak nak denga?”, cobe luk dun, ambekkan gitar abang tu”, Zaman memulai pembicaraan dan meminta Midun mengambil gitar yang semalam dibawanya dan disimpan di dalam peti jualannya. Midun pun mengambilkan gitar lalu menyerahkannya kepada Zaman. “ai geg man, cobela kami nak denga”, jawab Afung penasaran. “tapi maaf og lagu die gene, jangan dikate, name maseh belaja, cume nak denga pendapat ikak je”, ujar Zaman lagi, Afung hanya mengangguk dan tersenyum, ia percaya lagu ciptaan Zaman enak di dengar karena waktu Zaman menciptakan lagu dan dinyanyikannya di acara pagelaran seni yang diadakan di sekolahnya mendapat tanggapan positif dari teman – teman yang lainnya. Zaman pun mulai memetik senar gitar. Sore itu pembeli memang agak sepi jadi Zaman bisa lebih serius menyanyikan lagu yang dibuatnya kemaren. Afung tersenyum mendengar Zaman menyanyikan lagu “ I Like Transistor”, Zaman membawakan lagu tersebut dengan gembira sedikit kocak, dan Afung suka dengan lagu itu, berirama agak cepat dengan nada – nada gembira diselingi dengan suara cepat seperti berbicara atau yang biasa kita kenal dengan rapper (ngerep) haruslah orang yang membawakannya penuh semangat, menghibur para sahabat jangan bersedih hati seperti cara Zaman menyanyikannya. Spontan Afung mengatakan bahwa ia sangat senang dengan lagu yang barusan dinyanyikan Zaman. Tak lupa Afung juga mengatakan mengapa Zaman memberi judul lagu tersebut “I Like Transistor”. Zaman mengatakan bahwa transistor itu hanya perumpamaannya saja. Zaman mengibaratkan hati itu seperti transistor, jadi transistor hanya sebagai kata kiasan saja. Afung pun mengangguk – anggukan kepalanya barulah ia paham. Afung anak yang cerdas ia tau apa itu transistor.              Di sekolah dari SD sampai SMA, Afung hanya terpaut satu peringkat di bawah Zaman.
Zaman juga mengatakan bahwa ia minta maaf karena baru sekarang dapat membuat lagu itu, lagu itu dibuat Zaman khusus untuk Afung yang pernah memberikannya hadiah berupa gitar dan didalamnya terdapat puisi. Dua tahun lalu, di hari ulang tahun Zaman. Zaman tidak merayakan hari ulang tahunnya namun Atan, Azman dan Afung sahabatnya sangat hapal kapan hari ulang tahunnya. Atan dan Azman tidak memberikan hadiah, mereka mentraktir Zaman untuk makan di rumah makan. Itu memang biasa mereka lakukan jika ada diantara sahabatnya ulang tahun dengan dana patungan atau bersama – sama.
Afung jadi tersipu malu, ia sangat bahagia akhirnya Zaman sudi menciptakan satu lagu untuknya. Selama ini Afung mengira bahwa bait – bait puisi yang ditulisnya dulu tidak ditanggapi Zaman ternyata Afung salah menduga. Afung semakin bangga memiliki sahabat seperti Zaman. Tak lama kemudian terdengar suara Adzan Ashar berkumandang, “fung, maaf og kami tinggal kejap, kami nak ke surau kejap, nak sembahyang”, ujar Zaman disaat adzan masih berkumandang. “iyelah, pegilah sembahyang bia kami jage same Midun jualan ni”, jawab Afung meyakinkan Zaman. “dun, abang sembahyang luk ye! Assalamualaikum”, Zaman menyambung perkataannya. “komsalam bang”, jawab Midun sambil melayani seorang pembeli. Zaman hanya menggeleng – gelengkan kepala mendengar Midun menjawab salam tidak sempurna, padahal Zaman sudah memberi tau kepada Midun agar mengucapkannya dengan benar bukan “komsalam” tapi “waalaikumsalam wr.wb” juga dalam mengucapkan salam bukan “salamelekom” tapi “assalamualaikum” dulu kecil pun Zaman demikian ingin menjawab cepat atau menyampaikannya cepat jadi salah pengucapannya. Ayahnya yang menasehatinya dan Zaman pun memberitahukan kepada Midun. “kami pegi ye fung”, sekali lagi Zaman pamit kepada Afung. Afung tersenyum mengangguk dengan mengendarai betor barang Zaman menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat Ashar. Midun meminta Afung untuk membalikkan uang kembali sambil menyodorkan uang 20 ribuan kepada Afung yang duduk di meja laci uang. Afung pun menerima uang dari tagan Midun, membuka laci memasukkan uang tersebut dan mengambil uang kembali lalu diserahkan uang kembali itu kepada Midun. Midun pun memberikannya kepada si pembeli tadi biasanya disaat Zaman  pergi sholat ia meninggalkan beberapa uang recehan atau uang kembalian sedangkan uang besarnya sudah disimpan di dalam sakunya, belum sempat Afung menutup laci tersebut ia terpaku melihat selembar kertas dengan tulisan steno (miring) terdapat beberapa coretan, ia mengambil kertas itu dan membacanya tak lupa menutup laci itu kembali. Bertuliskan puisi dengan beberapa coretan. Afung kini sadar dan menduga bahwa puisi yang dikirimkan Ameng kepadanya ternyata Zaman yang membuatnya karena kata-katanya sama. “bace ape kak?”, tanya Midun penasaran. “tak de, bace puisi ni je, siape yang buat puisi ni”, Afung malah balik bertanya padahal ia ingin menyelidikiny. “o…puisi tu, bang Zaman yang buat, ade ari tu bang Ameng datang mintak buatkan puisi, ntah untuk cewek mane nak di kasikannye, petame mang bang Zaman nolak tapi bang Ameng mintak tolong sekali je akhirnya dibuatkan jugelah puisi tu. “tanpa ditanya lebih lanjut Midun telah menerangkannya secara gemblang. Afung pun memasukkan kembali kertas itu ke dalam laci, “dun, jangan bilang – bilang same bang Zaman kau og, kami bace puisi ni, kelak die marah pulak same kami, bace puisi orang tak permisi”, Afung coba mengingatkan Midun. “iyelah kak, amanlah tu”, jawab Midun tenang, ia pun kembali merapikan buah yang tadi dipilih – pilih pembeli, tak lama Zaman pun tiba. Setelah ngobrol sejenak dengan Afung tentang kegiatan sekolah, Afung pun pamit permisi untuk pulang ke rumahnya. Sepulangnya Afung, Midun bercerita kepada Zaman tentang puisi itu. Afung pun membaca puisi itu, Midun juga mengatakan bahwa Afung melarangnya memberitahukan kepada orang lain. Dasar memang masih anak – anak, Midun berbicara apa adanya, dengan lugu dan polos ia menceritakannya. Zaman merasa bersalah, ia yakin Afung pasti tau kalau ia yang membuat puisi itu karena memang Ameng menceritakan puisi tersebut akan dikasih buat Afung. “biarlah besok akuk minta maaf langsung sama Afung”, batin Zaman, karena hari sudah merambat sore. Zaman dan Midun pun memberesi jualannya, memasukkan buah – buah ke dalam peti lalu menutupnya. Mereka pun pulang ke rumah masing – masing. Tak lupa Zaman memberikan upah kepada Midun.
Seperti halnya Zaman, Atan dan Azman pun punya kegiatan  masing – masing. Atan sering membantu ayahnya menangkap atau menjaring ikan di laut karena memang ayah Atan seorang nelayan. Sementara Azman lebih sering menghabiskan waktu sorenya di kebun membantu ayahnya mengurus kebun mereka karena itu selesai pulang sekolah, sorenya mereka jarang bertemu paling malam itu pun tidak sering mereka main ke rumah Zaman. Di sekolah saja mereka bertemu namun itu semua tak membuaO persahabatan mereka jadi renggang malah makin akrab, mereka selalu bertukar cerita tentang pengalaman masing – masing kalau waktu libur jika tidak membantu orang tua Atan atau Azman menyempatkan diri membantu Zaman berjualan di pasar tidak seperti waktu kecil dulu selalu bermain dan sholat maghrib di surau bersama – sama.
Keesokan harinya mereka menimba ilmu di sekolah seperti biasanya, setelah mendapat balasan surat dari Afung, Ameng baru sadar bahwa selama ini ia tidak serius belajar dan hanya sering menggoda teman – teman yang lainnya padahal ujian kelulusan tinggal beberapa hari lagi sudah di depan mata. Ketika bel istirahat berbunyi Ameng langsung menemui Afung dan meminta maaf atas kekhilafannya. Afung pun memaafkannya dan Ameng ingin bersahabat dengan mereka berempat (Atan, Azman, Afung, dan Azman). Afung pun menerimanya. Tak lupa Afung pun menyarankan Ameng untuk memberi tahu kepada Azman, Atan dan Zaman. Ameng pun minta maaf kalau ia yang memaksa Zaman untuk membuatkan puisi itu. Afung juga memaafkannya, sepulang sekolah Zaman meminta Afung untuk ke pasar di tempat jualannya nanti sore. Afung mengiyakan, sorenya Afung main ke pasar tempat di mana Zaman berjualan. Disana Zaman meminta maaf kepada Afung tentang puisi itu tanpa harus dijelaskan panjang lebar, Afung pun sudah memaafkan Zaman namun sebagai syaratnya Afung ingin Zaman menulis langsung puisi itu da menyerahkannya langsung kepada Afung. Zaman pun berjanji akan menyalin ulang puisi itu dan memberikannya kepada Afung. Zaman sempat bertanya dalam hati apakah maksud Afung dengan menyuruh ia menulis langsung puisi itu dan menyerahkannya kepada Afung. Zaman segera menepis prasangka yang lain – lain. Yang penting saat ini ia harus belajar dengan giat untuk urusan lain nanti saja dipikirkan. Ujian Nasional di depan mata harus disiapkan semaksimal mungkin. Zaman juga mengatakan kepada Afung bahwa Ameng  menemuinya. Azman, Atan dan Ameng ingin bersahabat dengan mereka. Zaman dan teman – teman menerima Ameng sebagai sahabatnya, Afung juga mengatakan demikian. Kini Ameng telah menjadi bagian dari mereka, sahabat mereka.
Acara perpisahan anak kelas 3 berlangsung sangat meriah. Setelah melewati ujian nasional pihak sekolah sebagai panitia menyelenggarakan acara tersebut penuh semangat. Malam itu halaman sekolah dipadati anak – anak sekolah baik itu SMA N 2 maupun sekolah – sekolah lain sekedar menyaksikan acara perpisahan yang dikemas dalam pagelaran seni. Ini malam terindah bagi Zaman karena diminta untuk membawakan satu lagu ciptaannya sebelum meninggalkan bangku sekolah karena mereka hanya menunggu pengumuman kelulusan ± seminggu lagi. Pengumuman itu dibacakan, pihak sekolah meminta Zaman untuk menciptakan satu lagu melayu. Di atas pentas Zaman pun mulai membawakan lagu tersebut. Tepuk tangan penonton dan guru – guru yang hadir saat itu memenuhi halaman itu. Mereka dengan semangat mendengarkan lagu yang dinyanyikan Zaman. Afung yang paling bersemangat. Matanya berkaca – kaca dari Siti ia tau Zaman ingin merantau sambil melanjutkan kuliahnya dengan tabungan seadanya Zaman ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Zaman berniat ingin bekerja sambil kuliah. Selesai Zaman mempersembahkan lagu tersebut. Riuh rendah tepuk tangan sambutan dari penonton sambil mengacungkan jempol, Zaman bernyanyi dengan baik. Lirik – lirik yang dirangkainya pun begitu bagus, lagunya mendapat tanggapan positif dari penonton. Lagu tersebut Zaman beri judul “Terbayang Selayang Pandang”. Adapun liriknya sbb.










            TERBAYANG SELAYANG PANDANG
                                                Cipt. iwansekopdarat
C                                                            G                  C
Jauh – jauh ku terbayang, terbayang selayang pandang

C            F                      C                    G                         C
Jauh – jauh ku mengenang yang dikenang dah milik orang   2x

C               G                  C                   G                 C         
Reff     Apalah tanda berkain sutra, jika sulamnya tisik delapan

C              F                                C
Apalah guna sayang bermain cinta

C       G                           C
Jika akhirnya merusak badan 2x

C             G                   C
Jika sulamnya tisik delapan

C             G                                  C
Luruslah ia menawan mata akhirnya

C                G                     C
Baguslah kita berkawan saja 2x

C                                     G                                                    C
Semangkok ai didalam talam jangan ngangguk kalau tak paham

C                                         G                                               C
Semangkok ai didalam nampan, jangan ngantok kalau bejalan

C                                    G
Reff     Sungguh jauh kota Belawan,

                                 F                      C
            Merantau badan di negeri orang

                          F                              C
            Rindu tanah kampong halaman



           G                    C
   Berkilau angan hati berbilang

      C                                       G
   Tebok disisep didalam nampan

                               F                      C
Nampan digenggam dalam untaian

C                  F                     C
Dabosingkep tanah kelahiran

            C                   G                   C
            Dirantau orang nasib dibadan

(lagu tersebut  dapat dilihat di youtube di pencarian iwansekopdarat)
http://www.youtube.com/watch?v=ceMmlRYForg
Acara malam itu begitu semarak, Afung pun ikut dalam paduan suara, Atan dan Azman pun tak ketinggalan mereka berdua menyumbangkan sebuah lagu, lagu yang mereka ciptakan khusus buat sahabatnya Zaman teman sepermainan mereka dari kecil hingga remaja, mungkin kelak mereka akan berpisah melanjutkan pendidikan mereka nantinya. Karena itu tanpa sepengetahuan Zaman dan Afung, Atan dan Azman menciptakan lagu ini berdua, mereka menyanyikannya dengan menggunakan gitar kapok biasa, suasana begitu hening ketika Azman mulai memetik dawai gitar secara akustik, disusul dengan petikan gitar Atan, Tepuk tangan para penonton memenihu halaman tersebut, Atan pun mulai bernyanyi disusul dengan suara Azman, terkadang mereka menyanyikannya dengan menggunakan suara 1 dan suara 2, penonton dengan seksama dan kagum mendengarkan lagu tersebut sambil bernyanyi Atan dan Azman memandangi wajah sahabatnya Zaman yang berdiri diantara penonton tak jauh dari pentas itu, Zaman mengangkat kedua jempolnya, Siti dan Afung mendekati Zaman disusul Ameng, Afung menyerahkan selembar tisu pada Zaman, Afung tau mata Zaman mulai berkaca – kaca, Afung pun tau Zaman berusaha menahan air matanya tidaj jatuh, sekuat apapun Zaman menahan, sebulir tertetes jua dari sudut matanya, dengan cepat Zaman mengusapnya dengan punggung tangannya, Zaman sengaja tidak mengusapnya dengan tisu yang tadi diterimanya dari Afung, ia hanya menggenggam tisu ini, seingat Zaman ia hanya 3 kali mengeluarkan air mata, pertama disaat ia lahir, Bapaknya menceritakan Zaman langsung nangis disaat baru lahir, kedua disaat perpisahan dengan guru Sdnya Bu Haryati sewaktu Zaman memberikan sebuah layang – layang buatannya sebagai cendramata kepada wali kelasnya yang akan bertugas di kota lain. Sebulir air mata jatuh dari sudut matanya, itupun sudah lama sekali. Kini ketika sahabat karibnya menciptakan satu lagu untuknya, sebulir air mata itu kembali keluar dari sudut matanya. Mudah – mudahan ini merupakan tetes air mata terakhirnya karena Zaman tak ingin terlihat cengeng dalam mengarungi kerasnya kehidupan. Lagu yang diciptakan Atan dan Azman berjudul “Layang – layang Zaman”. Adapun liriknya sebagai berikut.




















                        LAYANG – LAYANG ZAMAN
                                                            Cipt. iwansekopdarat
Dmy            Amy              Bmy
Layang – layang melayang
                        G          Dmy
Terbang tinggi di awan
D         Amy             B                     G             B
Mengejar satu angan untuk meraih harapan
 B            C                              B
Jangan merasa tidak berguna
               C             Amy
Karna tak sempurna
            Amy         Dmy           Amy             B            Dmy
Reff     Layang – layang Zaman membelah angkasa
                           C                  G
            Menembus cakrawala
             G                 Dmy         Amy            B             Dmy
            Layang – layang Zaman kisah anak manusia
                           C                 G     Dmy             
            Tegar tanpa berputus asa
                         B                         Amy         G
                        Semangatmu terus menyala
                         B                    C                   Amy
                        Terlahir walau tak sempurna ….a….a…
     Kembali ke reff
(lagu tersebut  dapat dilihat di youtube di pencarian iwansekopdarat)
http://www.youtube.com/watch?v=T4ZkydBbWrM

                                                TAMAT
Bersambung ke novel selanjutnya dengan judul
Primadona Di ujung Trotoar 
Diperantauan Zaman bertemu dengan seorang gadis yang nota bene wanita malam. Bagaimana Zaman menyikapi persahabatan tersebut ?????
Lagu dengan judul “ Perempuan Malam “ cipt. Iwansekopdarat terdapat di novel : Primadona Di ujung Trotoar

BIODATA PENULIS

            Lahir di Dabosingkep, Kepulauan Riau pada tanggal 26 Januari 1976. terlahir dengan nama kecil yang akrab disapa iwan tumbuh dan besar di kampung sekopdarat (Dabosingkep), beragama Islam dan berjenis kelamin laki – laki yang kini menetap di Kisaran, Asahan Sumatera Utara. Berprofesi sebagai pedagang sayuran di pasar kartini (Kisaran) dan juga pedagang di pasar kaget (pekan) di sekitar kota Kisaran.

http://www.youtube.com/watch?v=LDyryqkYSGc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar