Senin, 06 Februari 2012

Novel LAYANG – LAYANG ZAMAN Bag. 1

novel LAYANG - LAYANG ZAMAN Bag. 1

oleh Iwan Sekopdarat pada 2 Februari 2012 pukul 10:46
“SEKAPUR SIRIH ATAU KATA PENGANTAR”
           
            Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, saya ucapkan atas selesainya penulisan novel ini. Tanpa ridho dan petunjuk darinya mustahil buku ini dapat dirampungkan, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman – teman yang membantu dalam menyelesaikan novel ini.
            Suatu cerita yang dikemas dalam satu buku, mungkin dalam ukuran novel. Ia belum dikatakan tepat karena halaman yang ditulis mungkin saja kurang dari standar untuk ukuran novel, lebih tepatnya buku ini bisa disebut mini novel atau novel pendek. Sengaja ditulis demikian memang buku ini ditujukan pada bacaan remaja khususnya dan masyarakat luas umumnya karena biasanya anak – anak akan merasa bosan dan jenuh jika harus membaca buku cerita berlama – lama. Satu kisah tentang perjuangan hidup seorang anak yang terlahir dalam keadaan tidak sempurna.
                                                                                    Kisaran, Januari 2012
                                                                                                                     Penulis

                                                                                                          Iwan Sekopdarat












LAYANG – LAYANG ZAMAN
LAYANG - LAYANG ZAMAN
            Zaman masih menatap ke atas langit luas, seusai gerimis pada senja yang membias bak lukisan alam pelangi yang baru datang di saat awan saling berkejaran.  Lembayung senja merona jingga, mentari pun hampir terpelanting di telapak kiblat namun layang – layang tetap mengangkasa, berbagai warna menghias cakrawala seakan tak ingin menggulung benang karna petang merambat pelan menjemput malam.
            Zaman menyandang 3 buah layangan sisa penjualan tadi siang. Sejenak beristirahat di lapangan tempat teman – teman seusianya bermain layangan. Zaman menyandarkan dirinya pada tiang, ia tersenyum melihat layang buatannya terbang       di angkasa seperti angannya yang ia gantung pada baskara. Zaman adalah anak Pak Karim yang terlahir dalam keadaan cacat, kaki kirinya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kini Zaman telah duduk di bangku sekolah dasar kelas lima usianya kurang lebih 11 tahun. Tidak seperti anak – anak pada umumnya berlari  bermain, berlompatan kesana kemari. Dengan tongkat penyangga Zaman menyeret kaki kirinya, berjalan untuk tetap tegar diantara anak – anak seusianya. Walau terlahir dalam keadaan cacat dan tumbuh pada keluarga yang kurang mampu, Zaman tak pernah putus asa. Pak Karim ayah seorang tukang becak dayung (becak sepeda) sementara ibunya mengambil upah cucian di rumah orang. Dari kehidupan yang dijalaninya, Zaman banyak belajar, belajar tentang perjuangan hidup. Zaman anak yang cerdas, ulet dan giat belajar.          Ia selalu mendapat juara umum di sekolahnya. Zaman juga anak yang ramah, periang dan santun dalam berbahasa, ia disukai teman – teman dan gurunya bukan dikasihani atas kekurangannya. Zaman membuktikan bukan dengan kekurangan yang ada pada dirinya membuat ia putus asa namun ia menggali sisi lain yang bisa diandalkan dan dibanggakan. Salah satunya adalah kepintaran dan kerja keras yang ia miliki.
            “man, Zaman, tingok tu lelayang yang kami beli dari ikak (kamu), die terbang dak gayal (goyang), mantap je! Dak macam lelayang Azman, model boleh tahan tapi terbang die gayal”, Atan berkata kepada Zaman yang masih bersandar di tiang tak jauhnya sambil memajukan mulutnya menujuk arah layang – layang yang diterbangkannya di angkasa.
            “makasehlah tan, ikak lah puji lelayang yang kami buat, tapi gulunglah benang, hari dah petang, kejap lagi magreb datang!”, ujar Zaman dengan wajah tersenyum. “Zaman aku belilah lelayang awak tu satu, lelayang ni tak mantap, model je bagos, terbang dak luros!”, sela Azman sambil menggulung benang menurunkan layang – layang yang dibeli ayahnya di toko, diikuti dengan Atan yang menggulung benang menurunkan layang – layangannya juga. Zaman tidak menyahut, ia hanya tersenyum memandang Azman yang kecewa dengan layang – layang yang dibeli ayahnya dari toko.
            Setelah layang – layang itu turun, Atan dan Azman menyandang layang – layang di bahu mereka lalu berlari kecil menghampiri Zaman yang masih bersandar di tiang. Setibanya di sana, Azman memilih ketiga layangan yang masih tersisa. “ndok az, katepon tadi lelayang awak boleh tahan gamba die je nage terbang, dak macam lelayang yang aku beli dari Zaman, hanye pakai kertas minyak je, kau orang kate lelayang Zaman tandon, ngape pulak berminat ?”, Atan tersenyum coba mengusik Azman yang sibuk memilih layangan  yang dijajakan  Zaman dengan sedikit candaan. “ aok mang tan, silau mate, model boleh tahan sekali terbang dak seimbang!”, sahut Azman singkat.
“ai buatan pabrek man asal je, yang penteng gamba lelayang tu lawa, bia hati tepikat, sekali je terbang, macam belalang sembah patah sayap, ha…ha…ha…”, ujar Atan sambil tertawa diikuti dengan Azman dan Zaman, mereka tertawa geli mendengar perkataan Atan.
            “ikak jangan pileh warne ijau ye man, lelayang aku ni dah warne ijau, awak pileh warne mirah nye, sesuai perangai awak, dak tentu arah tekacah – kacah, ha…ha…ha…!”, Atan kembali mengingatkan Azman, Zaman hanya tersenyum mendengar kelakar temannya.
“ aku pon dak sudi warne ijau, warne ijau tu kan selere awak, selere kampong, baju kuneng selua ijau, rambot pon awak cat dengan belau ha..ha..”, Azman pun membalas candaan Atan, mereka tertawa bersamaan.
            “lelayang ni pon macam orang, kadang di lua je nampak bagos, tetipu penampilan tak tau di dalam macam setan, gitu jugelah lelayang ni model boleh tahan, sekali terbang dak seimbang”, Zaman coba menjelaskan layang – layang buatan pabrik, yang hanya mengejar target, tanpa mementingkan kualitasnya membandingkannya dengan kehidupan manusia. Atan dan Azman mengangguk – anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Zaman yang masuk akal. Zaman disayangi teman – temannya karena dalam menyikapi hidup Zaman lebih berpikiran ke depan.
            “mana Siti man, biase ikak julan Siti tu ngentel je belakang ikak”, Azman menanyakan Siti adek Zaman yang biasa ikut ia jualan. “ni hari die dak ikot, badan die sejuk seram agaknye mau demam, kate mak bia die istirahat tak usah ikot jualan”, jawab Zaman memberitahukan kepada Atan dan Azman bahwa Siti adiknya kurang enak badan.
            “ayoklah kite cepat balek, bia kelak ke surau dak telambat”, sambung Zaman mengingatkan. Mereka pun berjalan pulang meninggalkan lapangan yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Tak lupa Zaman singgah di warung yang tak jauh dari rumahnya, membelikan sedikit jajanan buat Siti dari hasil penjualan layangannya. Selesai mandi dengan baju yang bersih Atan dan Azman menuju rumah Zaman menggunakan 2 sepeda, Atan dan Azman membonceng Zaman secara bergantian baik itu mau berangkat atau pulang sekolah maupun pergi ke surau untuk sholat.
            Azan berkumandang dari surau menandakan masuknya waktu sholat magrib. Atan, Firman dan Zaman yang lebih dulu tiba di surau, meluruskan sab sholat berjamaah. Dengan keterbatasan fisik Zaman memilih tempat paling pinggir sisi kanan surau tersebut. Zaman tidak seperti orang pada umumnya yang bisa berdiri tegak dalam sholat, dengan duduk ia melaksanakan perintah Allah sholat lima waktu. Semua ada hikmahnya, Tuhan memberi cobaan seperti ini karena Tuhan tahu hamba-Nya sanggup menjalani kehidupan ini, dengan semua ini tak membuat Zaman menjadi jauh kepada sang Pencipta malah Zaman makin mendekatkan diri, selalu bersyukur atas nikmat dan karunia. Disatu sisi, Tuhan menciptakan kekurangan fisik yang Zaman miliki, di sisi lain Tuhan memberi kelebihan pada dirinya dengan kecerdasan yang dimiliki Zaman, ia terus mendapat beasiswa dan uang saku dari pihak sekolah, dengan kepintarannya Zaman selalu tampil sebagai juara yang diselenggarakan panitia baik pada lomba pidato, baca puisi atau ceramah Da’i Cilik. Zaman pun pekerja keras walau masih belum dewasa ia ingin membantu ayahnya menanggung beban keluarga, menjajakan kue yang dibuat tetangga, membuat dan menjajakan sendiri layangan ketika musim layangan tiba atau membantu ayahnya membuat mainan rakyat, seperti gasing, mobil mainan dari kayu dan sebagainya. Ayah dan ibu Zaman sangat bangga dengan semangat Zaman yang tak pantang menyerah dan tak kenal putus asa. Suatu hari Zaman pernah berkata pada ayahnya, “bapak ajakanlah Zaman biken lelayang, ni dah musem lelayang, Zaman nak jualan lelayang buatan sorang”, ujar Zaman kepada ayahnya. Pak Karim tahu betul sifat anak sulungnya ini ia tahu bahwa Zaman seorang anak yang tidak ingin dikasihani dengan kekurangan yang ia miliki.
            Ia seorang yang mandiri dengan keterbatasannya, ia selalu bersikap positif dalam menyikapi hidup, dengan berjualan kue, mainan atau layangan setidaknya Zaman membantu meringankan beban kehidupan mereka. Zaman tak harus minta uang kepada orang tuanya kalau hanya membeli peralatan sekolah dan uang jajannya dan Siti adiknya cukup dari hasil penjualannya. Zaman pun selalu menyisihkan sedikit uang hasil penjualan untuk ditabung.
            Sejenak ayah Zaman terdiam memandang wajah putranya, pada tatapan matanya Pak Karim tahu bahwa Zaman seorang anak pekerja keras,dengan satu hentakan nafas ayahnya menjawab, “ lelah Zaman, kelak bapak ajakan care buat lelayang yang betol”, ujar Pak Karim. “tapi man, awak menjajekan kue makcik Gayah, tak penat ke sambel jual lelayang?”, ibu Zaman memperingatkan Zaman tentang niat yang Zaman utarakan barusan, ia khawatir kalau Zaman kelelahan.
“tak kesahlah mak, sekali jalan je lelayang tu pon bukannye berat, pepaleng Zaman buat tujoh lapan bijik je lelayang tu, dak banyak lelayang tu Zaman kebat dengan tali panjang Zaman selempang dari belakang, tetaplah Zaman jaje kue makcik Gayah, orang nak beli kue jadi, nak beli lelayang pon jadi”. Pak Karim dan istrinya tersenyum mendengar penjelasan putranya yang masuk akal, Pak Karim pun menerangkan bagaimana cara pembuatan layang – layang yang benar kepada Zaman putranya. Zaman pun mengerti apa yang dijelaskan ayahnya. Tidak terasa sudah seminggu Zaman berjualan layang – layang buatannya yang dibantu ayahnya dalam hal pembuatan layang – layang itu, Zaman pun tetap berjualan kue buatan makcik Gayah dengan cara menjajakannya dari pintu ke pintu.
            Selesai sholat Maghrib, Atan dan Azman mengantarkan Zaman sampai ke pintu rumah. Tak lupa Atan ddan Azman pun pamit kepada orang tua Zaman untuk pulang ke rumah masing – masing. Di dapur ibu Zaman telah menyiapkan hidangan makan malam. Mereka makan bersama, walau sederhana semua terasa  nikmat karena mereka selalu mensyukuri rezeki yang dilimpahkan oleh sang Maha Pencipta. Selesai makan Zaman pun membantu ibunya memberesi meja makan lalu Zaman dan Siti menuju ruang depan membolak – balik buku pelajaran sekedar mengulang – ulang pelajaran. Zaman tidak langsung tidur setelah sholat Isya, Zaman memperhatikan satu layang – layang yang bergantung di dinding ruang depan. Layang – layang itu bertuliskan kalimat seperti kata mutiara, layang – layang itu terus dipandangi Zaman untuk layang – layang yang satu ini Zaman membuatnya dengan hati – hati meraut bambu dengan teliti, menimbang arku (kerangka layangan) dengan menggunakan benang sama berat, menghias kertas minyak dengan manik – manik tak lupa Zaman menuliskan satu kata, ayahnya yang tadi memperhatikan Zaman menanyakan layang – layang itu kepada Zaman. Zaman mengatakan bahwa layang – layang ini khusus ia buat untuk wali kelasnya yang akan pindah besok bertugas mengajar di tempat lain, kemarin teman – teman  Zaman berembuk untuk memberi cenderamata kepada bu guru wali kelas mereka sebagai tanda kenang – kenangan dari muridnya, sengaja mereka tidak mengikut sertakan Zaman karena mengetahui keuangan keluarga Zaman. Zaman tidak merasa mundur malah dengan kedua tangan dan jerih keringatnya ia ingin memberikan satu cenderamata kepada gurunya.
            Di pagi hari yang cerah bu guru Haryati bertemu dengan anak didiknya yang sudah rapi duduk di bangku masing – masing untuk terakhir kalinya karena besok ia akan berangkat pindah tugas ke tempat lain, sedikit penjelasan tentang kepindahannya. Sebelum pamit anak didiknya menyalami Bu Haryati satu persatu. Tak lupa mereka semua memberikan tanda mata buat bu guru tercinta.
            Bu Haryati terharu kala melihat seorang siswanya yang menyeret kaki kiri dengan bertopang pada tongkat penyangga, Zaman berjalan mendekati Bu Haryati dan menyerahkan layang – layang buatannya sebagai tanda mata buat Bu Haryati. Bu Haryati menerima pemberian itu dengan perasaan haru, ia membaca tulisan yang di tulis Zaman di layang – layang buatannya. Layang – layang tersebut bertuliskan ku gantungkan cita – citaku pada layang – layang yang terbang tinggi menembus awan, semoga kelak ku berhasil di masa depan, air mata berderai jatuh di wajah Bu Haryati. Bu Haryati langsung memeluk Zaman, tak lama Bu Haryati melepaskan pelukannya namun kedua tangannya tetap memegang pundak Zaman, dengan mata yang basah dengan air mata Bu Haryati memandang Zaman murid kesayangannya. Teman –teman Zaman yang melihat jadi ikut terharu, banjir air mata tumpah di kelas mereka hanya Zaman  yang tidak menangis, matanya berkaca – kaca menahan gejolak haru berpisah dengan bu guru wali kelasnya. Satu bulir air jatuh di sela mata Zaman. Zaman cepat menyekanya, ia ingin tetap terlihat tegar di mata guru dan teman – temannya. “raih anganmu nak, gapai cita – citamu, jalan masih panjang, kau harus siap untuk masa yang akan datang menuju masa depan, kekurangan bukan menjadi penghalang namun jadikanlah kekurangan itu sebagai acuan dan menjadi kelebihan, buktikan kalau engkau bisa seperti yang lainnya”, Bu Haryati berpesan kepada Zaman dan pesan itu selalu diingat Zaman yang ia mantapkan dalam hati sebagai penyemangatnya untuk meraih masa depan yang gemilang.
            Layang – layang itu buatan Zaman, dari semangat dan kerja kerasnya yang terlahir dalam keadaan tidak sempurna. Seperti pada anak – anak yang lain Zaman pun biasanya berkumpul bersama – sama mereka untuk bermain, jika cepat habis dagangan kuenya, maka dengan cepat Zaman memberikan uang hasil penjualan kepada makcik Gayah agar bisa dibelanjakan makcik Gayah berupa bahan baku pembuat kue tersebut, tak lupa makcik Gayah memberikan uang kepada Zaman, upah dari Zaman menjajakan kuenya. Zaman pun pulang kerumah memberikan uang itu kepada Ibunya menyisihkan sedikit untuk ditabung tak lupa memberikan satu dua biji jajanan buat Siti adiknya. Dan Zaman pun kembali bermain diluar bersama teman – temannya, setelah pamit dari Ibunya, Siti pun juga begitu dengan anak – anak seusianya, mereka bermain masak – masakan, tali merdeka, congkak dan lain sebagainya. Terkadang Siti juga sering mengikuti Zaman abangnya bermain dilapangan tak jauh dari rumahnya. Siti dan Zaman hobi bercocok tanam. Rumah peninggalan kakek dari ayahnya mempunyai pekarangan atau halaman yang terbilang luas, baik didepan maupun dibelakang rumah. Dihalaman depan Siti menanami aneka bunga – bunga baik dari sisi kiri maupun dari sisi kanan, bunga yang ditanam Siti masih kecil, begitu juga pohon rambutan, durian, kuini, manggis dan jambu yang ditanam Zaman masih kecil juga, pak Karim memelihara beberapa ekor ayam kampung, biasanya kalau ayam itu berkembang biak dan menjadi banyak pak Karim menjual ayam tersebut kepasar langsung ke pengecer atau ke kios tukang ayam, Zaman pernah bertanya kepada ayahnya bagaimana cara beternak yang baik, ayahnya pun menerangkan dengan jelas cara beternak yang baik dan benar, namun dengan halus pak Karim menyarankan dengan kata belum saatnya Zaman mempraktekkan untuk beternak nantilah 3 atau 4 tahun lagi kamu bisa memulainya karena Zaman ingin beternak ayam kampung dalam jumlah yang tidak sedikit dan juga ingin beternak lele.
            Sore yang cerah itu anak – anak berkumpul di pinggir lapangan, mereka melihat teman – teman yang lain bermain guli atau kelereng, mereka membuat 3 lubang dengan jarak yang sama, lubang yang dibuat dengan cara menggali sedikit tanah sebesar kepalan anak – anak itu. Lubang yang dibuat sama besar dan sejajar ke depan seperti garis lurus ke depan, biasanya dimainkan 4 atau 5 orang untuk mencari siapa duluan yang mulai memainkan kelerengnya dengan cara berdiri di ujung lubang yang dibuat menghadap ke depan atau ke lubang paling muka berusaha memasukkan ke dalam lubang tersebut atau setidaknya tak jauh dari lubang paling muka apabila kelerengnya yang dilempar itu masuk dalam hitungan 1 atau lubang satu. Jika dalam 5 pemain, 2 atau 3 orang anak yang melempar sama – sama masuk ke dalam lubang paling muka maka siapa yang duluan memasukkan ke dalam lubang maka dialah yang berhak memulai pertandingan, dimulai dari lubang 1 secara berurut bergantian. Lubang – lubang tersebut harus dimasukkan dengan kelereng dengan cara menjentikkan kelereng dalam jarinya (seperti arus bolak – balik) pada hitungan ke 10 kelereng berada di lubang tengah, maka si pemain berhak mematikan lawannya dengan cara menjentikkan kelereng dalam jarinya mengenai kelereng lawan untuk memukul kelereng lawan, haruslah masuk dalam lubang satu dulu. Kelereng lawan yang dipukul sebelum masuk dalam hitungan 10 atau lubang 10 tidak membuat lawan mati atau berhenti namun hanya menyulitkan lawan untuk memasukkan ke lubang yang dituju. Permainan ini bisa juga beregu, 4 orang 2 sama 2. lebih asyik permainan ini dilakukan beregu (2 orang lawan 2 orang) jika temannya berusaha memasukkan kelereng ke dalam lubang secara berurutan, maka temannya yang lain menjaga kelereng lawan agar sulit memasukkan kelerengnya ke dalam lubang yang dituju, pada hitungan ke 10 atau lubang 10 (lubang tengah) maka ia pun berusaha mematikan kelereng lawan dengan cara mengenai kelereng tersebut sambil berusaha menjaga temannya itu menyelesaikan lubangnya dalam hitungan 10. mereka bersama – sama berburu, berusaha mengenai kelereng lawan, biasanya anak – anak membuat batas – batas tertentu tentang lebar - lebar lapangan di sekitar lubang itu atas persetujuan mereka.
Anak – anak yang tadi berkumpul mulai bersorak – sorak ketika melihat kelereng Azman dan Atan tersudut, ada pro dan ada kontra, rupanya di pinggir lapangan suasana mulai memanas. Persediaan kelereng mereka makin menipis, Azman dan Atan mulai saling menyalahkan sementara Ujang dan Jali tersenyum puas,sedikit demi sedikit kelereng milik Azman dan Atan berpindah tangan kepada Ujang dan Jali.
“camane ni tan, segunong pon guli kite bawak kalau macamni caranya habes”, Azman berkata dengan nada putus asa kepada Atan.
“aku sama Ujang maseh bebaek hati, kalau nak berenti maen tak pe, lagik pon guli ikak bedue tinggal sikit”, sebelum sempat Atan menjawab pertanyaan Azman, Jali anak kampung sebelah mencampuri omongan mereka. “teros je Az, nak habes, habeslah ni hari die orang, siape tau besok kite pulak yang menang macam semalam”, jawab Atan.
“ni hari agaknye jadi imbang, semalam ikak bedue boleh ketawe tapi hari ni ngungoi (sedih) ha…ha….ha…”, Ujang mulai mengejek Azman dan Atan. Azman dan Atan pun hanya diam tidak berusaha menjawab ejekan Ujang dan Jali dari kampung sebelah. Anak – anak yang menonton kembali bersorak, pertandingan kelereng dimulai, Zaman menghampiri kerumunan anak – anak tersebut. “Atan, Azman, tingok tu Zaman datang!!”, sela seorang anak kepada Azman dan Atan serta merta Azman, Atan dan anak – anak yang lain menoleh melihat  arah yang ditunjukkan anak tadi, tak lama Zaman pun tiba tak jauh dari Azman dan Atan berdiri, ia sempat heran mengapa sewaktu ia  berjalan ke arah kerumunan anak – anak yang lain banyak yang menatap ke arahnya, “tan, ngape tadi aku jalan kesini ramai orang ningok, ade ape??” tanya Zaman kepada Atan keheranan. “takde lah man, tingok ni guli kawan tinggal sikat”, jawab Atan dengan wajah murung. “cube Zaman yang maen tan, gantikan awak, bia tau budak tu”, ujar Azman, “oi jadi maen tak? Kalau dak kami balek”, Ujang berbicara seakan ia menghindar bermain kelereng bertemu dengan Zaman karena Ujang tau Zaman mahir dalam bermain kelereng. “jadi lah jang, Zaman gantikan Atan, dah salah urat ibu jari Atan tuh, midek asek tak pas”, tanpa persetujuan dari Zaman, Azman pun mengatakannya pada Ujang dan Jali, yang lain mendengar jadi geli dibuatnya. “ade – ade je awak ni Az, kene je”, ujar Atan nyengir kuda sambil memberikan kelerengnya kepada Zaman. Zaman menerima kelereng tersebut, ia meletakkan kelereng tersebut ke dalam kaleng tak jauh dari Azman dan mengambil satu kelereng berwarna bening dengan hiasan warna putih  di dalamnya. “suailah tan, dari tadi kite kalah, gacok awak warne ijau, awak tu asek ijau je, tak maen guli tak maen lelayang asek warne ijau, ningok duet pon warne ijau jugek mate tu”, Azman mulai bercanda, teman – teman yang lain kembali tertawa.
Tak lama permainan pun dimulai. Zaman pun mulai bermain, Zaman akan meletakkan tongkatnya ke tanah dan langsung duduk ke tanah jika ia mendapat giliran memainkan kelerengnya. Dalam soal bermain kelereng Zaman sangat piawai, dengan begitu mudahnya Zaman dan Azman memindahkan kelereng – kelereng yang tadinya di kaleng Ujang kembali ke kaleng Azman. Ujang sadar kalau Zaman memang bukan tandingannya dan Jali. Hanya Jali saja yang terlalu percaya diri karena memang Jali anak baru, ia baru 2 bulan tinggal di Dabosingkep pindahan dari Tanjung Balai Karimun, masih dalam Provinsi Kepulauan Riau, dialek atau logat bahasa pun masih sama hanya dalam kata “kamu” biasanya melayu Dabosingkep menyebutnya dengan “ikak” sementara melayu Tanjung Balai Karimun dengan sebutan “mike” . Terdengar suara beduk maghrib, Adzan pun mulai dikumandagkan menandakan waktu sholat maghrib sudah tiba, namun permainan belum usai. Jali berjanji besok akan menantang Azman dan Zaman bermain kelereng lagi. Azman hanya tersenyum, ia yakin selagi Zaman masih bermain, kemenangan dipihaknya. Tak lama anak – anak yang tadi berkerumun di pinggir lapangan pulang berbarengan. Wajah Azman dan Atan begitu berseri, Zaman hanya tersenyum geli melihat sahabatnya. Tadi sewaktu pertama ia datang wajah mereka murung karena kalah kelereng dari Ujang dan Jali kini wajah mereka berseri – seri dengan kemenangannya, akhirnya mereka pun tiba di depan rumah Zaman. Ayah Zaman duduk di ruang depan, ia telah siap dengan pakaian sholat sambil menunggu anaknya Zaman pulang untuk sholat berjamaah bersama. Pak Karim hanya geleng – geleng kepala melihat anak – anak yang baru pulang bermain. “maaf Pakcik kami telambat balek bemaen”, ujar Azman merasa bersalah. “iye sudahlah besok jangan diulang lagi, lah maghrib baru balek, tak patot, ha cepatlah balek mak dan pak ikak pun mungken dah risau hatinye nunggu anaknye belom juge jejak rumah jam segini”, Pak Karim coba memberi nasehat kepada Atan, Azman dan Zaman.
“Ielah Pakcik, kami balek luk, salamualaikom”, sahut Atan. “waalaikum salam Wr. Wb” jawab Pak Karim. Mereka pun berlari kecil menuju rumah masing – masing. Zaman pun masuk ke dalam rumah. Setelah mandi dan membersihkan diri Zaman sholat berjamaah bersama ayah, ibu dan adiknya. Setelah sholat maghrib ayahnya coba menasehati Zaman dengan lembut dan penuh kasih sayang, ia ingin Zaman menjadi orang yang berguna dikemudian hari kelak. “mengape Zaman sampai betamu azan magreb belom balek ke rumah, maen ape?”, tanya Pak Karim kepada Zaman anaknya. “maen guli je pak, maaflah besok – besok Zaman dak balek petang lagi”, jawab Zaman, ia merasa bersalah pada ayahnya. “tadi maen gulinye betaroh ye man, mak tingok Azman banyak bawak guli”, selidik ibu Mariam, ibunya Zaman. “Atan same Azman yang betaroh maen guli tu dengan budak kampong sebelah”, dengan suara pelan Zaman menjawab pertanyaan ibunya. “zaman cume gantikan Atan sebenta je mak”, kembali Zaman menyambung perkataannya, Siti duduk di sebelah ibunya mendengarkan pembicaraan tersebut.
“o man, nak sekejap nak lame sama je, betaroh juge namenye, tak patot tak elok betaroh tu same juge bejudi, besa keciknye bejudi juge namenye, dilarang agame kelak masok api nerake, naudzubillah minzalik, bapak tak mau kelak anak bapak masok api nerake bapak pon jadi ikut masok nerake karne waktu idop tak ngasi tau same awak”, dengan suara pelan Pak Karim menasehati putranya. Zaman tertunduk menyesali perbuatannya. “ha awak denga juge tu ti cakep bapak”, ujar bu Mariam kepada Siti. “iyelah mak, Siti dengalah”, jawab Siti dengan nada manja. “bapak tak melarang ikak bedue maen tapi jangan sampai betaroh, dari kecik – kecik kelak jadi biase lah tue tebawak – bawak, suka bejudi selaen dilarang agame, tukang judi tak de untongnye dak jadi kaye jike ni ari die orang menang seribu isok – isok die kalah sejuta, rumah, tanah, ayam, itek habes tegadai, nyawe pun bise tegadai, antu pon ketawe, ade geg kawan masok nerake”, kembali Pak Karim memberi nasehat kepada ke 2 anaknya, Siti tersenyum geli menahan tawa sementara Zaman tetap menunduk mencerna semua perkataan ayahnya. “ngape awak tesengeh – sengeh denga bapak cakap ti??”, tanya ibunya heran. “bapak tu cakap ayam itik ikot tegadai, kalau rumah, rumah jelaslah jangan sampai ayam same itik pon ikot tegadai, kasian ningok anak ayam, anak itik ilang mak die, ape lagi pak cakap antu tu ketawe, ade kawan die masok nerake. Kami bukan bekawan same antu”, Siti coba menjelaskan mengapa ia tersenyum geli. “itu ti jahatnye bejudi ni buat orang penasaran, habes rumah digadai ayam itik pon ikot digadai, ikot tejual, bunge – bunge yang masih kecik awak tanam tu Siti, kalau bise digadai ikot tegadai jadi jangan cobe – cobe jangan dimulai antu paleng suke dengan orang bejudi tak ingat siang tak ingat malam lupe sembahyang”, bu Mariam coba menerangkan kepada Siti bahaya berjudi. Zaman tetap tertunduk tiada sepatah kata pun yang keluar dari mulutya, ia benar – benar menyesali perbuatannya.
“ha Zaman, bile ade yang ngajak betaroh lagi jangan mau, jangan jugek ningok orang betaroh tu pon same jugek, ningok orang bejudi dose de same, bagos kite menjaoh, bapak tak melarang awak maen tapi jangan betaroh. Bapak cakap macam ni bukannye bapak marah ta[pi bapak sayang same ikak bedue”, ujar Pak Karim kepada kedua anaknya. “iye pak, Zaman paham, maafkan Zaman, Zaman tak ngulang lagi”, jawab Zaman kecil mantap. “iyelah man namanye orang idop tentu ade silap, tak de yang sempurne selain Yang Maha Kuase, selagi kite diberi mase untok betobat, mudahanlah pintu tobat maseh tebuke, maseh diterime tobat kite tu yang penting jangan diulang lagi, ha lah nak jejak sholat ise”, Pak Karim melihat ke arah jam dinding, tak lama kemudian suara azan Isya berkumandang. Pak Karim daK anggota keluarganya sholat Isya di rumahnya secara berjamaah.
Selesai sholat bu Mariam memberesi peralatan sholat dibantu Siti anaknya. Bu Mariam menyiapkan makan malam, mereka makan malam dengan nikmatnya selalu bersyukur itu kunci dari makanan tersebut dimakan menjadi nikmat. Sebelum tidur Zaman menyempatkan diri untuk belajar, ia harus lebih giat lagi belajar karena taun depan pelajaran pasti makin sulit apalagi nantinya ia akan menghadapi ujian nasional, dari sekarang lah Zaman mempersiapkan diri agar bisa lulus dari sekolah dasar dengan nilai yang memuaskan karena untuk melanjutkan di sekolah menengah pertama nanti Zaman harus bisa masuk di sekolah negeri.
Aneka bunga menghiasi pekarangan rumah yang sederhana, harum mewangi sejuk dan asri. Pemandangan menawan hati, semua tertata rapi kupu – kupu terbang hinggap di kelopak putik kuncup bunga mekar, berganti kembang yang memudar, taman bunga itu ditata oleh tangan yang dingin seorang gadis remaja yang dengan kelembutannya merangkai dan merawat bunga – bunga disisi rumah, pohon rambutan dan mangga ikut menghiasi keasrian rumah. Di halaman belakang rumah juga di tanami beberapa tumbuhan seperti kuini, jambu, manggis, dll. Tampak jelas penghuni rumah tersebut penuh dengan kreativitas pekerja keras, ulet dan penuh semangat.
Siti sedang menyirami bunga – bunga sambil bersenandung kecil menghadap ke rumah membelakangi jalan raya, dari arah jalan raya seorang wanita setengah baya menghampirinya, “assalamualaikum”, ujar wanita tersebut, “waalaikum salam Wr. Wb.”, Siti menjawab salam sambil menoleh ke arah suara yang mengucapkan salam tadi. “ade ape makcik bise Siti bantu?”, Siti menyambung ucapannya. “nak beli pukok anggrek, ade dak? Tak usah yang besa yang kecik je, bia je same pot die, nak makcik tanam kat rumah makcik, lah besa kelak baru makcik pindahkan dari pot, bia tak mati”, wanita tersebut menjelaskan maksud kedatangannya. “ade makcik, satu lagi silelah”, Siti mengajak wanita tersebut ke tengah taman bunganya. “canteknye kolam ikak ni di atasnye di hias bunge teratai, dalam kolam betabo ikan kiong (gabus), kat sebelah tu ade kolam juge?”, tanya wanita tersebut. Siti hanya mengangguk sambil berujar “iye makcik”, pekarangan rumah Siti terbilang luas, rumah tersebut adalah rumah warisan peninggalan kakeknya, sudah berapa kali rumah tersebut di tawar oleh pembeli namun Zaman abangnya Siti tidak mengizinkan rumah itu dijual, biarlah rumah itu menjadi kenang – kenangan bagi keluarga mereka. Letak rumah itu sangat strategis di pinggir jalan raya, tidak begitu jauh dari sekolahan, pasar dan masih di sekitar pinggir kota. Pekarangan depan yang luas dimanfaatkan Siti untuk menanami berbagai macam aneka bunga dari mawar, dahlia, anggrek, melati, nusa indah, terompet, cempaka dll. Siti juga membudidayakan tanaman bonsai. Di sisi kiri dan sisi kananlah Siti membuat kebun bunganya, ditengah – tengah taman bunga itu Siti membuat kolam kecil, ia juga memelihara ikan gabus di sisi kiri dan  ikan lele di kolam sisi kanan, menutupi taman bunga itu dengan jaring atau sejenis kelambu yang berwarna abu – abu agak kehitam – hitaman dan menanami pohon anggur yang menjalar pada jaring itu, dari hasil penjualan bunga, Siti sudah bisa membiayai sekolah sendiri dengan uang sisa penjualan disisih sedikit oleh Siti untuk ditabung.
Di halaman belakang rumah tersebut juga terbilang luas, Zaman memanfaatkannya dengan tanaman – tanaman yang dapat menghasilkan, seperti pohon rambutan, mangga, kuini juga beberapa batang pohon durian dan kelapa. Zaman menjual hasil buah langsung di pasar, ia sendiri yang menjualkan buah – buahan itu dengan menyewa pelataran di pasar tersebut. Zaman juga mengambil atau memesan buah – buahan lain dari petani langganannya. Zaman berjualan di pasar setelah pulang dari sekolah, Zaman juga membawa beberapa buku pelajaran untuk dibacanya di pasar jika pembeli lagi sepi. Zaman memperkerjakan seorang anak putus sekolah untuk membantunya di pasar, disamping berjualan Zaman juga beternak ayam, bebek dan ikan mujair, untuk urusan beternak Pak Karim banyak membantu Zaman dengan memelihara ternak tersebut. Pak Karim masih mendayung becak sewa tidak seperti dulu sewaktu Zaman masih kecil, Pak Karim banting tulang membiayai kebutuhan keluarga kini setelah Zaman dan Siti sudah meningkat dewasa mereka lebih banyak membantu dalam hal keuangan keluarga. Pak Karim hanya membawa sewa pagi dan siang saja, antar jemput anak sekolahan yang menjadi langganannya. Zaman sempat dengan halus melarang bapaknya untuk membawa becak sewa biarlah bapaknya beternak dan menanam sedikit tanaman palawija di halaman belakang rumahnya. Pak Katim memberi alasan kalau ia tak ingin seperti teman-teman seusia senjanya yang kini banyak duduk di kursi roda karena penyakit baik itu stroke, jantung dan penyakit gula. Pak Karim mengayuh becaknya sekedar olahraga karena Pak Karim tidak menanti sewa lagi. Pagi – pagi ia berangkat mengantarkan anak – anak langganannya bersekolah dan siang menjemput anak – anak tersebut, sore harinya Pak Karim mengurusi ternak dan tanaman palawijanya seperti terong, gambas, paria, timun dan tanaman cabe. Tak lupa pagi – pagi sekali sebelum berangkat mengantarkan anak sekolah Pak Karim memberi makan ternaknya. Setengah bulan sekali Pak Karim menggantikan air di kolam yang terdapat ikan mujairnya.
Bu Mariam istri Pak Karim, ibunya Zaman dan Siti tidak lagi mengambil upahan dengan mencuci pakaian di rumah tetangga. Dengan hasil tabungan Zaman dan Siti mereka membangun kedai kecil (warung) untuk ibunya berjualan, ibunya hanya berjualan bahan – bahan kering saja seperti jajanan, minyak, gula, anti nyamuk, sabun dll. Letak warung tersebut tak begitu jauh dari pinggiran jalan raya, tepatnya di depan taman bunga Siti di sisi kiri pekarangan rumah mereka. Siti juga sering membantu ibunya berjualan jika ada pembeli 4 atau 5 orang, Zaman juga mengganti atap rumah mereka dengan seng yang sebelumnya masih menggunakan atap daun rumbia. Siti pun membantu Zaman dengan menyemen ulang lantai rumah mereka. Mereka hanya mengecat ulang bangunan rumah tersebut, papan – papannya masih bagus dan kuat karena dulu waktu membangun kakeknya Zaman memilih kayu – kayu pilihan untuk membangun rumah itu.
Zaman dan ayahnya masih tetap membuat layang – layang ketika musim layangan tiba. Layang – layang merupakan suatu kenangan indah bagi Zaman namun sekarang Zaman tidak lagi menjajakan layang – layang itu. Ia hanya meletakkan layang – layang di warung – warung langganannya yang biasa memesan layang – layang. Zaman memperkerjakan beberapa tetangganya untuk membuat layang – layang. Zaman selalu menekankan kepada tetangga yang dipekerjakannya untuk selalu memperhatikan mutu dan kualitas barang jangan sampai warung – warung yang memesan layang – layang menjadi kecewa.
Sebulan yang lalu Zman membeli pelataran pasar dari seorang warga tionghoa yang tak lain ayahnya Afung teman Zaman dari SD sampai SMA. Pak Aliong ayahnya Afung sebenarnya tak ingin menjual pelataran pasar yang ia miliki namun ia melihat semangat Zaman, dengan pertimbangan akhirnya Pak Aliong pun menjual pelataran pasar tersebut kepada Zaman. Selain Pak Aliong kenal baik dengan Pak Karim ayah Zaman, Pak Aliong pun tau kalau Afung anaknya dan Zaman bersahabat baik dari kecil.
Kini Zaman telah duduk di bangku kelas 3 SMA sementara Siti adiknya duduk di bangku kelas 1 SMA. Mereka bersekolah di tempat yang sama yaitu SMA N 2 Dabosingkep, letak sekolah tersebut di kampung Setajam. Azman, Atan dan Afung adalah sahabat Zaman dari kecil. Mereka pun satu kelas dengan Zaman. Diam – diam Afung sangat menyukai kepribadian Zaman, cara berpikir Zaman dan ketulusan hati Zaman, Afung tak mempermasalahkan kekurangan yang ada di diri Zaman, dengan kekurangan itu membuat Zaman lebih bersemangat dalam meraih masa depan. Dari kecil Zaman sudah mandiri, itu yang disukai Afung dari Zaman. Jika hari Imlek tiba Afung sering mengantar kue ke rumah Zaman. Afung pun bersahabat baik dengan Siti adik Zaman. Jika sore hari Afung tidak ada kegiatan, ia lebih sering main ke rumah Siti dan membantu Siti mengurus kebun bunganya atau sekedar membantu ibu Zaman berjualan di warungnya. Tak jarang sore hari Afung sering mengantarkan makanan yang dibuat ibu Zaman baik itu goreng pisang, bakwan ataupun bubur buat Zaman dengan menggunakan sepeda motor. Afung mengantarnya ke pasar tempat dimana Zaman berjualan. Sebagai wanita Siti tau bahwa diam – diam Afung menyukai abangnya terkadang Siti sering bercanda menggoda abangnya namun Zaman tidak begitu serius menanggapi candaan adiknya. Zaman mengatakan lebih indah makna persahabatan daripada makna yang berujung dengan kekecewaan. Zaman tetap menganggap Afung sebagai sahabat terbaiknya. Zaman pun tau kalau Ameng teman sekelasnya menaruh hati pada Afung hanya Zaman tidak tau apakah Afung ada hati pada Ameng karena Afung tidak pernah bercerita tentang Ameng kepada Zaman. Ameng pun pernah meminta bantuan Zaman untuk membuatkan satu puisi cinta. Puisi tersebut dibuat mewakili perasaan Ameng terhadap Afung begitu bel istirahat Ameng menghampiri Zaman. “man, bise mintak dak?, tak sedap becakap kat sini, denga orang pulak, kat sampeng sekolah je”, ujar Ameng. Zaman hanya mengangguk, Zaman pun beranjak dari bangkunya dengan menggunakan tongkat penyangga, Zaman berjalan keluar kelas menuju halaman samping sekolah mereka dengan diikuti Ameng dari belakang. “man, aku mintak tolonglah buatkan puisi untok Afung”, Ameng memulai pembicaraannya ketika melihat keadaan di sekitar lagi sepi. Zaman hanya diam ia menatap ,mata Ameng, adakah kesungguhan dari pancaran itu atau sekedar kepura-puraan. “Zaman, aku serius, tolong og”, Ameng menyambung kata-katanya tadi. “Afung sahabat aku meng, aku cume tak mau Afung patah hati karne awak. orang kat sekolah ni tau awak tukang becewek”, Zaman coba memberi penjelasan. “aku serius man, kalau dulu aku suke tengingel, kalau same Afung aku tak maen – maen”, Ameng coba meyakinkan Zaman sekali. Zaman terdiam sesaat, “lelah kelak di pasa je awak jempot, puisinye bercerita tentang ape?”, Zaman  bertanya kepada Ameng maksud dari puisi tersebut. “gini man, tentang rase seukelah, tapi jangan kelewat merayu, sekedar mengagumi”, Ameng pun menjelaskan maksud puisi tersebut. Zaman hanya menganggukkan kepalanya, “makasehlah og man, kekantin yok”, Ameng menepuk bahu Zaman pelan. “duluanlah meng, aku ke kelas duluk”, ujar Zaman pelan.
Zaman hanya memandang punggung Ameng yang berjalan dengan semangat, ia hanya menggeleng – gelengkan pelan sambil tersenyum. Zaman pun kembali berjalan menuju kelas. Begitu bel panjang berbunyi menandakan jam pelajaran telah usai, selesai memberesi buku – buku, siswa – siswa kelas 3 SMA N 2 Dabosingkep keluar dari kelas menuju  rumah masing – masing. Zaman sengaja membiarkan teman – temannya duluan keluar, Azman menghampiri Zaman “ayoklah man, bia aku anta”, Azman coba menawarkan diri untuk mengantar Zaman. “makaseh og Az”, ujar Zaman. Afung yang pulang belakangan tersenyum ke arah Zaman. Zaman membalas senyuman Afung dengan menggunakan tongkat penyangga Zaman pun berjalan diikuti Afung dan Azman. setibanya di luar kelas Siti sudah menunggu abangnya, “maaf og Az, aku balek same Siti je”, ujar Zaman kepada Azman. “lelah hati – hati og man, jangan ngebut – ngebut ti”, jawab Azman sambil memperingatkan Siti adik Zaman. “fung, kami duluan ye”, tak lupa Zaman pun permisi kepada Afung. “sampai besok man”, satu senyuman terindah yang dihadiahkan Afung buat Zaman. Mereka pun kembali ke rumah masing – masing. Setibanya di rumah Zaman pun istirahat sejenak, selesai makan Zaman ke pasar dibantu Midun anak yang putus sekolah. Zaman membuka dan merapikan jualannya, pembeli langganan Zaman pun mulai berdatangan. Dengan ramah Zaman melayani pembeli, tak lama Ameng pun muncul dari arah samping langsung tersenyum ke arah Zaman, “ai cepat na meng, aku je baru nyampai, belom satu katepon yang sempat ku tules”, Zaman tersenyum melihat Ameng dengan semangat 45 sudah muncul di pasarnya. “aku mang sengaje man datang lebeh cepat, bia awak serius buat puisi tu aku yang bantu kau jualan sampai petang, camane?”, Ameng coba menawarkan jasanya. Zaman hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. “iyelah kalau cam tu niat awak, aku nules dulu awak bantulah Midun jualan”,ujar Zaman. “oke bos!”, jawab Ameng dengan semangat Ameng pun mulai membantu Midun menimbang buah yang dipilih pembeli, sesekali Ameng melirik ke arah Zaman yang serius menulis ± setengah jam puisi tersebut selesai. Ameng tidak mengira begitu cepat Zaman menulis puisi itu, Zaman pun menyalin ulang puisi tersebut dan memberikannya kepada Ameng. Salinan pertama banyak terdapat coretan dan tulisannya cakar ayam, Ameng membaca berulang – ulang puisi itu. Ameng tersenyum puas, puisi yang telah ditulis rapi oleh Zaman cepat dimasukkan ke saku celananya. “makaseh og man”, sambil menyodorkan uang dua puluh ribuan kepada Zaman. “tak usah meng, macam tak bekawan je”, Zaman menolak halus pemberian Ameng. “kalau macam tu anggap duet ni aku beli buah, terserah kau nak kasi buah ape”, Ameng pun tak hilang akal,Zaman pun tersenyum melihat Ameng, ia tak kuasa lagi menolak pemberian Ameng. Ameng pun meminta Midun untuk menimbang buah kuini. Midun pun memilih – milih buah kuini, menimbangnya ditimbangan memasukkan buah tersebut ke dalam plastik dan memberikan kepada Ameng. Ameng masih ingin membantu Zaman jualan, namun dengan halus Zaman menolaknya, akhirnya dengan berat hati Ameng pun pamit pulang. Sepulangnya Ameng, Zaman kembali duduk di meja jualannya masih terdapat puisi yang ia tulis tadi. Zaman membaca puisi itu, pantas saja Ameng tidak menduga puisi yang ditulis Zaman begitu cepat karena memang puisi itu mewakili perasaan hati Zaman. Adapun isi puisi tersebut adalah…



Di ujung tatap membeku
Di palung mata baradu
Ku terpaku ku terbelenggu
            Ada rasa yang bersemayam
            Ada rindu yang menjulang
            Di temaram dalam remang
Resahku tak kunjung sudah
Bertampuk di relung celah
Merambah tiada berbelah
            Salahkah ku merindu
            Kala malam bertabur bintang
            Dosakah rasa hatiku
            Jika terbayang wajahmu sorang

Zaman sempat terbawa oleh puisinya namun ditepisnya jauh – jauh bagai langit dan bumi jika harus ia berkhayal bersama Afung, kalau soal kekayaan dan kedudukan bukan faktor utama untuk itu bisa saja suatu saat nanti Zaman lebih kaya dan terpandang dari keluarga Afung namun yang lebih memberatkan faktor fisik dan keyakinan. Zaman sadar dengan kekurangan fisiknya juga soal keyakinan Afung seorang gadis yang beragama Budha, apa mungkin Afung mau mengikuti keyakinannya, ach…Zaman segera menepis jauh – jauh pikirannya walau ada terganjal rasa sesak di hatinya. Ia berusaha ikhlas dan berlapang dada, mudah – mudahan Ameng berubah tidak lagi mempermainkan hati wanita lagipula Ameng lebih pantas buat Afung tidak seperti dirinya, menjadi sahabat Afung sudah lebih dari cukup baginya. Zaman pun kembali berjualan untuk ke pasar Zaman biasanya menggunkan becak barang (betor) Zaman cukup memindahkan gigi porsenelingnya dengan menggunakan tongkatnya tanpa harus menahannya dengan kaki karena becak memang dalam posisi tegak jika masuk waktu Ashar, Zaman pun meminta Midun untuk menjaga dan melayani pembeli. Zaman pun melaksanakan sholat Ashar di surau terdekat dengan menggunakan becaknya selesai sholat Zaman kembali berjualan. Sebelum maghrib Zaman dan Midun memberesi dan memasukkan buah – buahan ke dalam peti lalu mereka pulang ke rumah masing – masing.
Malam semakin larut entah mengapa sulit bagi Zaman memejamkan matanya, resah melanda gelisah ini bagai tak bertuan kemana haluan kan di alamatkan. Zaman masih teringat akan sepenggal puisi yang tadi sore ditulisnya, walau puisi itu ditulis buat Ameng yang ditujukan untuk Afung sebenarnya puisi itu mewakili perasaan hatinya sendiri, “Ya Allah, tunjukkan hamba  jalan cahayamu, jangan hamba tersesat di persimpangan nafsu beralas rasa rindu hingga hamba jauh dari-Mu., dengan rasa ini semoga hamba lebih berserah diri di hadapan-Mu tiada suatu dzat pun yang tau muara rasa ini selain Engkau Ya Allah dzat Yang Maha Tahu, amin ya rabbal alamin”, suatu kata hati Zaman yang terbungkus dalam doa dari sanubarinya. Zaman mengambil gitar di sudut kamarnya, ia mulai memetik senarnya, Zaman tersenyum sejenak, gitar dipelukannya ini adalah hadiah ulang tahun yang diberikan Afung kepadanya 2 tahun silam, masih terbayang dalam ingatan Zaman gitar itu dititipkan Afung kepada Siti untuk diberikan kepadanya. Zaman pun selalu ingat tulisan yang di tulis tangan oleh Afung di kertas yang ditempelkan di belakang badan gitar, kertas itu bertuliskan “Selamat ulang tahun, semoga panjang umur dan sehat selalu, dengan tanganmu gapailah dunia petikkan senar dari nada – nada kehidupan, lantunkan satu kidung nyanyian alam tentang semangat dan asa yang tak pernah padam dari rasa yang terpendam” Afung memberikan gitar itu memang beralasan karena sebelumnya Zaman sering meminjam gitar Azman sahabatnya. Azman memang lebih dulu bisa bermain gitar dari Zaman namun saat ini soal kepiawan Zaman lebih di atas Azman, ini dibuktikan dari cara Zaman menggubah lagu sendiri ia lebih mahir dari Azman, jika pun ada acara – acara pagelaran seni yang diadakan sekolahnya. Zaman, Azman dan teman – teman selalu tampil mengisi acara biasanya Zaman membawakan lagu ciptaannya sendiri, salah satu yang pernah dibawakan Zaman berjudul “Selembar Suratmu”. Adapun liriknya sebagai berikut.



                        “SELEMBAR SURATMU”
                                                Cipt. iwansekopdarat

Selembar suratmu yang bersampul biru
Kubaca tak jemu kujaga slalu
Sampai kini masih padaku
Engkau katakan rindu padaku
Kau tuliskan ditinta biru
Dan tiada yang lain dihatiku
Itu yang kau tulis padaku
Reff     Suratmu itu masih padaku
Kenangan lucu waktu denganmu
Walaupun kini tak pernah bertemu
Ku harap engkau bahagia selalu
(lagu “Selembar Suratmu” dapat dilihat di youtube di pencarian iwansekopdarat)
http://www.youtube.com/watch?v=MRuBvUf9B_8

Zaman baru tersadar, mengapa baru sekarang ia mengulas tulisan di kertas itu yang ditulis Afung dulu sewaktu memberikan gitar itu sebagai hadiah ulang tahunnya. Zaman hanya mengingatnya lalu menyimpan tulisan itu dalam lemarinya untuk memperjelas ingatannya. Zaman pun mengambil kertas tersebut di dalam lemarinya lalu membacanya berulang. Selama ini Zaman hanya mengira tulisan itu hanya sekedar syair yang bertujuan doa seorang sahabat agar selalu sehat dan semangat dalam hidup namun setelah Zaman teliti baris demi baris barulah Zaman tau bahwa sebenarnya Afung ingin mendengar satu lagu yang khusus diciptakan untuknya. Zaman merasa berdosa, 2 tahun sudah berlalu, mudah-mudahan belum terlambat baginya untuk merangkai lirik lagu buat Afung, seorang sahabat yang selama ini selalu memaklumi dengan semua kekurangannya. Zaman pun mulai memetik senar gitar merangkai kata demi kata menjadi kalimat dalam alunan nada tercipta satu lagu. Lagu itu buat Afung yang ia gubah dikeheningan malam syahdu. Tidak begitu lama lagu tersebut selesai. Adapun lirik dari lagu itu sebagai berikut.
                         I LIKE TRANSISTOR
                                                Cipt. iwansekopdarat
  C               Amn
I like transistor
         F                G                             C
Bernyanyi bersama hilangkan rasa duka
 C          Amn
I like radio
 C                         G
Dengarkan bersama lagu riang gembira
  C                              G
Dengarkan lagu ini, senyumlah kau berseri
   F                               G
Hilangkan resah hati, gembiralah kau kini
  C                            G
Ku kan slalu disini setia tuk menemani
 F                                     G
Bersamakan bernyanyi hibur hati yang sepi
 C                                             Amn
Jikalau hatimu sepi, mari kemari mari kesini
       F                                                   G
Bernyanyi riang bersama kami, lantangkan suaramu tiada henti
         C                                   Amn
Segera dengarkan radio, janganlah malas, janganlah loyo
      F
Mulailah hitung satu, duo, tigo
      G
Iyo…yo…yo…yoooooo

(lagu “I Like Transistor” dapat dilihat di youtube di pencarian iwansekopdarat)
http://www.youtube.com/watch?v=Ubo0ZCqA6PA

Zaman mengulang – ulang kembali lagu yang baru dibuatnya. Zaman tersenyum puas satu lagu tentang keceriaan buat Afung sahabatnya. Zaman berniat ingin menyanyikan lagu tersebut langsung kepada Afung besok di pasar, ia sengaja membuat kata kiasan dari judul lagu itu, Zaman mengumpamakan hati seperti transistor yaitu suatu alat atau komponen semi konduktor yang dipakai sebagai penguat, sebagai sirkuit pemutus dan penyambung (switching). Stabilitas tegangan, modulasi signal atau sebagai fungsi lainnya. Transistor dapat berfungsi semacam kran listrik dimana berdasarkan arus inputnya (BJT) atau tegangan inputnya (FET) memungkinkan pengaliran listrik yang sangat akurat dari sirkuit sumber listriknya. Tak lama Zaman pun tertidur dengan satu mimpi indah dari angan – angan yang akan diraihnya.
Pagi itu Afung melihat satu amplop berwarna merah muda di sudut kanan bawah Afung membaca satu tulisan “buat Afung” namun tidak ditulis siapa pengirimnya. Afung sempat penasaran karena bel berbunyi menandakan jam pelajaran dimulai. Afung pun segera memasukkan surat tersebut ke dalam tasnya. Pulang sekolah barulah Afung membacanya di dalam kamarnya. Zaman sempat heran mengapa Afung pulang buru – buru biasa Afung keluar dari kelas bersamanya, Azman dan Atan namun hari ini Afung meninggalkan mereka mungkin saja Afung ada kepentingan yang mendesak padahal Zaman padahal Zaman ingin mengatakan pada Afung bahwa ia telah membuat satu lagu buat Afung sahabatnya dan ingin Afung mendengarkan langsung lagu tersebut dinyanyikan Zaman. Zaman ingin tau bagaimana tanggapan dan masukan atau saran dari Afung mengenai lagu yang dibuatnya setelah Afung mendengar lagu itu. “besok jeleh ku kasi tau same Afung”, gumam Zaman dalam hati. Zaman pun pulang bersama Siti, Azman dan Atan.

Pagi itu Afung melihat satu amplop berwarna merah muda di sudut kanan bawah Afung membaca satu tulisan “buat Afung” namun tidak ditulis siapa pengirimnya. Afung sempat penasaran karena bel berbunyi menandakan jam pelajaran dimulai. Afung pun segera memasukkan surat tersebut ke dalam tasnya. Pulang sekolah barulah Afung membacanya di dalam kamarnya. Zaman sempat heran mengapa Afung pulang buru – buru biasa Afung keluar dari kelas bersamanya, Azman dan Atan namun hari ini Afung meninggalkan mereka mungkin saja Afung ada kepentingan yang mendesak padahal Zaman padahal Zaman ingin mengatakan pada Afung bahwa ia telah membuat satu lagu buat Afung sahabatnya dan ingin Afung mendengarkan langsung lagu tersebut dinyanyikan Zaman. Zaman ingin tau bagaimana tanggapan dan masukan atau saran dari Afung mengenai lagu yang dibuatnya setelah Afung mendengar lagu itu. “besok jeleh ku kasi tau same Afung”, gumam Zaman dalam hati. Zaman pun pulang bersama Siti, Azman dan Atan.
Di dalam kamar Afung membuka surat itu, surat itu 2 lembar satu puisi dan satu surat biasa. Ternyata surat itu dari Ameng. Afung pun membaca surat itu, surat itu berisikan maksud atau niat Ameng yang ingin Afung menjadi pacarnya. Afung hanya tersenyum membaca surat Ameng. Kata – katanya begitu norak dan tak beraturan lagipula Afung kenal betul sama Ameng, siapa Ameng sesungguhnya namun bukan itu yang jadi permasalahannya. Memang Afung tidak tertarik dengan Ameng lagipula belum saatnya bagi Afung untuk memikirkan masalah hati. Ia masih ingin terus menggapai cita-citanya apalagi mereka sekarang duduk di bangku kelas 3 SMA harus lebih memfokuskan diri belajar agar di ujian nasional nanti lulus dengan angka yang gemilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar