Minggu, 01 April 2012

SULAMAN AKSARA Bag. 2

SULAMAN AKSARA Bag. 2

oleh Gurindam Kelana pada 29 Maret 2012 pukul 20:20 ·
Dengar jua di saat syair merangkum dalam satu kebulatan makna, makna dari madah aksara yang di sandarkan di tiang-tiangnya hingga menjadi satu sulaman yaitu sulaman aksara.
“ di muara aku ragu
Ketika hulu tiada aku tahu
Sesekali ku Tanya nakhoda
Agar haluan lurus adanya
Sebagaimana kemudi
Tidak membelah ombak dan buih
Jikalau kayuh ku menyebrangi
Menahan butiran ku di tepi
Seumpama perahu
Gerakku
Laksana nakhoda
Pikiranku
Selaksa kayuh
Anganku
Ibarat layar
Ucapku
Tentulah kemudi
Haluan pada hatiku “

Selagi hidup,hiduplah yang berarti agar kelak mati ada yang di kenang nanti sebagaimana hidup tiada satu pun yang tahu sebagaimana mati,
Seperti petuah lama
“ mangga hancur betik pun hancur
Semua hancur di tetak sangkur
Bunga gugur putik pun gugur
Tua gugur masak pun gugur “

Dari maknanya yang di rangkai dalam madah aksara bersangga di tiang-tiangnya dengarlah pujangga menyulamnya
Kuncup bermekaran
Bermekaran di tuas wadah
Wadah dari yang terpatri
Hidup adalah kesempatan
Kesempatan atas anugerah
Hidayah dari yang hakiki
Ta’aruf di untaian
Untaian yang meniti
Jembatan ilmu hayati
Hidup adalah perjalanan
Perjalanan menuju mati
Jalankan olehmu dengan hati
Setangkup di sisi
Di sisi awan terhenti
 Awan nan megah tersemat mentari
Hidup adalah isi
Isi dari perjanjian mati
Perjanjian yang tiada dapat di ingkari
Tertutup di helaan
Helaan di tampuk hati
Terkadang meragu terkadang menyikapi
Hidup adalah kerelaan
Kerelaan untuk mati
Yang tiada tahu kapan datang namun pasti
Dari uraian pujangga dengar jua dalam bait-bait puisi penyair meragkainya
“ selagi hidup
Sekali mati
Selagi umur
Sekali di kubur
Selagi nyawa
Sekali tiada
Raup di tepi
Lulur di lumur
Seka di rupa
Hidup mati
Umur di kubur
Nyawa tiada
Bertiti ma’ruf
Terpatri di yang luhur
Menyelimuti semua dengan tengadah do’a
Bertasbih ia mengalir di muara hati
Selagi hidup
Selagi di beri umur
Selagi raga menyangga nyawa
Sekali jua mati yang kelak di pertanyakan nanti
Walau sepatah kata petuah tetaplah ia petuah berselubung makna dari madah aksara berucap dari yang dasar bermula dari yang awal
“ segumpal tali di gulung
Di tisik kan terajut
Sekapal menjadi gunung
Setitik menjadi laut
Sebagaiman ucapannya hendaklah dapat memahami tiap-tiap barisnya
Tempat yang membekas
Lancang yang tersemat
Singkat minta di ulas
Panjang minta di kerat
Dari baris-baris yang kerat pantun menyamakan maknanya
“ terapit dua benua
Benua di tepi lautan dan samudera
Sedikit ilmu berguna
Jika di hayati dengan sempurna
Tangan merapal do’a
Do’a di rangkum dengan ujar
Jangan menghapal dua
Jika satu belum lancar
Tangan menjerat sapa
Bersidekap miring jua
Jangan mengingat tiga
Jika empat sering lupa
Bertaman selaksa gurindam
Bermadah supaya meresap
Jangan berkata enam
Jika lima belum terucap
Untaian melerai rangkai
Berkayuh tiada letih
Jangan menggapai delapan
Jika tujuh belum di raih
Tangan di tungkuh melepuh
Minumlah seduhan datuk
Jangan memangku sepuluh
Jika Sembilan belum lah duduk
Maka tanasil di ucap
Setangga ragu kadang berharap
Antara ganjil dan genap
Tahulah kita ilmu yang bertahap



Dan dari untaian puisi berirama dengan sajak yang sama ia mengumpamakan maksud-maksud tertentu dengar jua bagaimana sajak bebas menghiasnya
“ yang ku Tanya kemana ?
Mereka ucap sabar…
Yang ku maksud siapa ?
Mereka ucap sabar !
Yang ku tunggu apa ?
Mereka ucap, sabar !
Yang ku teriak dimana ?
Mereka ucap, sabar !
Yang ku sebut mengapa ?
Mereka ucap, sabar !
Sabar, sabar dan sabar
Itu yang selalu ku dengar
Ku dengar dalam ucap mereka binger
Dengan heran…
Aku bertanya, sabar ?
Mereka ucap, ya ! sabar !
Belajarlah dari yang sabar
Akan beroleh ilmu yang benar

Dalam hidup ada kekuatan, kelemahan, kelebihan, kekurangan, keberanian, ketakutan, keikhlasan, kemunafikan, kepedihan, dan kebahagian.
Dalam hidup mengenal ilmu, ilmu untuk memahami dari semua di antaranya. Dalam hidup mengenal cinta, cinta untuk memaknai dari semua di antaranya.
Dalam hidup mengenal do’a, do’a untuk mentasbihkan dari semua di antaranya kepada sang pencipta.
Dari hidup dalam ilmu
Dari hidup dalam cinta
Dari hidup dalam do’a
Tersekat ruang-ruang di antaranya yaitu pengorbanan untaian madah aksara terpasung di tiang-tiangnya. Dengar satu petuah menyulamnya.
“ Hidup adalah perjuangan
Perjuangan dengan tidak sedikit pengorbanan
Perjuangan dalam menunda kekalahan untuk bertahan hidup
Pada soalan hidup terkadang banyak pilihan, pilihan dari tiap-tiap bagian, bagian mutlak yang harus di hadapi atau lari dari kenyataan. Sebagaimana pujangga menegakkannya dalam tiang-tiang aksara menyulamkan madahnya.
“ bertanam di soal tiada merugi
Mimpi menjulang satu untaian
Bertepi angan di biaskan
Bergagang jati satin di benang
Rasa jangan di tinggal pergi
Berlari bukan satu pilihan
Hadapi dengan keikhlasan
Membuang akan menjadi makin tergenang

Terkatup ia di ujungan
Terbuka di pangkalan
Dalam hidup ada kekuatan
Dan jua ada kelemahan

Berharap untaian di haluan
Berpada di temaram keremangan
Dalam hidup tersimpan kelebihan
Dan jua terpendam kekurangan
Berharap sangat kebahagian
Di muara urat lautan
Dalam hidup tercuat keberanian
Dan jua tersekat ketakutan
Setangkup gurindam di kiaskan
Melarungi di lerai di puisikan
Dalam hidup bertanam keikhlasan
Tak jarang bertirai kemunafikan
Hendaklah maruah selalu di jaga
Tahulah ia makna hidup bagai di penghujung”

Dalam untaian madah hidup bagai di penghujung nanti dengan pakaiannya ( kekuatan, keberanian, kelemahan, ketakutan dll ) membaluti hidup dari warna-warnanya yang bernuansa dari petuah hidup adalah perjuangan dari pujangga hidup di dunia hanyalah sementara dan dari kesemuanya hidup merupakan suatu perjalanan yang harus di perjuangkan walaupun ia bersifat sementara. Seperti pada bait-bait puisi yang di rangkai penyair

“ hari ini aku menulis kata
Esok nanti aku di tulis di pahatan batu dunia
Hari ini aku berjalan
Esok nanti aku rebah bagai dahan
Hari ini aku berenang
Esok nanti aku tergenang dengan tenang
Hari ini aku berjuang
Esok nanti aku berbujuran di lembaran papan
Hari ini tegak aku sembahyang
Esok nanti aku terbaring di sembahyangkan
Hari ini aku kenang mengenang kawah
Esok nanti aku tulang belulang dan di lupakan
Hari ini aku masih di sini
Esok aku telah di sam nanti
Hari ini dan esok nanti
Tetaplah satu misteri
Apa yang akan berlaku
Dari hidup yang tak kekal dan abadi
Dapatlah menyimak makna arti
Soalan hidup dari yang maha tahu”
Di penghujung kata sebagaimana petuah
“ bertentang di kalbu
Bermuara lautan luas
Binatang tahan palu
Manusia tahan kias


Keringat berair peluh
Bekerja tiada penat
Bulat air di pembuluh
Bulat kata di mufakat
Dengan kelopak bunga
Peniti yang bergulung
Datang tampak muka
Pergi tampak punggung
Tunduk di hadapkan
Gerak berkumandang
Duduk sehamparan
Tegak sepernatang
Buaya di tepi dirajam-rajamkan
Sekerat mantera syair maknanya
Dunia ini pinjam pinjaman
Akhirat jua akhir kelaknya
Ta’aruf baying ma’rifat
Janji kerudung selah
Hidup di kandung adat
Mati di kandung tarah
Dari tepak nampan ragu madahkan
Kecil tapak tangan nyiru tadahkan”

Dan di penghujung untaian sebagaimana fatwa pujangga.
Wadah di tumpuk benang
Sumur menahan gayung
Darah setampuk pinang
Umur setahun jagung
Berkaca di atas meja
Menata di ruas kata
Membaca kias mengeja
Berkata kias terbata

Hendaklah bertanya pada hidup sesudah mati tahulah kembali nanti membekal diri.

Dari lidi sedekap hasta
Lalu bilah di serutkan
Dari hati harap meminta
Jikalau salah di luruskan
Terpaku luruh diri
Rebah di ujung tali
Maafku sepuluh jari
Sembahku junjung di beri

Tanyakan olehmu dari tiap-tiap janji supaya tahu untuk tiada hati mengingkari
Dan di akhir rangkaian syair sulaman madah yang bersanggah pada tiang-tiangnya setara menyelaraskan makna
“  sedahan menyirat madahnya
Sebatang menyurat angannya
Menukik tajam kala cekam
Kadang tergenang tak tertahan
Memonopoli pada uraian monografi
Ialah makna yag terpatri
Geleparnya menutup jati
Pada ainun jariah muara hati
Pada muhibah di hulu janji
Akan ma’rifat di haluan
Akan makramat di buritan
Robbani rabbul alamin
Robbani rabbul ghafur
Sembah kami terkabul amin
Tengadah jari di sajadah tafakur “











“Alunan Langgam”

Cipt : Iwan Sekopdarat

Berdaun inai pakai selendang
Kami dendangkan
Putaran payung siti payung
Elok melenggang
Sekapur sirih kami haturkan
Kepada tuan
Janji pun tunai menghibur tuan
Hati kan senang
Reff : alunan langgam, hai kami belajar
Beri petunjuk jua petuah
Rapatkan tangan rapat sejajar
Kan menjunjung sembah
Patah Sembilan, hai patah Sembilan
Tari melenggang, indah di pandang
Cukup sekian, cukup sekian
Kan kami berdendang


*SELESAI*







Biodata Penulis

Lahir di dabosingkep, Kepulauan Riau pada tanggal 26 Januari 1976, terlahir dengan nama kecil yang akrab di sapa iwan. Tumbuh dan besar di kampung sekop darat(Dabosingkep ) beragama islam, berjenis kelamin laki-laki.
Kini menetap di Kisaran, Asahan Sumatera Utara, berpropesi sebagai pedagang sayuran di Pasar Kartini,Kiasaran dan juga pedagang di pasar kaget ( pekan) di sekitar kota kisaran.
Adapun beberapa karya tulis Iwan Sekop Darat.
1. Tentang Rindu
2. Tentang Rindu 2
3. Layang-Layang Zaman
4. Fatwa Cinta
5. Primadona Di ujung Trotoar
6. Madah Aksara
7. Tiang-Tiang Aksara
8. Do’a Si Marjan
9. Sulaman Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar