Minggu, 01 April 2012

SULAMAN AKSARA Bag. 1

SULAMAN AKSARA Bag. 1

oleh Gurindam Kelana pada 29 Maret 2012 pukul 20:10 ·
“ Sekapur Sirih “

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat ALLAH SWT saya ucapkan atas selesainya penulisan buku ini. Tanpa ridho dan petunjuk dari-Nya mustahil buku ini dapat dirampungkan.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang membantu dalam menyelesaikan buku ini.
Buku yang berkisah akan madah aksara pada tiang-tiangnya bersangga, merajut, menjalin menjadikan ia sulaman Aksara dari para penyangga sastra yang di kemas menurut sudut pandang penulis.


Kisaran, april 2012
   Penulis

IWAN SEKOPDARAT



















“ Untuk melihat ilmu di masa yang akan datang “
Pelajari maknanya
Di masa sekarang
Untuk melihat ilmu di masa sekarang
Pahami maknanya
Di masa yang terbelakang
Untuk melihat ilmu di masa yang terbelakang
Gali maknanya
Di masa ia berkumandang
Tiadalah terpedaya
Akal pikiran
Selagi hati meraja
Bertuas iman
Tiadalah bersiteru
Budi pekerti
Selagi hasrat bertumpuh
Pada zat yang maha tinggi
Tiadalah bersengketa
Gerak dan langkah
Selagi rasa bertahta
Di ujung sembah













“ Sulaman Aksara Tuan Petuah(1) ”

Kubuka kata bismillah
Bak ainun jariah menjunjung sembah
Berumpama pada air
Selaksa pada baskara
Laksana pada bayu
Tersirat ku bersyair
Tersekat ku memakna
Terjerat ku menyeru
               Jalan tertatih, genggam memudar
               Zaman beralih, muslim bertukar
Pada zambrut khatulistiwa
Pada madah aksara
Pada tiang-tiang aksara
Pada sulaman aksara
Ingat lah aku petuah lama

















“ Sulaman Aksara Tuan Petuah (2) “

Ku buka kata bismillah
Bak ainun jariah berlapis madah
Pada petuah lama
Yang merah saga
         Yang kurik kundi
Yang indah bahasa
Yang baik budi
Yang esa hanyalah Ia
Yang Maha Pemberi
Bertayum pada sembah di ujung madah
Tertumbuk biduk di kelokkan
         Tertumbuk kata di pikirkan










“ Sulaman Aksara Tuan Petuah (3) “

Ucapan makna bersua
Di tasbih kalam bersangga
Akan madah, tiang dan sulaman
Ku bertadah menuang untaian
Terkadang tersilap kata
Hakikat tiada yang sempurna
               Melarung jua di anjungan
               Terpotong madah di untaian
               Terdorong kata minta di pulangkan
               Terdorong langkah minta di kembalikan
Pada madah yang terjirat
Tertuang wadah berkias
Bertampuk pada bagian
Tak lekang oleh panas
Dan tak lapuk akan hujan












 “ Bunga teratai “

Cipt : Iwan Sekop Darat

Rapi tertata elok menawan
Bunga teratai indah setaman
                       Di pilih sanggul putrid bangsawan
                       Bunga teratai indah setaman
Bernapas ayu cantek menawan
Bunga teratai indah setaman
                       Dijalin sutra cindai sulaman
                       Bunga teratai indah setaman
                                               Di jaga putri kayangan sayang
                                               Di rawat para dayang-dayang ( 2x )

Reff :
Baru sekejap mata memandang
Hati pun senang jiwa pun tenang
                       Laksana pungguk rindukan bulan
                       Angan merengkuh dalam hayalan








Sulaman Aksara tuan pujangga ( 1 )

Tinta pena
Merangkum untaian di tapal makna
Cinta  ada
Sebelum insan mengenal dunia
                       Tinta menengahi
                       Gemuruh puisi lama memahami
                       Cinta di anugrahi
                       Sebelum ruh tepatri dijiwa injani
Tinta memagari
Ruah madah bersoal hati
Cinta tetaplah abadi
Dari kisah-kisah yang di tinggal pergi
                       Cinta bersyarat dua pada maknanya
                       Diantara merana di  sela bahagia
Barang siapa memahami cinta
Niscaya kasih ia berupaya
                       Cinta dan sayang hendaklah seimbang
                       Disitulah letak hati berkumandang
Hendaklah menjaga rasa di badan
Dari bersiteru kepada soalan
                       Cinta pada yang bermuara
                       Kebahagiaan ia beroleh padanya










Sulaman Aksara tuan pujangga ( 2 )

  • Bertepi wadah baskara
  • Di rongga ruang-ruangnya
  • Meniti perumpamaan
Pahami madah aksara
Bersangga pada tiang-tiangnya
Jalinkan jadi sulaman
  • Tertuang di maknanya
  • Di talibun seluhur raga
  • Pada burindamlah berupayah
Hilang tentukan rimbahnya
Mati tentukan kuburnya
Dan terbenam tentukan lubuknya
  • Tian-tiang menjulang
  • Pada tampuk anjungan
  • Di wadah sebait itikat
Tiada kata pembilang
Tanpa satu soalan
Di saat madah terkait marifat













Sulaman Aksara tuan pujangga ( 3 )

Sembilu di tepi semak
Berkesah tuas tercipta
Tiada ilmu ku setinggi tegak
Dari madah berkias kata
                       Berkelah tuas tercipta
                       Meriang badan membara
                       Dari madah berkias kata
                       Pada tiang-tiang aksara
Meriang badan membara
Akan gurindam seumpama
Pada tiang-tiang aksara
Ku menyulam cindai laksamana
                       Akan gurindam seumpama
                       Diseloka kubersangga
                       Ku menyulam cindai laksamana
                       Di nakhoda fatwa pujangga
Diseloka kubersangga
Majas umpama ku sisipkan
Di nakhoda fatwa pujangga
Mengais kata yang di sisakan












“ Makna Bahasa “
Cipt : Iwan Sekop Darat

Ketam buluh kilang
Jangan resah bingung pulang
Antan patah, lesong hilang
Badan susah hidup malang          2x

Reff :
           Ingat pujangga lama
           Pusaka bangsa kita
           Indah makna bahasa
           Budaya bangsa kita

Kencur dalam rumah
Lidihnya di kepang dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik di kenang jua                       2x

Reff :
           Ingat pujangga lama
           Pusaka bangsa kita
           Indah makna bahasa
           Budaya bangsa kita










Sulaman Aksara Sang Penyair ( 1 )

Gemuruh dada
Berseluru rasa
Di saat hati angkat bicara
Pandang menghujam
Langkah menikam
Disaat kata tak lagi bekumandang
Kaut ku lemah
Rengkuhku tak berdaya
Peluh ku kebah
Di ucap yang terbata
Kemana ia
Ketika kubertanya
           Tak menerpa
           Tidak menyapa
Di reruntuhan makna
Di tiang yang sebentar lagi tumbang
Umur manusia
Hanya sekerat tali tambang
Pada laju ilmu dunia
Pudar syair ku berkumandang












Sulaman Aksara Sang Penyair ( 2 )

Ketika ketik kata menggeser nilai tinta
Tinta tak lagi angkat bicara
Ketika petuah di anggap isapan jempol semata
Petuah terngiang redup suara
Ketika pujangga di anggap terlalu banyak berkata-kata
Pujangga pun bungkam seribu bahasa
Ketika sair di anggap kata usang yang tak perlu di pikir
Penyair pun mati sebelum lahir
      Saat ini bagi mereka
      Hidup memandang realita
      Madah bahasa bak buku usang tiada guna
      Etimologi tidak perlu di pertanya
Berlomba mengejar lmu dunia
                       Adakah ilmumu berguna
                       Ketika paru-paru dunia
                       Kau sulap menjadi karya cipta
                       Adakah ilmumu berguna
                       Ketika raga dunia
                       Kau korek isi perutnya
Tanyakan pada peta apa itu paru-paru dunia
Tanyakan pada pujangga di mana letak raga dunia
Pahami pada puisi disaa tpenyair menggores tinta

Sulaman Aksara Sang Penyair ( 3 )

Ternahak ( kecewa )
Di ujung bibir bertamam tebu
Terhenyak
Di palung mata yang beradu
Tersentak
Temberang rasa bersiteru
Akar wangi harum indah
Ialah narwastu madah
Bak bizurai hilang kemudi
Bagai faqih hilang tasbih
Seujungku menjeram
Cadas desas menghantam
Hendak lurus bagai mistar
Pendayunglah yang bertukar
Berpegang pada yang kukuh
Berpijak pada yang tidak mampuh
Tawajuhlah pada ilmu yang bertasamuh
Di mana doa berseluruh
Di situ muara di labuh













“ Ampuni Ya Tuhan “
                                                                                                           Cipt : Iwan Sekop Darat

  Amn              G              Amn
Ku bersujud memuja namamu
  F                  G
Dengan segala doa
  E              Amn
Dan pengampunanmu
  F         G        Amn
Akan dosa-dosaku
  A                 E             Amn
Termenung terdiam membisu
  F          G          E         Amn
Teringat selalu masa laluku
  F                G            Amn
Yang kelam sepukat malam
   C                  G
Reff :    Ampuni segala dosaku
   F                  Amn
Padamu tuhan
   C                   G
Menyesal aku segalanya
  F             E
Akan dosaku
   F             Amn
Ampuni ya tuhan

( lagu ampuni ya tuhan dapat di lihat dari you tube di pencarian iwan sekop darat )





           Berbicara tentang alam dan seisinya, ingatlah pada penciptanya yang mengatur alam semesta, pahami sifat-sifanya, dari yang semula ada, setidaknya mengerti atau tidak sama sekali, namun tidak dapat dipungkiri yang Esa tetap hakiki.
Di mulai dengan penyebutnya, ragam bentuk dalam doa, di akhir salam berharap dikabulkan, akan madah aksara yang bersandar pada tiang-tiangnya dengan sulaman petuah menyebutnya.

            “ kemana muara hati
              Di saat layar terkembang
              Perahu yang terlambat siap berlayar
              Mengarungi lautan tak bertepi
              Sekerat pudar bertaut kiambang
              Dihulu bermunajat dimana zakiah terpancar
              Hendaklah bertafakur
              Sebagaimana sirih pulang ke gagangnya
              Sebagaimana pinang pulang ketampuknya “

Di mulai dengan penyebutnya, ragam bentuk dan doa diakhir salam berharap dikabulkan, akan madah askara yang bersandar pada tiang-tiang dengan sulaman pujangga menjalinya


                    “ pelajari ilmu dunia
                        Seperti hidup lama adanya
                        Pahami ilmu agama
                        Laksana esok tidak bernyawa
Melenggang tari payung
Bertukar langkah menjunjung
Bergelang tanpa penyambung
Melingkar tiada ujung
                        Bertukar langkah menjunjung
                        Dihati gurindam tari
                        Melingkar tiada ujung
                        Memagari dalam diri

Dihati gurindam tari
Terpancar yang dihayati
Memagari dalam diri
Belajar dari yang hakiki
                        Terpancar yang dihayati
                        Pahami ditafakur madah
                        Belajar yang hakiki
                        Semua jadi menghatur sembah “


Di mulai dengan penyebutnya, ragam bentuk dlm doa diakhir salam berharap dikabulkan, akan madah askara yang bersandar pada tiang-tiang dengan sulaman penyair angkat bicara

tuhan…
Satu doa tersisa
Di celah iman
Rahmat dan karunia
Tuhan
Terkadang aku lupa
Tak jarang aku mengingat
Bahwa engkau adanya
Berkuasa ilmu hayat
Tuhan …
Tergelincir ku terpedaya
Tergoda kilau dunia
Harta benda bertahta
Di saat itu aku buta
                        Meraba
                        Terbata
Baru kusadari
Engkau yang paling mulia “

Berkisah akan langit, seumpama mega, laksana baskara di lembayung jenja merakit, di temaram malam berjua, di sinar surya terang menyala, pada bulan yang mengambang, di saat matahari karam, pada bintang yang bertaburan, disaat awan yang berselimut terbenam, apakah perumpamaan darinya, pada mada aksara yang bersangga di tiang-tiang dengan sulaman petuah mengibaratkan.

“ sebutlah satu diantaranya
Menjadi petuah berlapis umpama
Siratkan satu di antaranya
Menjadi makna madah aksara
Bagai bulan ku mengibaratnya
Bak pungguk merindukan cahyanya
Bagai surya ku mngisyaratkan
Hilang temaram terbit sinaran “

Dengan sulaman pujangga menyelaraskan
“ seumpama bertautnya kiambang
Mencairlah doa gurindam
Selaksa bulan yang mengambang
Mentarilah yang tenggelam
Mencairlah doa gurindam
Berbagi sekat temaram
Mentarilah yang tenggelam
Pelangi pun ikut terbenam
            Berbagi sekat temaram
            Keremangan yang bersepai
            Pelangi pun ikut terbenam
            Tanda malam belum usai “

Diantara siang malam terdapat hak padanya, hak dimana ia mementulkan cahaya, pada semua diantaranya tersusun mada askara yang bersangga pada tiang-tiangnya di saat penyair menyulammnya.




            “ senjakala di ujung mega rona jingga
            Hujan menyeluruh mengecup dada bumi
            Nuansa tercipta pada suasana rengek manja
Di situ cakrawala tampak pelangi
Petang hamper usang namun malam belum menjelang
Pandang satu-satu di ruang magrib azan bersuara
O… sebentar lagi malam akan datang
Di jemput sang petang d pintu muara
           Malam berkumandang bulan bintang bertasbih
           Hujan pasti datang tak peduli hak dari padanya
           Terkadang bintang terbunuh tak jarang bulan tersembelih
           Di saat gerhana aura menutup sinarannya
Malam keperaduan menjemput pagi berselang
Terpelanting di kaki langit tapak bumi
Aku menunggu pagi aku menungggu malam aku menunggu siang
Tak jarang petang aku tetap menanti “

Berbicara tentang isi alam dunia banyak makna yang tersirat dari indah madah aksara,  mengibaratkan pada           suatau beda mewakili maksud hati, mengumpamakan pada letak mewakili santun budi.
Sebagaiman bunga, banyak umpama oleh aksaranya dirangkai menyambung rasa dan jika berkisah tentang bunga ia merangkai madah aksara bersidekap pada tiang-tiangnya dengan sulaman aksara petuah mengibaratkan
     “ bagai bunga kembang tak jadi
Seumpama belajar tiada genap hanya separoh hati
Jangan merasa bangga
Ketika sakura tumbuh indah di nusantara
Jangan merasa terpatri
Ketika tulip bersemi di bumi pertiwi
Semailah melati pada renungan jiwa
Dimana ia tahu putihnya menghapus dosa
Menuai melati di pancaran hati
Harumkan ia di seluruh penjuru negeri “
Seumpama bunga pada madah aksara bertampuk di antara tiang-tiangnya di jalin dengan sulaman pujangga bertalibun.
“ ku raih ragu tepung tawar
Selaseh lah yang terpatri
Di madah aksara bermakna seloka
Semerah rindu bagai mawar
Seputih kasih laksana melati
Seindah cerita selaksa seroja
Melarung laut tak bertepi
Di haluan petuah bernakhoda
Memaknai rupa nuansa hati
Tak jarang tertusuk duri
Terkadang putih ternoda
Tak terkecuali rasa tersakiti, “

Bunga ……yang indah di pandang yang layu di tangan, kumbang datang kumbang pergi menghisap madu bunga layu diantara madah aksara berlapis kias di ujung-ujung tiang makna pun bertuas pada sulaman aksaranya.
Penyair merangkai dalam puisi bebas
“ bunga rinduku layu
Layu di pucuk sebelum berkelopak
Bunga rinduku tak lagi mekar
Tak lagi mekar di putik yang memudar
Bunga rinduku tak bertuan
Tak bertuan di rapuhnya dahan
Bunga rinduku tak berjembalang
Tak berjembalang di ujung batang
Bunga rinduku terbias
Terbias di akar tanpa tuas
Bunga rinduku tertahan
Tertahan di rimbun dedaunan
Bunga rinduku mati
Mati selagi mekar tak jadi “

Bunga selalu indah untuk di untai dalam kata, mewakili rasa, harumnya menyirat suasana, warnanya menyirat nuansa, seumpama ia di ibaratkan selaksa ia di nubuatkan. Pada sairnya ingatlah maknanya pada rupa,sehingga tersambung nada, dari gubahan lagu beritme alunan makna, kisahnya di rangkum dalam cerita seperti pesona seroja dan melati hati ( untuk lagu pesona seroja terdapat di novel tentang rindu karya iwan sekopdarat ), ( untuk lagu melati hati terdapat di buku fatwa cinta )
Adapun lirik sair aslinya sebelum ia di gubah dalam satu lagu sebagai berikut :
“ Pesona seroja dambaan insan manusia
Bak kembang seroja
Mewangi indah engkau di puja
Seharum nama, berhias kata
Bertuas rasa, mekar di jiwa
Oh dikau kembang seroja
Pesona seroja dambaan insan manusia
Seindah duhai pesona
Melerai madah laksana pujangga
Gurindam do’a beruas masa
Berbalas rupa penawar bisa
Seumpama bunga engkau mekar di jiwa
Laksana seroja engkau di puja
Indahmu bagai sutera
Bertutur bahasa engkau mempesona
Bagai gelatik menitidi dahan
Berseri seroja di tepi untaian
Tidak lah cantik dan rupa yang jadi ukuran
Budi pekertilah yang membuat tertawan
Mungkin bunga mekar dan layu di taman
Silih berganti kembang di dalam rangkaian
Duhai pancaran pesona mu sang seroja
Tetaplah engkau selalu pujaan “




“ Selembutnya sutera pagi
Engkau menawan hati
Semerbak harum yang mewangi
Kembang dan mekar selalu di hati
Putihmu hai melati
Indah mu bagai pelangi
Dari warna pancaran diri
Setangkai namamu bagai peri
Terkadang tahukah kau melati
Ada hati tulus menyintai
Terkadang tahukah kau melati
Akan harum yang telah engkau beri
Dalam hidup selalu bersemi kan abadi akan namamu yang selalu di hati”

Berbicara tentang nagari berhati-hati menengahi agar tidak celaka nanti, sastra tegak satra tidak bercampuran aturan negeri, jika di pertanya hukum tiada salah terkadang orang yang serakah akan kisah-kisah negeri ketika madah aksara angkat bicara bertongkat pada tiang-tiangnya dengan seilaman petuah memaparkanya
“ Hendak lah berjaga-jaga
Santun berkata budi bahasa
Menengahi masalah tahta
Seolah benar seumpama samar
Yang benar tak jarang di pertukar
Yang salah yang sering diperdengar
Hukum sepantun fatwa
Maknanya seturun sabda
Di buat selagi jadi
Jadi aturan memahami
Segelintir tidak peduli
Beraanggap ilmunya melebihi
Kebal rasa tak sentuh api
Aturan hanya perlu di takuti
Dari yang kurang makan nasi
Sebagaimana
Karam Kampar oleh kuantan
Karam sambal oleh belacan
Hendaklah jangan terulang
Berpada
Ke bukit sama mendaki
Kelurah sama menurun
Bersama menjaga negeri
Meruahnya hidup rukun

Dari kisah-kisah negeri bertalih madah aksara mengikat tiang-tiangnya pada sulaman pujangga bergurindam.
“ Jika ingin menjaga negeri
Jagalah anak semula ia bisaberdiri
Barang siapa yang ikut menjaga negeri
Taulah ia hakekat yang terpatri
Hendak lah dengan ilmu menuntun negeri
Niscaya nafsu tahu ia memagari
Dengan kuasa menipu yang terpedaya
Di situ letak ilmu tiada bersandar pada agama
Dengan kuasa menimbun harta benda
Ia lah orang yang ditunggangi nafsu dunia
Sebagaimana menunjuk yang terpilih
Lihat bentuk budi bahasa dan kerja tiada pamrih
Tak jarang terkadang lupa
Ingatlah hakikat yang tiada sempurna
Jika yang di beri kuasa menjunjung janji
Aman sentosa damai negeri
Jika yang di beri kuasa mengindah janji
Alamat tak sempurna wadah negeri
Jika yang di beri kuasa melanggar janji
Di situ awal hancur negeri “

Syair hanya mengikuti dari kata-kata hati. Ketika di tanya soalan negeri tiada ia menggenapi pada sisa bait di penghujung tinta dari rangkaian madah aksara berpeluk pada tiang-tiang di sulaman penyair tergenang.
“ kami sudah kenyang
Kenyang sebelum makan
Kenyang oleh suara, suara dari aksara yang sengaja di lupa
Kami pun sudah tak dahaga
Walau minum belum terasa
Tak dahaga oleh angan belaka, angan dari kata yang di anggap percuma
Kemana berpijak janji
Dimana pembulat hati
Kamipun tak tahu pasti
Suara kami mati
Angan terhianati
Diterjang puing-puing deru
Deru yang berkumandang
Berkumandang tiada bersahut
Seumpama biduk lalu kiambang bertaut
Berharap di ujung titian hati
Kemakmuran menyelimuti negeri “

Berbicara tentang cinta, tentang rasa, maka hatilah yang angkat bicara, ragam bentuk cinta dari segimana ia memahaminya, cintai pada yang berhakikat.
Di mulai dari badan sekarat untuk mngenal sang penguasa jagat.
Dari usapan lembut cinta bunda yang tak pernah terhenti kata, pada mahabbah atas anugerah,anugerah yang hakiki, anugerah bertangkup misteri di ujung bermunajat, menghantar do’a untuk pintu-pintu sorga di akhirat.
Sebagaimana cinta bunda di perdengar dari madah aksara yang bertumpu pada tiang-tiangnya ingatlah petuah menyulamnya.
“ Dari kasih bunda
Tinta di simak di ujung tadah
Selaseh tabur di janjang nampan
Cinta anak sepanjang galah
Kasih ibu sepanjang jalan
Dari cinta bunda
Madah lurus, syair di dendang
Tiada putus, air di cincang
Dari pengorbanannya
Laksana matahari
Yang tiada lelah menyinari
Bersangga madah di diri
Bertadah ikhlasnya memberi “

Sebagaimana cinta bunda, kasih yang tiada tara di titipkan zat yang maha tinggidari padanya tiap-tiap bagian mahluk yang di ciptakan, kasih bunda tetaplah sama, belajarlah dari yang buas selagi buas ia tak memangsa anak sendiri. Lihatlah dari yang bertunas, sekalipun tiada ia bergerak dengan rimbunnya menaungi sang tunas, rasakan dari usapan hawa insani, laksana air kasihnya mengalir dari madah aksara bersedekap di tiang-tiangnya. Dengarlah saat pujangga menyulamnya.
“ Dari bintan ke madinah
Jauh sudah jalan ku rasa
Dari tangan menengadah
Kasih bunda sepanjang masa
Senada tiang sehisap tatap
Yang bertanya dan yang menjawab
Kepada ruang tiap harap
Do’a bunda yang bermujarab
Bersanggah minta beroleh hati
Hati sebuah yang tersemat
Bertanya cinta kasih abadi
Dari bundalah yang berhakikat
Bertangga di ruas mata
Palung di mata selisih tanda
Berharga di antara emas permata
Paling berharga kasih bunda
Senukil hikayat kasih bunda, menebar di penjuru dunia di saat madah aksara merajut rasa dari tiang-tiangnya disulam dalam syair.

“ Cinta bunda
Sungguh ku berseluruh
Dari bergemuruh
Aku simpuh
Teman usapan tangan diam
Tidak kasih engkau tahan
Di ayun, merangkak, berdiri dan berjalan
Dengan kasih tiada soalan
Apa ucap kali ku kata
Ketika mata pertama melihat dunia
Tiada lain hanya mam,,,,,
Apa tangis kali suara
Ketika terlahir di dunia
Walau sengau aksara kata
Tiada lain hanya mma ( mngaa )

Dan jika kita berkisah tentangnya, tiada sengketa diantaranya atas apa yang di anugerahinya dengan segala sifat itu lah yang berhakikatdan atas  raja-raja darinya dialah raja maha tunggal penguasa langit dan buni dari madah aksara yang berpedoman pada tiang-tiangnya. Dengarlah petuah menyulamkan aksara atas maknanya.
“ Dengarlah dari kisah-kisah terdahulu
Memikul makna-makna di bahu
Di pilih tiada meragu
Dengan makna yang di rasa tahu
Bermuara pada yang Satu
Seumpama ilmu membuatnya tegak
Tegaklah pada yang sang rahman
Selaksa kasih menjadikannya berdiri
Berdirilah pada titian sang rahim
Tiada penentu pinta
Pinta dari pintu-pintu sesat
Setangkup merangkum do’a
Do’a terpatri di penguasa sang jagat “
Seindah nama pada sifat-sifatnya menjadikan tawaduk yang memahaminya, bertasamuh mempelajarinya berharap ridho dari anugerah atas karunia yang tiada berselah di saat madah aksara terngiang yang berpedoman pada tiang-tiangnya dengarlah pujangga menyulamnya.
• maka tersibak kata
• berbilah bagai laksana
• di ujung raga ruang
• dari soalan yang terpatri
Jika hendak meminta
Pintalah dari yang berkuasa
Yang menjaga siang
Yang menghadirkan matahari
Maka tersibak kata
Berbilah bagai laksana
Di ujung raga ruang
Menentramkan sanubari
Jika hendak meminta
Pintalah dari yang berkuasa
Yang menjaga petang
Yang menenggelamkan matahari
Maka tersibak kata
Berbilah di ujung aksara
Setara temaram
Bergagang sinaran seri untaian
Jika hendak meminta
Pintalah dari yang berkuasa
Yang menjaga malam
Yang mengeluarkan bulan dari peraduan
Maka tersibak kata
Berbilah di sarung selaksa
Di ujung dermaga berlabuh
Bertanam untaian bertiang selenoang
Jika hendak meminta
Pintalah dari yang berkuasa
Yang menjagakan subuh
Membenarkan bulan yang mengambang

Ucap tiada habis pada kata, tetap tiada serna pada warna, langkah pun tiada terhenti pada tangga, selagi berusaha, jalan terus terbuka. Selagi di iring doa hidayah mudahan ia terima, pada makna yang menggunakan nama, nama dari segala atas nama, ialah sang pencipta sebagai mana madah aksara yang memujinya, bersimpuh di tiang-tiangnya, merangkaikan sulaman dengarlah penyair berkata.

“ ku bertanya pada mereka
Diaman tuhan ?
Mereka bungkam seribu bahasa
Mereka diam dalam hati pun bertanya
Satu, satu diam
Satu, satu bungkam
Ragu cekam bisu suara
Dengan akal aku bertanya tuhan
Akal akan ilmu yang di lebihkan dari mahluknya
Dengan akal melihat matahari, terang benderang siang
Memancarkan siang menaungi bumi
Inilah tuhan, dengan sinar ia menerangi
Taklama matahari terpelanting di kaki langit
Di tapak mega tenggelam tiada bangkit
Dengan akal aku menjawab
Tuhan tudak terpelanting dan tuhan tidak tenggelam
Dengan akal aku melihat bulan, di ujung temaram
Dengan cahayanya menyelimuti sang malam
Inilah tuhan, dengan cahaya menunjuk jalan
Tak lama bulan pun usang, terbenam setelah mengambang
Kembai keperaduan setelah berselang
Dengan akal aku menjawab
Tuhan tidak usang, mengambang dan tuhan tidak terbenam
Kubertanya pada hati
Dimana tuhan ?
Hati tidak diam ia mengisyaratkan
Dari yang dilebikan di ciptakan
Ketahui olehmu dari ilmu
Gali dengan akal pikiran
Maka dengan akal aku menjawab
Aku tidak bertuhan dengan suatu yang terpelanting dan tenggelam
Aku juga tidak bertuhan dengan suatu yang usang mengambang bahkan terbenam
Aku bertuhan, kepada yang mengatur keduanya dan semuanya
Aku bertuhan, kepada yang menerbitkan dan yang menenggelamkan
Aku bertuhan, kepada yang memunculkan dan yang membenamkan
Aku bertuhan, kepada yang menjaga siang dan malam
Dan aku bertuhan,
Kepada yang memberi anugrah atasnya
Akan ilmu, akal dan pikiran
Dari situ aku awal mengenal tuhan
Tuhan yang memberi roh-roh pada ihsan “

            Masih dalam soalan yang di anugrahinnya tentang makna yang menaungi dunia, makna dari mata turun ke hati makna dari pandang pertama, akan dua hati satu makna, dengarlah petuah mengumpamakan pada madah aksara yang bersandar pada tiang-tiangnya, bagai sutra menyulamnya.

 “ Cinta ialah cinta
            Dari pandang pertama
            Dari rasa suka
            Dari budi bahasa
            Bagi yang menyinta
            Dunia bagai milik berdua
            Semua warna indah terasa
            Bagi yang teraniaya oleh cinta
            Nasi di makan rasa sekam
            Berjualan bagai di atas bara
            Tatapan kosong hampa nuansa
            Nuansa dari pijaran cinta
            Kenali cinta pada sifatnya
            Agar dapat memahaminya

Dari sulaman petuah, pujangga pun merajutnya, merajud pada madah aksara di getaran tiang-tiangnya dengar juga fatwa darinyta

            “ selaksa di kerat kata
            Terpatri menerapkannya
            Rasa tak terlihat mata
            Dengan hati menatapnya
                                    Selaksa di bentuk kata
                                    Terpatri sampiran nya
`                                   rasa tidak berbentuk benda
                                    Dengan hati mengukirnya
            Selaksa bersangga dari yang mungkin
            Hak meniti kecapi nada
            Rasa tidak menerpa bagai angin
            Dengan hati meresapinya
                                    Selaksa mercusuar dimuara
                                    Bak meniti telik jadinya
                     &nKsp;              Rasa tak terdengar satu suara
                                    Dengan hati membisikkannya

            Selaksa menjulang tinggi semeru
            Berhati-hati mendakinya
            Rasa tak tercium bagai bau
            Dengan hati memaknainya “

            Untuk maknanya akan uraian yang di rasa sair berembuk kata, kata dati madah aksara bersikukuh pada tiang-tiang nya, dengan selamat penyair merangkainya,

            “ palung matamu aku suka
            Bening kaca
            Nuansa rasa
            Lekuk bibirmu aku suka
            Gurat ucap
            Tanapa ragu
            Lirih hatimu aku suka
            Bertasbih
            Tak ternoda
            Aku bagai pengelana dari cinta
            Dari palung matamu
            Aku berteduh
            Aku bagai mengembara dari cinta
            Di gurat bibirmu
            Aku berlabuh
            Aku bagai musafir dari cinta
            Di ujung tasbih hati mu
            Aku merangkum doa ,

            Dari maknanya,kesemuannya berharap impian nyata, melabuhkan biduk, bersandar di dermaga, bertolak haluan, mengayuhnya bersama dalam satu makna badai gelombang yang menghadang, menerjang, mudahan dapat melewatinya, semoga tiara anjungan tidak patah, layar terus terkembang, mengarungi lautan makna, pada samudra rasa yang membentang. Dari semua pengharapan yang dirangkai madah aksara bernada pada tiang-tiang nya dengan dengan sulaman aksara megubahnya, akan titian nada tercipta lagu yang mewaliki rasa.


“ Temani Mimpiku “

                                                                                                           Cipt : Iwan Sekop Darat

     D my           Amy
Engkau selalu ku puja
   B
Dengan segenap rasaku

   G             D my        
Selalu didalam dada
Amy
Sejuta cinta kau bawa
                        B
Untukmu kasih tercinta
G       D my        
Temani hari ceria


                   Amy
Saat indah terasa
            B
Kita lewati bersama
       G             D my
Berdua untuk selamanya
                          B            Amy   B
                       Walau kau jauh dariku
                         Amy        G           D my
                       Akan ku jaga suci cintamu

Reff :
     D my              Amy           B
Tetaplah bersama, arungi samudra
G                     D my
Didalam hati hanya namamu
Amy                                        B
Jangan terpisahkan cobaan menghadang
G                  D my
Kita lewati kasih tersayang
     C my              Amy                B
Dan jangan kau pergi tinggalkan diriku
B          G         D my           
Di dalam hati hanya namamu
     D my             Amy           B
Peluklah diriku temani mimpiku
       G                     D my
Kita lewati kasih tersayang

( lagu temani mimpiku dapat di lihat di you tube di pencarian iwan sekop darat )

            Bagi yang berharap bahagia tak jarang di tengah perjalanan jadi kecewa, kecewa oleh makna, yang membuat hati merana, merana karena cinta, merana oleh rasa, memang banyak yang berkata , cinta tak selamanya harus memiliki, namun untuk mengikhlaskan itu semuaterlalu sulit untuk di jalani, menjalani dalam kepedihan hati yang tersakiti, pada madah aksara yang satu ini beralasan tiang-tiangnya,  dari sulaman gubahan aksara dengarlah satu lagu yang tercipta mewakili dari jiwa yang merana.

“ Malang Nasibku “

                                                                                                              Cipt : Iwan Sekop Darat

C         G         C
Aduhai malang nasibku
      C     G      C
Aduhai terasa pilu
C     G      F      G     C
Kekasih hati, kini tlah pergi
C      G        G         C
tambatan jiwa, berpindah hati
      C     G      C
Mengapa jadi begini
      C     G      C
Diriku kini sendiri
C     G      F      G     C
Berteman mimpi disiang hari
C     G      F      G     C
Daku terdiam melamun kini

Reff :
                             C     G      F      G        C
                             Ku tau kau berpindah hati
                             C        G        F        G       C
                              Tak sanggup hidup terus begini
                             C          F      G              C
                             Biar ku kini membawa luka
                             C        G       F       G        C
                             Moga tak goyah iman di dada
(lagu malang nasibku dapat di lihat di you tube di pencarian iwan sekop darat )

            Dari diantaranya, ada kala rasa harus memiliki pada maknanya, menyakiti dengan disakiti baik di sengaja ataupun tidak, berpulang kembali pada rasa atas ihtiar, ketika rasa memilih diharapkan pada pilihan yang sulit, bagaimanakah buah simalakamah, di makan mati bapak tidak di makan mati mamak biarkan hatilah yang tergamak, dengar jua pada gubahan, satu lagu yang tercipta kutipan dari madah aksara yang bersangga di tiang-tiangnya dengan keteguhan menyulam, menentukan pilihan dari rasa yang memilih.

“ Ku Bagi Dua Kasih “

                                                                                                            Cipt : Iwan Sekop Darat

    A        F
Baru ku sadari

 G      E       A
cinta harus memilih
                       F
Mungkunkah ku jalani
   G     E     A
Kasih dua hati
     G               D                     A
Tak sanggupku, melupakan yang pertama
       F           E               A
Tak relaku, lepaskan keduanya
      E        D            E
Cintaku, terpaut di dua hati

Reff :
                A
Sanggupkah mungkinkah
               D
Ku bagi dua kasih
               E
Sanggupkah, mungkinkah
             A mn          E
Ku tinggalkan semua
             A mn
Tak ingin tak rela
             D mn
Keduanya terluka
      F              E            A mn
Di saat kasih harus memilih

                  E             A mn                    D mn
Biarku mencoba melupakan semua
                E               A mn                E
            Biarku mencoba merelakan semua
                         A mn                              D mn
            Simpanlah pendamlah kisah kasih asmara   
                F            E              A mn                
            Biarkan hatiku yang mengala

(lagu ku bagi dua kasih dapat di lihat di you tube di pencarian iwan sekop darat )

            Akan kehebatan cinta,  di uji di kala maut yang memisahkan diri, yang di tinggal tiada berniat mencari pengganti, menetapkan kembali pilihan hati di saat di tinggal pergi, pergi untuk tidak kembali, jika ia pecinta sejati maka abadilah kisah hati dengan tidak ia mencari pengganti berharap kelak di pertemukan nanti, didalam hatiku satu lagu tercipta mewakili rasa-rasa yang sejati di saat cinta di uji, dari hikayat diri, lagu tersebut di beri judul “ ku mengenang “ ( untuk lebih jelasnya mengetahui lirik lagu ku mengenang, anda bisa membacanya di buku fatwa cinta karya iwan sekop darat )
            Adapun lirik dari ku mengenang telah di jadur dalam madah aksara bertiang sukaman yang merajutnya lewat puisi.

            “ sendiri aku mengenang
            Mengenang rasa cinta yang tidak akan mati
            Sendiri aku mengenang
            Mengenang engkau yang tak perna kembali
            Rangkum satu tepak doa
            Semoga kau tenang di alam sana
            Aku berharap
            Damai hatimu disisinya
            Aku berharap
            Tenanglah dikau berteman bidadari
            Kenangan ka ku simpan dalam hati
            Kenangan yang abadi semoga kan selalu suci
            Untuk kau yang tak pernah kembali
            Dari hati ku tulis puisi
            Puisi dari cinta yang tak perna mati
            Puisi dari pecinta sehati “

Kembali kita padu seakan alam dan seisinya, jika kita berbicara tentang samudra,tentang lautan, banyak makna dalam untaian, untuk merangkaikan, pada perumpamaan, selalu di ibaratkan sebagaimana ia diucapkan penghalus budi bahasa, penyama letak, dari madah aksara yang berakar pada tiang-tiangnya dengan sulaman dengarlah petuah mengumpamakan.


                        “ hangus tiada berapi
                        Karam tiada berair
                        Rasa hancur lebur di hati
                        Bagai tinta tak bersair
Berjalan sampai kebatas
Berlayar sampai kepulau
Kerjakan dari tunas
Biar hasil tidak galau
                        Besar berudu di kubangan
                        Besar buaya dilautan
                        Bertingkah laku dilingkungan
                        Agar tercipta kemapanan
            Dengar jua fatwa pujangga yang mengumpamakan laut, dan yang mencakup di dalamnya memiliki maksud kata yang di rangkai dalam madah aksara terpatri di tiang-tiangnya bak sulaman ia menjalinya
“ maka bedil pertanda awal
Senapanlah yang tersebut
Jikalau kail hanya sejengkal
Jangan di kira dalamnya laut
Temaram berkabut yang disibak
Temaram yang sunyi kan merayu
Dalamnya laut dapat ditebak
Dalamnya hati tiada tahu
Beri penerang disebut
Tertahan kembang seikat
Dari terangnya laut
Tersimpaan gelombang hebat
Seumpama talibun dan gurindam
Maka bersyair di untain
Percuma menabur garam
Pada air di lautan
Jikalau lerai tali di raih
Sematkan saja sampai mengenang
Jikalau pandai meniti buih
Selamat badan sampai ke seberang
            Seindah petuah yang merangkainya, seteduh fatwa pujangga menyangga katanya, bacalah ketika penyair menulisnya dari madah aksara dari tiang-tiangnya dan dari sulamannya.
“ lautan….
Selagi aku di tengah
Raguku menentu kiblat
Lautan..
Bak cabaran diri dalam wadah
Tahulah aku yang sekarat
Lautan ,,,
Mengarungimu tiada lelah
Mengajariku akan akibat
Lautan…
Semampuh ilmu menela’ah
Untuk mencari selamat
Lautan,,,,
Badai gelmbanng yang berselah
Hidupku mencekam sangat
Lautan,,,
Sombong angkuh wajah tengadah
Di wadahmu tiada hebat
Lautan,,,
Sekalipun makna tegak berbilah
Tetaplah yang mutlak penguasa jagat “
Sebagaimana petuah…
Berjalan ber-nan tuan, berlayar bernakhoda
Berjalan peliharalah kaki, berkata pelihara lidah
Berjalan sampai ke batas, berlayar sampai ke pulau
Berjalan menghadap surut, berkata sepatah di piker
Berjalan tidak sedang selangkah, berkata tidak sedang sepatah “

Pada tiap-tiap bagian dengarlah pujangga mengartikannya
“ rebana tepuk bergetar
Gitar jua menjalin dawai
Kepada hal yang besar
Carilah pemimpin yang piawai
Sekuku di ruas hasta
Setangkup di sibak kata
Tingkah laku harus di jaga
Agar hidup tidak bersengketa
Berharap-harap angan
Tetaplah ragu yang di soal
Pada tiap-tiap bagian
Hitunglah olehmu dari yang awal
Terkenang rupa di tatapan mata
Dan termangu di tepi nuansa
Terkadang kata menyimpan dusta
Jaga olehmu budi bahasa
Sematkan kancing peniti
Agar ia beruang jadi
Ucapkan dengan hati
Agar tiada di ulang lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar