KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alahamdulillah
puji dan syukur kehadirat Allah SWT saya ucapkan atas selesainya penulisan buku
ini. Tanpa ridho dan petunjuk dari-Nya mustahil buku ini dapat dirampungkan.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman – teman yang membantu dalam
menyelesaikan buku ini.
Buku
yang bercerita akan luapan makna untaian kata laksana menyulam anyaman kata
seru deru aksara dalam madah. BUMI SEGANTANG LADA.
Kisaran, Maret 2013
Penulis
Iwan
Sekopdarat
“ HELAI HATI “
Cipt.
Iwan Sekopdarat
Sebuah kisah
usang
Berdebu diam
dikalbu
Berteman gitar,
jerit memudar
Dibalik awan
kelabu
Sepenggal
angan hilang
Diterik
mentari membiru
Menyusuri
jalan, diujung trotoar
Desah
mimpi yang berlalu
Ratap rembulan, riak buih laut yang biru
Harap sang bintang
Pada
malam menghela rindu
REFF:
Helai
hati meniti angan
Dipersimpangan
jalan
Dari
mimpi yang hilang
Aku
kenang
Derai
rindu dibalik awan
Tergenang
di lautan
Satu
bayang diujung jalan
Rinduku
mengambang
“ AKHIR PERJALANAN “
Bergegaslah !
Selagi pagi
masih ada
Mentari di timur
belum seberapa
Sang surya menghangatkan
dunia
Waktu banyak
tersisa
Isi yang berguna
….. dengan upaya
Dan berlari !.....
Disaat mentari kian meninggi
Teriknya membakar bumi
Geliat tapak kaki
Waktu
tak pernah berhenti
Berputar memacu diri …..
Coba mengerti
Diakhir perjalanan !
Semburat rona
jingga menawan
Menyongsong
cakrawala merajut awan
Sang surya
kembali tertelan
Lembayung senja
perlahan
Menanti pulang
“ ANULIR “
Kau kejang
Menahan erang
Menampik bimbang
Gelisah resah
Debar desah
Gemuruh
gundah
Malam panjang
Gemericik
binatang
Bulan
terpanggang
Itu mata merah
Bukan marah
Bukan gerah
Berdebar rasa
Bukan cinta
Bukan asmara
Itu nadi berhenti
Bukan mati
Bukan tak lagi
Ditengah tak
berarti
Memeluk mimpi
“ SAMPAI ”
Sampai merpati
berhenti menyepak sayap
Sampai suara
tinggal gema gaung dan sayup
Sampai kata yang
belum sampat ditulis siap
Sampai rintik
hujan membasahi diri basah kuyup
Sampai malam yang belum sanggup
merayap
Sampai air
berhenti untuk mengalir
Sampai rasa
berdetak diujung nadir
Sampai ucap
terpenggal bibir
Sampai usia
pejalanan musafir
Sampai pagi yang bergulir
Sampai gerimis
membasahi bumi tiada henti
Sampai jiwa
mengharap kemurahan hati
Sampai desah
dipelupuk mata menari
Sampai sinar
terik membakar diri
Sampai siang yang makin meninggi
Malam belum
pergi
Dan pagi belum
berganti
Siang masih
ditepi
Senja apalagi
Aku hampa sunyi
“ PANTUN SIMPUL “
Andai, andai
angan membilang
Membilang seru
berselang – selang
Saat ku lerai
rasa yang bimbang
Yang dirindu tak
kunjung datang
Meniti pualam jati
Jati lurus tidak berakar
Bagi api didalam peti
Peti hangus kayu terbakar
Membilang seru
berselang –selang
Madah dipeluk
dibilah angan
Yang dirindu tak
kunjung datang
Adakah bertepuk
sebelah tangan
Jati lurus tak berakar
Disaat mengikat tali
Peti hangus kayu tebakar
Berharap dapat kembali
Madah dipeluk
dibilah angan
Selaksa niat
dikiaskan
Adakah bertepuk
sebelah tangan
Saat rasa tak
terbalaskan
Disaat mengikat tali
Suasa bersepuh tepi
Berharap dapat kembali
Hanya bisa merengkuh mimpi
Selaksa niat
dikiaskan
Suasa bersepuh
tepi
Saat rasa tak
terbalaskan
Hanya bisa
merengkuh mimpi
“ BEKU “
Aku lupa berapa
detik yang pernah ku lalui bersamamu
Aku tak ingat
berapa menit
Yang pernah kujalani
bersamamu
Aku tak sadar
berapa jam
Telah menemanimu
Aku tak tau
berapa hari
Minggu
Bulan
Bahkan Tahun
Bersamamu
Aku lupa
Tak ingat
Tak sadar
Tak tau
Maaf ..…! maaf
dengan semua itu
Bibir ini bisu
Lidah ini kelu
Ucap kaku
Cinta beku
“ PUPUS “
Ku usung cinta
dilaut biru
Pupus…..
Ku kunjung rindu
diawan semu
Pupus…..
Cintaku
hanyut tak ketemu
Rinduku
berserakan bagai debu
Ku lukis cinta dilembayung senja
Pupus…..
Ku tukis rindu disemburat cakrawala
Pupus
Cintaku
gamang malam tiba
Rinduku
sirna hilang cahaya
Ku ukir cinta dibelahan katulistiwa
Pupus…..
Ku pahat rindu diluasnya angkasa
Pupus…..
Cintaku
patah tinggal nyawa
Rinduku
terkelupas hanya sisa
Pupus…..
“ KAU KAH ITU “
Kau kah itu ?
Mengintip dari
jendela
Jendela hatiku
Kau kah itu ?
Mengetuk pintu
Pintu hatiku
Kau kah itu ?
Menghias lamunan
Mimpi dan angan
Kau kah itu ?
Bagai bayang
Slalu
terbayang
Kau
kah itu ?
Melempar pandang
Aku terkenang
Kau kah itu ?
Yang datang
Disaat aku bimbang
“ LORONG HATI “
Sudut lorong
gelap pengap
Sunyi senyap
Tiada merayap
Atau mengendap
Sela ruang hampa suara
Sepi ngelangsa
Tak hanya
Tinggal cuma
Celah sinar
hilang kini
Remang
menjadi
Masa
berganti
Waktu
tak pasti
Yang
dilorong hati
Yang
diruang rasa
Dan
yang di celah kalbu
Susah sungguh
Meniti peluh
“ ITU DULU “
Itu dulu
Selagi merajut
mimpi bersamamu
Itu dulu
Selagi menyulam
angan denganmu
Itu dulu, dan itu dulu
Kini tak lagi…..
Tak lagi …..
Merajut mimpi
Tak lagi
Menyulam angan
Tinggal mimpi, tenggelam angan
Itu dulu
Saat indah
bersamamu
“ DIMANA ENGKAU “
Dimana engkau ?
Disaat aku
sangat rapuh
Dimana engkau ?
Disaat aku
merindukan
Dan dimana
engkau ?
Disaat aku
kelaparan dan kehausan
Dimana engkau !
… Dimana engkau !
Tidak !... Tidak
!
Engkau tidak ada sewaktu aku
membutuhkan
Engkau tidak ada sewaktu aku
merindukan
Engkau tidak ada sewaktu aku
kelaparan
dan
kehausan
Tapi mengapa ?
Mengapa !
Mengapa engkau baru datang
Setelah aku tak membutuhkan
Setelah aku tak merindukan
Setelah
aku tak kelaparan dan kehausan
Selalu alasan
usang kau ucapkan
Alibi yang tak
harus disuarakan
Dan lidahmu yang
tak bertulang
“ NASEHAT “
Keruh
mata ini menatapmu
Engkau
berubah
Tidak
lugu
Seperti
dulu
Jengah rasa ini
memandangmu
Engkau tak ubah
Kembang layu
Rapuh pilu
Mana kau yang
dulu !
Mana !
Yang menatap hidup dengan semangat
Memandang masa depan dengan niat
Kau anggap obat?
Itu sesat !
Kau anggap
nikmat? Itu bejad !
Yang bergelimpangan yang sekarat
Banyak sudah
Yang mati sesaat
Banyak sudah …..
Waktu
belum terlambat
Engkau belum
tamat
Selagi ingat
nasehat
“ ITU IBU “
Yang merapal doa disetiap malam
Yang
lembut dengan kasih sayang
Yang
ikhlas tanpa minta dibalaskan
Itu
ibu …..
Ibu
yang telah melahirkan
Yang membuat
pengorbanan besar dalam hidup
Yang mengajarkan
hakikat cinta sesungguhnya
Yang mencurahkan
kasih sayang tanpa redup
Yang memberi
perhatian tiada terhingga
Itu ibu …..
Ibu yang telah melahirkan
Yang tak pernah
berhenti
Mengasihi
Yang tak pernah
mati
Cinta abadi
Yang tak pernah
pergi
Kasih sejati
Itu ibu …..
Ibu yang telah melahirkan
DIALOG ANAK PULAU
Bagi anak muda, malam minggu malam
yang panjang, malam indah, bulan terang ditemanii kerlap kerlip bintang, bagi
yang memadu kasih, sayang kalau malam terlewatkan percuma, banyak momen – momen
indah untuk diabadikan, atas ungkapan kesyahduan cinta, namun tidak bagi ketiga
anak muda ini yang menghabiskan malam indah dengan hanya nongkrong di petigaan
persimpangan jalan dari bangku yang dibuat seadanya, berteman gitar dengan
suara suaran pas – pasan mereka ikut meramaikan dan menikmati malam yang indah
tersebut. Dahlan yang baru saja selesai memetik gitar menyelutuk.
Dahlan : Biji
selasih diperdani
Di usap tepak berbunyi
Walau kekasih tak menemani
Kita tetap bernyanyi ... ha ... ha
... ha ...
( Dengan tertawa
Dahlan mencoba menghibur hatinya sendiri )
( Jaelani yang
mendengar paukan sahabatnya itu tidak mau ketinggalan, Ia pun menyambut pautan
tersebut )
Jaelani : Rotan
tak ada susah dicari
Dikulum ujar ruas peti
Bukan tak ada usaha diri
Hanya belum saja yang pas dihati
(Anwar pun tak
tinggal diam mendengar 2 sahabatnya
saling melempar pantun ia pun nimbrung)
Anwar : Anai membelah - belah kayu
Kalah besih dengan kutu
Bagai memilah - milah tebu
Salah pilih ruas buku
( Dahlan
tersenyum ternyata kedua sahabatnya ini sudah mulai mengeluarkan jurus pantun
andalan mereka, Dahlan pun menyambung perkataan Anwar )
Dahlan : Tangan
jari kening punggung
Tiada ditukar berapa saja
Jangan membeli kucing dalam karung
Hanya mendengar suara saja
(Jaelani nyengir
kuda merasa Dahlan berpihak kepada Anwar, Jaelani pun mulai merata jurus katanya
)
Jaelani : Berkelah
sirep gulana
Bergerigi umpan dimakan cacing
Tak salah ucap laksana
Tapi ini bukan tebu bukan kucing
( Jaelani pun
menutup jurus katanya sambil tangannya menunjuk dadanya menandakan ia bercerita
tentang hati )
( Anwar hanya
menggangguk pelan ia pun membalas pantun yang diucapkan Jaelani barusan )
Anwar : ikan
tamban gulai asam
Bukan hanya diselaikan
Tuan jangan salah paham
Itu hanya di ibaratkan
( Geli hati
Dahlan ketika Anwar telah mengeluarkan jurus ikan tamban, Dahlan pun tak ingin
ketinggalan )
Dahlan : Enak
rasa makan gulai asam
Dengan kerang yang dikupaskan
Tuan kita bukan tak paham
Hanya kurang perumpamaan
( Jaelani merasa
terpojok dengan jurus ikan tamban, dan kulit kerang, namun Jaelani tidak kurang
akal dengan sedikit senyum ia pun membalas )
Jaelani : Kalaulah didepan disumpal benang
Manalah kelak saket tangan
Kalaulah ikan tamban bersambal kerang
Tentulah enak tekak tak bise tahan
( Anwar
mengernyit dahinya dalam benaknya Anwar berkata “ Kalau soal jurus mengolah
kata Jaelani tidak bisa dipandang sebelah mata, kembali Anwar berujar )
Anwar : Ha ...
ha ... boleh tahan kawan kite satuni
Tapi jangan merase menang dulu,
dengar lagi pantun ini ye
Kalau makan silahkan saje
Ikan selangat baru dibangket
kalaulah tuan bijaklasane
kemane tongkat tiangnya langet
( Jaelani yang
terkena jurus kata ikan selangat seakan tercekat, baris kata pun coba
dirangkainya )
Jaelani :
Bertemu kate menyibak janji
kenang meniti diuraikan
Ilmu dibete tidaklah tinggi
Barang setitik mohon ajarkan
( Sekalipun
Jaelani tidak dapat menjawab soalan pantun dari Anwar namun dengan kepala tegak
mengakui ketidaktahuannya dengan baris pantun yang ia usung rapi )
Dahlan :
Gumpalan benangnya siket
Ambilah sise depan mate
Jika soalan tiangnye langet
Tentulah rahasie maha pencipte
( Dahlan pun
tersenyum simpul dengan mengambil jurus yang ia rasa sangat bijaksana, Anwar, Dahlan dan Jaelani yang duduk menghadap jalan
dipertigaan persimpangan tidak sadar dan mengetahui bahwa dibelakangnya telah
berdiri 2 orang gadis remaja yang salah satunya adik kandung Jaelani, 2 gadis
remaja tersebut, hanya tersenyum mendengar Anwar , Dahlan dan Jaelani saling
menjual pantun, dengan tidak ingin sesaat mengganggu mereka dalam bersiasat
kata setelah Anwar, Dahlan dan Jaelani tertawa ringan barulah Aminah adik dari
Jaelani berujar “
Aminah : Maen
petasan dalam bilek
Mak pesan cepat balek
Dengan serta
merta Anwar, Dahlan dan Jaelani menoleh kebelakang menuju suara, Anwar dan
Dahlan tersenyum kecil sementara Jaelani hanya nyengir kuda sadar bahwa pantun
kilat itu ditunjukkan untuknya, Siti yang diminta Aminah menemaninya menemui
abangnya segera berkata
Siti : Bekelok lagi belobang
Dalamlah maken digali
Besok lagi disambung bang
Malam dah maken tinggi
Siti yang coba
mengingatkan disambut dengan senyum tertahan oleh Anwar, Jaelani Dahlan dan
Aminah, tak lama kepada teman –temannya Jaelani pun berujar dengan sedikit
canda segarnya
Jaelani :
Baeklah datok –datok panglime
Patek mohon diri
Segulong sedepe
Dilekok gembong lagi
Ini belom seberape
Besok kite sambong lagi
Mereka pun tertawa
bersama, disela – sela tawa Anwar pun menyelutuk
Anwar : Wadah
menyusot, karat ditengah
Langkah tak surot, siasat tak
lengah
( Dahlanpun
menutup perkataan sebelum mereka kembali kerumah masing – masing
Dahlan : Nak
bekebon kesungai lame
Niatlah luros dak besangge
Karne panton budaye lame
Mustilah haros kita jage
( Setelah saling
mengucapkan dan menjawab salam merekapun pulang dengan wajah yang berseri –
seri kembali kerumah masing – masing)
“ INSTING “
Ini satu saat
Dimana bicaramu
harus jelas
Itu satu masa
Dimana ucapmu
harus tegas
Jangan plinplan
Hanya insting
Engkau berusaha
untuk menjauh
Dan asumsi
Engkau kini
berubah
Atau engkau tak
yakin ?
Dengan
memprioritaskan rasa ini ?
Ach …..
Hanya insting …..
hanya insting
Dimana instingku
mengatakan
Ada yang tidak
beres
Dengan hubungan
ini
“
PADANG ILALANG “
Tak lagi engkau
menari
Dengan kaki
telanjang ditengah padang ilalang
Tak lagi
bernyanyi
Dengan suara
lantang dalam satu bidang
Serunai dipadang ilalang
Mengalun tenang
Helai dedauan bergoyang
Melayang, terbang lalu jatuh
berguguran
Tak lagi kulihat
dikau
Tak lagi
kudengar
Tak ada jejak tapak
Jejak tapak dengan telapak
Telapak kaki penari
Kaki yang menginjak
ilalang
Hingga rebah
dibumi
Mendramalisir
Seakan tak lagi
Cepat lambat aku juga tahu
Melihat
tingkahmu
Melihat
gayamu
Melihat
hatimu
Aku tahu
Kau
berdusta
Aku tahu
Bahwa
ada sesuatu
Yang
kau sembunyikan dariku
Mengapa
harus berdusta ?
Mengapa
harus menutupi ?
Jika engkau
mesara tidak nyaman
Dengan hubungan
ini
Sudahlah, tak
harus dipaksakan
Dengan kepura –
puraan, ketidakjujuran
Cinta
bukan paksaan !
Tapi
keikhlasan
“ UJARMU “
Ujarmu kau
didepan
Tetapi mengapa
masih dibelakang
Ujarmu kau
seorang
Tetapi mengapa
banyak yang datang
Ujarmu kau
duluan
Tetapi mengapa masih
dilingkaran
Ujarmu kau tak
lagi
Tetapi mengapa
terus kau hubungi
Ujarmu selalu
bertolak belakang
Itu menandakan
Engkau bimbang
Bisa jadi
Engkau gamang
“ PELUK AKU “
Bersandarlah
dibahuku
Akan kuceritakan
lagu rindu
Dihulu mengayuh
rasa
Dimuara melabuh
cinta
Rasa cintaku
untukmu …..
Mendekatlah
padaku
Akan
kubisikan satu kata
Yaitu
cinta
Cintku
padamu
Tak
pernah ragu
Rinduku
padamu
Tak
pernah layu
Dan peluk aku,
temukan kehangatan rasa
Temukan
kedamaian dirasa
Temukan
ketenangan jiwa
Jika engkau
merasa itu ada
Peluk aku, dekap
saja !
“ ELEGI
PEREMPUAN MALAM “
Pagi disudut
jalan
Masih engkau
jajakan
Kehangatan
Siang diperempatan
Masih engkau ucapkan
Kenikmatan
Petang dipersimpangan
Masih engkau rasakan
Kerinduan
Malam
dikeremangan
Masih engkau
tawarkan
Keindahan
Keindahan dari
kehangatan
Kenikmatan
Kerinduan
Dan keputusasahan
Nanyian hati
kidung malam
Dari perempuan
malam
“ CALON KORUPTOR
“
Sana sini
mengumbar janji
Janji menyerang
hati
Dengan sedikit memberi
Berharap banyak kembali
Setelah menjadi
Tak satupun ditepati
Janji pun tinggal janji
Malah makin gila
lagi
Mencuri !
Segala cara
Daya upaya
Tempuh semua
Dulu tidak
Itu belumur dan kotor
Tangan – tangan
koruptor
Dedaun
berumputan basah
Dipucuknya embun
masih ada
Bias merah
angkasa raya
Kuncup baru
kelopak bunga merekah
Yang tersisa dari sepengagal kisah
Terenggut malam rancu padam
Tinggal hening diujung kelam
Berderak uap dalam desah
Cakrawala pagi
Embun resah
Bakal musnah
Digilas mentari
Kicau burung bernyanyi
Pelan uap awan
Lembut sapa alam
Sunyi hati ini
Dedaun
berumputan basah
Dipucuknya embun
masih ada
Bias merah
angkasa raya
Kuncup baru
kelopak bunga merekah
Yang tersisa dari sepengagal kisah
Terenggut malam rancu padam
Tinggal hening diujung kelam
Berderak uap dalam desah
Cakrawala pagi
Embun resah
Bakal musnah
Digilas mentari
Kicau burung bernyanyi
Pelan uap awan
Lembut sapa alam
Sunyi hati ini
“ INI KALI
TERAKHIR “
Ini kali
terakhir
Setelah itu
tidak
Kau buat lagi
Kau ucap lagi
Kau ulang lagi
Ini kali
terakhir !
Ucapmu
Ulangmu
Ujarmu
Jera aku
Jemu
aku
Muak
aku
Ini terakhir !
Ingat itu
Camkan itu
Dengarkan
itu
Ini kali terakhir !
“ YA ATAU TIDAK SAMA SEKALI “
Ya atau tidak
sama sekali
Begitu sama
Tidak berarti
apa – apa
Karna itu telah
terjadi
Ya atau tidak sama sekali
Bagiku hanya
Tidak pengaruh apa –apa
Sebab itu tak kan kembali
Ya atau tidak
sama sekali
Bagiku Cuma
Tak menjadi apa
– apa
Dan tak patut
kau sesali
Ya atau tidak sama sekali
Sebelum terjadi
Pertegas diri
Yang tak kembali
Usah
kau sesali
Cetus pikiran mengawali
Berbuat hati – hati
“ LIHUA “
Li …! Lihua …!
Li …! Lihua …!
Baru
sepeminum teh berlalu
Sebelumnya
bisu
Li
…! Lihua …!
Li
…! Lihua …!
Jerit
batinku
Sebelumnya
kelu
Lihua …!
Ucapku
lirih
Maafkan
aku Li …
Maafkan …
Li kecapi ini
milikmu
Kecapi cinta dawai asmara
Petik denting rasa
Li … dengarkan
nyanyian bambu
Dari
rimbun rumpun
Disapa
lembut sepoi angin lalu
Nada
mengalun
Buluh
perindu hatiku
Li …! Lihua …!
Aku cinta
Ucapku
kelu
Maafkan
aku
“ WARDIAH HASNAN
“
Wardiah …!
Tutup aku !
Lihat aku !
Mengapa bisu !
Aku Hasnan
kekasihmu !
Wardiah !
Benarkah ujar mereka ?
Kata mereka ?
Atau bohong belaka ?
Wardiah …
Ceritakan …
Jangan diam …
Jangan bungkam …
Maafkan aku Hasnan…
Bulir yang tadi mengambang
kini tergenang
Palung mata
Wardiah
Kelopaknya telah
pun basah
Wardiah pasrah …
Tiada suara
Hanya desah satu
– satu mengukur waktu
Perih Hasnan
berucap dengan ubun – ubun kepala Wardiah
Maafku sudah habis untukmu Wardiah
Sudah kau kikis habis
Habis…
Bukan aku sadis…
Memang … sudah habis …
“ AKU TAHU “
Mungkin mereka
belum tahu
Namun aku tahu
Rembulan yang
mengambang itu dikau
Kerlip bintang
yang tegenang itu dikau
Alunan simponi
malam itu engkau
Mungkin mereka belum tahu
Namun aku tau
Bunga mekar ditengah belukar itu
dikau
Setangkai kembang dipadang ilalang
itu dikau
Namun semerbak diantara semak itu
engkau
Mungkin mereka
belum tahu
Namun aku tahu
Buih debur riak gelombang itu dikau
Teduhnya
lautan itu dikau
Hamparan
kemilauan permadani yang menawan itu engkau
Mungkin mereka belum tau
Namun aku tau
Karena aku mencintaimu
Karena engkau
Duniaku ..…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar