Kamis, 21 Maret 2013

BUMI SEGANTANG LADA. Bag. 1


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alahamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT saya ucapkan atas selesainya penulisan buku ini. Tanpa ridho dan petunjuk dari-Nya mustahil buku ini dapat dirampungkan. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman – teman yang membantu dalam menyelesaikan buku ini.
Buku yang bercerita akan luapan makna untaian kata laksana menyulam anyaman kata seru deru aksara dalam madah. BUMI SEGANTANG LADA.

                                                                                               Kisaran,     Maret 2013
                                                                                               Penulis

                                                                                               Iwan Sekopdarat


“ HELAI HATI “
                                                                                                                  Cipt. Iwan Sekopdarat

Sebuah kisah usang
Berdebu diam dikalbu
Berteman gitar, jerit memudar
Dibalik awan kelabu
            Sepenggal angan hilang
            Diterik mentari membiru
            Menyusuri jalan, diujung trotoar
            Desah mimpi yang berlalu
Ratap rembulan, riak buih laut yang biru
Harap sang bintang
Pada  malam menghela rindu
REFF:
            Helai hati meniti angan
            Dipersimpangan jalan
            Dari mimpi yang hilang
            Aku kenang
                        Derai rindu dibalik awan
                        Tergenang di lautan
                        Satu bayang diujung jalan
                        Rinduku mengambang


  
“ AKHIR PERJALANAN “

Bergegaslah !
Selagi pagi masih ada
Mentari di timur belum seberapa
Sang surya menghangatkan dunia
Waktu banyak tersisa
Isi yang berguna ….. dengan upaya
Dan berlari !.....
            Disaat mentari kian meninggi
            Teriknya membakar bumi
            Geliat tapak kaki
Waktu tak pernah berhenti
            Berputar memacu diri …..
            Coba mengerti
                        Diakhir perjalanan !
Semburat rona jingga menawan
Menyongsong cakrawala merajut awan
Sang surya kembali tertelan
Lembayung senja perlahan
Menanti pulang


  

“ ANULIR “

Kau kejang
Menahan erang
Menampik bimbang
            Gelisah resah
            Debar desah
Gemuruh gundah
Malam panjang
Gemericik binatang
Bulan terpanggang
            Itu mata merah
            Bukan marah
            Bukan gerah
Berdebar rasa
Bukan cinta
Bukan asmara
            Itu nadi berhenti
            Bukan mati
            Bukan tak lagi
Ditengah tak berarti
Memeluk mimpi

  

“ SAMPAI ”

Sampai merpati berhenti menyepak sayap
Sampai suara tinggal gema gaung dan sayup
Sampai kata yang belum sampat ditulis siap
Sampai rintik hujan membasahi diri basah kuyup
            Sampai malam yang belum sanggup merayap

Sampai air berhenti untuk mengalir
Sampai rasa berdetak diujung nadir
Sampai ucap terpenggal bibir
Sampai usia pejalanan musafir
            Sampai pagi yang bergulir

Sampai gerimis membasahi bumi tiada henti
Sampai jiwa mengharap kemurahan hati
Sampai desah dipelupuk mata menari
Sampai sinar terik membakar diri
            Sampai siang yang makin meninggi

Malam belum pergi
Dan pagi belum berganti
Siang masih ditepi
Senja apalagi
Aku hampa sunyi


  
“ PANTUN SIMPUL “

Andai, andai angan membilang
Membilang seru berselang – selang
Saat ku lerai rasa yang bimbang
Yang dirindu tak kunjung datang
            Meniti pualam jati
            Jati lurus tidak berakar
            Bagi api didalam peti
            Peti hangus kayu terbakar
Membilang seru berselang –selang
Madah dipeluk dibilah angan
Yang dirindu tak kunjung datang
Adakah bertepuk sebelah tangan
            Jati lurus tak berakar
            Disaat mengikat tali
            Peti hangus kayu tebakar
            Berharap dapat kembali
Madah dipeluk dibilah angan
Selaksa niat dikiaskan
Adakah bertepuk sebelah tangan
Saat rasa tak terbalaskan
            Disaat mengikat tali
            Suasa bersepuh tepi
            Berharap dapat kembali
            Hanya bisa merengkuh mimpi
Selaksa niat dikiaskan
Suasa bersepuh tepi
Saat rasa tak terbalaskan
Hanya bisa merengkuh mimpi

“ BEKU “

Aku lupa berapa detik yang pernah ku lalui bersamamu
Aku tak ingat berapa menit
Yang pernah kujalani bersamamu
Aku tak sadar berapa jam
Telah menemanimu
Aku tak tau berapa hari
                                           Minggu
                                           Bulan
                               Bahkan Tahun
                     Bersamamu
              Aku lupa
                     Tak ingat
                        Tak sadar
                          Tak tau
Maaf ..…! maaf dengan semua itu
       Bibir ini bisu
       Lidah ini kelu
       Ucap kaku
       Cinta beku
  

“ PUPUS “

Ku usung cinta dilaut biru
Pupus…..
Ku kunjung rindu diawan semu
Pupus…..
            Cintaku hanyut tak ketemu
            Rinduku berserakan bagai debu
Ku lukis cinta dilembayung senja
Pupus…..
Ku tukis rindu disemburat cakrawala
Pupus
            Cintaku gamang malam tiba
            Rinduku sirna hilang cahaya
Ku ukir cinta dibelahan katulistiwa
Pupus…..
Ku pahat rindu diluasnya angkasa
Pupus…..
            Cintaku patah tinggal nyawa
            Rinduku terkelupas hanya sisa
Pupus…..



“ KAU KAH ITU “

Kau kah itu ?
Mengintip dari jendela
Jendela hatiku
            Kau kah itu ?
            Mengetuk pintu
            Pintu hatiku
Kau kah itu ?
            Menghias lamunan
            Mimpi dan angan
Kau kah itu ?
            Bagai bayang
Slalu terbayang
                        Kau kah itu ?
                        Melempar pandang
                        Aku terkenang
Kau kah itu ?
Yang datang
Disaat aku bimbang



“ LORONG HATI “

Sudut lorong gelap pengap
Sunyi senyap
Tiada merayap
Atau mengendap
            Sela ruang hampa suara
            Sepi ngelangsa
            Tak hanya
            Tinggal cuma
Celah sinar hilang kini
Remang menjadi
Masa berganti
Waktu tak pasti
Yang dilorong hati
Yang diruang rasa
Dan yang di celah kalbu
Susah sungguh
Meniti peluh



“ ITU DULU “

Itu dulu
Selagi merajut mimpi bersamamu
Itu dulu
Selagi menyulam angan denganmu
       Itu dulu, dan itu dulu
Kini tak lagi…..
       Tak lagi …..
                        Merajut mimpi
       Tak lagi
                        Menyulam angan
       Tinggal mimpi, tenggelam angan
Itu dulu
Saat indah bersamamu


  
“ DIMANA ENGKAU “

Dimana engkau ?
Disaat aku sangat rapuh
Dimana engkau ?
Disaat aku merindukan
Dan dimana engkau ?
Disaat aku kelaparan dan kehausan
Dimana engkau ! … Dimana engkau !
Tidak !... Tidak !
            Engkau tidak ada sewaktu aku membutuhkan
            Engkau tidak ada sewaktu aku merindukan
            Engkau tidak ada sewaktu aku kelaparan
dan kehausan
Tapi mengapa ?
            Mengapa !
            Mengapa engkau baru datang
            Setelah aku tak membutuhkan
            Setelah aku tak merindukan
Setelah aku tak kelaparan dan kehausan
Selalu alasan usang kau ucapkan
Alibi yang tak harus disuarakan
Dan lidahmu yang tak bertulang



“ NASEHAT “

Keruh mata ini menatapmu
Engkau berubah
Tidak lugu
Seperti dulu
Jengah rasa ini memandangmu
Engkau tak ubah
Kembang layu
Rapuh pilu
Mana kau yang dulu !
Mana !
            Yang menatap hidup dengan semangat
            Memandang masa depan dengan niat
Kau anggap obat? Itu sesat !
Kau anggap nikmat? Itu bejad !
            Yang bergelimpangan yang sekarat
            Banyak sudah
            Yang mati sesaat
            Banyak sudah …..
Waktu belum terlambat
Engkau belum tamat
Selagi ingat nasehat

  
“ ITU IBU “

Yang merapal doa disetiap malam
Yang lembut dengan kasih sayang
Yang ikhlas tanpa minta dibalaskan
Itu ibu …..
Ibu yang telah melahirkan
Yang membuat pengorbanan besar dalam hidup
Yang mengajarkan hakikat cinta sesungguhnya
Yang mencurahkan kasih sayang tanpa redup
Yang memberi perhatian tiada terhingga
            Itu ibu …..
            Ibu yang telah melahirkan
Yang tak pernah berhenti
Mengasihi
Yang tak pernah mati
Cinta abadi
Yang tak pernah pergi
Kasih sejati
            Itu ibu …..
            Ibu yang telah melahirkan

  
DIALOG ANAK PULAU

            Bagi anak muda, malam minggu malam yang panjang, malam indah, bulan terang ditemanii kerlap kerlip bintang, bagi yang memadu kasih, sayang kalau malam terlewatkan percuma, banyak momen – momen indah untuk diabadikan, atas ungkapan kesyahduan cinta, namun tidak bagi ketiga anak muda ini yang menghabiskan malam indah dengan hanya nongkrong di petigaan persimpangan jalan dari bangku yang dibuat seadanya, berteman gitar dengan suara suaran pas – pasan mereka ikut meramaikan dan menikmati malam yang indah tersebut. Dahlan yang baru saja selesai memetik gitar menyelutuk.
Dahlan : Biji selasih diperdani
              Di usap tepak berbunyi
              Walau kekasih tak menemani
              Kita tetap bernyanyi ... ha ... ha ... ha ...
( Dengan tertawa Dahlan mencoba menghibur hatinya sendiri )
( Jaelani yang mendengar paukan sahabatnya itu tidak mau ketinggalan, Ia pun menyambut pautan tersebut )
Jaelani : Rotan tak ada susah dicari
              Dikulum ujar ruas peti
              Bukan tak ada usaha diri
              Hanya belum saja yang pas dihati
(Anwar pun tak tinggal diam mendengar 2  sahabatnya saling melempar pantun ia pun nimbrung)
 Anwar : Anai membelah - belah kayu
              Kalah besih dengan kutu
              Bagai memilah - milah tebu
              Salah pilih ruas buku
( Dahlan tersenyum ternyata kedua sahabatnya ini sudah mulai mengeluarkan jurus pantun andalan mereka, Dahlan pun menyambung perkataan Anwar )
Dahlan : Tangan jari kening punggung
              Tiada ditukar berapa saja
              Jangan membeli kucing dalam karung
              Hanya mendengar suara saja

(Jaelani nyengir kuda merasa Dahlan berpihak kepada Anwar, Jaelani pun mulai merata jurus katanya )
Jaelani : Berkelah sirep gulana
              Bergerigi umpan dimakan cacing
              Tak salah ucap laksana
              Tapi ini bukan tebu bukan kucing
( Jaelani pun menutup jurus katanya sambil tangannya menunjuk dadanya menandakan ia bercerita tentang hati )
( Anwar hanya menggangguk pelan ia pun membalas pantun yang diucapkan Jaelani barusan )
Anwar : ikan tamban gulai asam
              Bukan hanya diselaikan
              Tuan jangan salah paham
              Itu hanya di ibaratkan
( Geli hati Dahlan ketika Anwar telah mengeluarkan jurus ikan tamban, Dahlan pun tak ingin ketinggalan )
Dahlan : Enak rasa makan gulai asam
              Dengan kerang yang dikupaskan
              Tuan kita bukan tak paham
              Hanya kurang perumpamaan
( Jaelani merasa terpojok dengan jurus ikan tamban, dan kulit kerang, namun Jaelani tidak kurang akal dengan sedikit senyum ia pun membalas )
Jaelani :  Kalaulah didepan disumpal benang
               Manalah kelak saket tangan
               Kalaulah ikan tamban bersambal kerang
               Tentulah enak tekak tak bise tahan
( Anwar mengernyit dahinya dalam benaknya Anwar berkata “ Kalau soal jurus mengolah kata Jaelani tidak bisa dipandang sebelah mata, kembali Anwar berujar )
Anwar : Ha ... ha ... boleh tahan kawan kite satuni
              Tapi jangan merase menang dulu, dengar lagi pantun ini ye
              Kalau makan silahkan saje
              Ikan selangat baru dibangket
              kalaulah tuan bijaklasane
              kemane tongkat tiangnya langet
( Jaelani yang terkena jurus kata ikan selangat seakan tercekat, baris kata pun coba dirangkainya )
Jaelani : Bertemu kate menyibak janji
              kenang meniti diuraikan
              Ilmu dibete tidaklah tinggi
              Barang setitik mohon ajarkan
( Sekalipun Jaelani tidak dapat menjawab soalan pantun dari Anwar namun dengan kepala tegak mengakui ketidaktahuannya dengan baris pantun yang ia usung rapi )
Dahlan : Gumpalan benangnya siket
              Ambilah sise depan mate
              Jika soalan tiangnye langet
              Tentulah rahasie maha pencipte
( Dahlan pun tersenyum simpul dengan mengambil jurus yang ia rasa sangat bijaksana, Anwar,  Dahlan dan Jaelani yang duduk menghadap jalan dipertigaan persimpangan tidak sadar dan mengetahui bahwa dibelakangnya telah berdiri 2 orang gadis remaja yang salah satunya adik kandung Jaelani, 2 gadis remaja tersebut, hanya tersenyum mendengar Anwar , Dahlan dan Jaelani saling menjual pantun, dengan tidak ingin sesaat mengganggu mereka dalam bersiasat kata setelah Anwar, Dahlan dan Jaelani tertawa ringan barulah Aminah adik dari Jaelani berujar “
Aminah : Maen petasan dalam bilek
              Mak pesan cepat balek
Dengan serta merta Anwar, Dahlan dan Jaelani menoleh kebelakang menuju suara, Anwar dan Dahlan tersenyum kecil sementara Jaelani hanya nyengir kuda sadar bahwa pantun kilat itu ditunjukkan untuknya, Siti yang diminta Aminah menemaninya menemui abangnya segera berkata
Siti         : Bekelok lagi belobang
              Dalamlah maken digali
              Besok lagi disambung bang
              Malam dah maken tinggi
Siti yang coba mengingatkan disambut dengan senyum tertahan oleh Anwar, Jaelani Dahlan dan Aminah, tak lama kepada teman –temannya Jaelani pun berujar dengan sedikit canda segarnya
Jaelani : Baeklah datok –datok panglime
              Patek mohon diri
              Segulong sedepe
              Dilekok gembong lagi
              Ini belom seberape
              Besok kite sambong lagi
Mereka pun tertawa bersama, disela – sela tawa Anwar pun menyelutuk
Anwar : Wadah menyusot, karat ditengah
              Langkah tak surot, siasat tak lengah
( Dahlanpun menutup perkataan sebelum mereka kembali kerumah masing – masing
Dahlan : Nak bekebon kesungai lame
              Niatlah luros dak besangge
              Karne panton budaye lame
              Mustilah haros kita jage
( Setelah saling mengucapkan dan menjawab salam merekapun pulang dengan wajah yang berseri – seri kembali kerumah masing – masing)


“ INSTING “

Ini satu saat
Dimana bicaramu harus jelas
Itu satu masa
Dimana ucapmu harus tegas
Jangan plinplan
Hanya insting
Engkau berusaha untuk menjauh
Dan asumsi
Engkau kini berubah
Atau engkau tak yakin ?
Dengan memprioritaskan rasa ini ?
Ach …..
Hanya insting …..  hanya insting
Dimana instingku mengatakan
Ada yang tidak beres
Dengan hubungan ini


 “ PADANG ILALANG “

Tak lagi engkau menari
Dengan kaki telanjang ditengah padang ilalang
Tak lagi bernyanyi
Dengan suara lantang dalam satu bidang
            Serunai dipadang ilalang
            Mengalun tenang
            Helai dedauan bergoyang
            Melayang, terbang lalu jatuh berguguran
Tak lagi kulihat dikau
Tak lagi kudengar
            Tak ada jejak tapak
            Jejak tapak dengan telapak
            Telapak kaki penari
Kaki yang menginjak ilalang
Hingga rebah dibumi
            Mendramalisir
            Seakan tak lagi



  
Cepat  lambat aku juga tahu
            Melihat tingkahmu
            Melihat gayamu
            Melihat hatimu
Aku tahu
            Kau berdusta
Aku tahu
            Bahwa ada sesuatu
            Yang kau sembunyikan dariku
            Mengapa harus berdusta ?
            Mengapa harus menutupi ?
Jika engkau mesara tidak nyaman
Dengan hubungan ini
Sudahlah, tak harus dipaksakan
Dengan kepura – puraan, ketidakjujuran
            Cinta bukan paksaan !
            Tapi keikhlasan

  
“ UJARMU “

Ujarmu kau didepan
Tetapi mengapa masih dibelakang
Ujarmu kau seorang
Tetapi mengapa banyak yang datang
Ujarmu kau duluan
Tetapi mengapa masih dilingkaran
Ujarmu kau tak lagi
Tetapi mengapa terus kau hubungi
Ujarmu selalu bertolak belakang
Itu menandakan
Engkau bimbang
Bisa jadi
Engkau gamang


“ PELUK AKU “

Bersandarlah dibahuku
Akan kuceritakan lagu rindu
Dihulu mengayuh rasa
Dimuara melabuh cinta
Rasa cintaku untukmu …..
Mendekatlah padaku
Akan kubisikan satu kata
Yaitu cinta
Cintku padamu
Tak pernah ragu
Rinduku padamu
Tak pernah layu
Dan peluk aku, temukan kehangatan rasa
Temukan kedamaian dirasa
Temukan ketenangan jiwa
Jika engkau merasa itu ada
Peluk aku, dekap saja !

  
“ ELEGI PEREMPUAN MALAM “

Pagi disudut jalan
Masih engkau jajakan
Kehangatan
              Siang diperempatan
              Masih engkau ucapkan
              Kenikmatan
                        Petang dipersimpangan
                        Masih engkau rasakan
                        Kerinduan
Malam dikeremangan
Masih engkau tawarkan
Keindahan
Keindahan dari kehangatan
                                    Kenikmatan
                                                Kerinduan
                        Dan keputusasahan
Nanyian hati kidung malam
Dari perempuan malam
                                

“ CALON KORUPTOR “

Sana sini mengumbar janji
Janji menyerang hati
              Dengan sedikit memberi
              Berharap banyak kembali
Setelah menjadi
              Tak satupun ditepati
              Janji pun tinggal janji
Malah makin gila lagi
              Mencuri !
Segala cara
Daya upaya
Tempuh semua
              Dulu tidak
              Itu belumur dan kotor
Tangan – tangan koruptor

  



Dedaun berumputan basah
Dipucuknya embun masih ada
Bias merah angkasa raya
Kuncup baru kelopak bunga merekah
              Yang tersisa dari sepengagal kisah
              Terenggut malam rancu padam
              Tinggal hening diujung kelam
              Berderak uap dalam desah
Cakrawala pagi
Embun resah
Bakal musnah
Digilas mentari
              Kicau burung bernyanyi
              Pelan uap awan
              Lembut sapa alam
              Sunyi hati ini

  



Dedaun berumputan basah
Dipucuknya embun masih ada
Bias merah angkasa raya
Kuncup baru kelopak bunga merekah
              Yang tersisa dari sepengagal kisah
              Terenggut malam rancu padam
              Tinggal hening diujung kelam
              Berderak uap dalam desah
Cakrawala pagi
Embun resah
Bakal musnah
Digilas mentari
              Kicau burung bernyanyi
              Pelan uap awan
              Lembut sapa alam
              Sunyi hati ini















“ INI KALI TERAKHIR “


Ini kali terakhir
Setelah itu tidak
Kau buat lagi
Kau ucap lagi
Kau ulang lagi
Ini kali terakhir !
              Ucapmu
                        Ulangmu
                                    Ujarmu
              Jera aku
                        Jemu aku
                                    Muak aku
              Ini terakhir !
Ingat itu
              Camkan itu
                        Dengarkan itu
              Ini kali terakhir !





             
             




 “ YA ATAU TIDAK SAMA SEKALI “

Ya atau tidak sama sekali
Begitu sama
Tidak berarti apa – apa
Karna itu telah terjadi
              Ya atau tidak sama sekali
              Bagiku hanya
              Tidak pengaruh apa –apa
              Sebab itu tak kan kembali
Ya atau tidak sama sekali
Bagiku Cuma
Tak menjadi apa – apa
Dan tak patut kau sesali
              Ya atau tidak sama sekali
              Sebelum terjadi
              Pertegas diri
                        Yang tak kembali
                        Usah kau sesali
              Cetus pikiran mengawali
              Berbuat hati – hati










“ LIHUA “

Li …! Lihua …!
Li …! Lihua …!
Baru sepeminum teh berlalu
Sebelumnya bisu
Li …! Lihua …!
Li …! Lihua …!
Jerit batinku
Sebelumnya kelu
Lihua …!
Ucapku lirih
Maafkan aku Li …
              Maafkan …
Li kecapi ini milikmu
              Kecapi cinta dawai asmara
              Petik denting rasa
Li … dengarkan nyanyian bambu
Dari rimbun rumpun
Disapa lembut sepoi angin lalu
Nada mengalun
Buluh perindu hatiku
Li …! Lihua …!
              Aku cinta
                        Ucapku kelu
                                    Maafkan aku

             



“ WARDIAH HASNAN “

Wardiah …!
              Tutup aku !
              Lihat aku !
              Mengapa bisu !
Aku Hasnan kekasihmu !
              Wardiah !
              Benarkah ujar mereka ?
              Kata mereka ?
              Atau bohong belaka ?
Wardiah …
              Ceritakan …
              Jangan diam …
              Jangan bungkam … 
Maafkan aku Hasnan…
Bulir yang tadi mengambang kini tergenang
Palung mata Wardiah
Kelopaknya telah pun basah
Wardiah pasrah …
Tiada suara
Hanya desah satu – satu mengukur waktu
Perih Hasnan berucap dengan ubun – ubun kepala Wardiah
              Maafku sudah habis untukmu Wardiah
              Sudah kau kikis habis
              Habis…
              Bukan aku sadis…
              Memang … sudah habis …



“ AKU TAHU “

Mungkin mereka belum tahu
Namun aku tahu
Rembulan yang mengambang itu dikau
Kerlip bintang yang tegenang itu dikau
Alunan simponi malam itu engkau
            Mungkin mereka belum tahu
            Namun aku tau
            Bunga mekar ditengah belukar itu dikau
            Setangkai kembang dipadang ilalang itu dikau
            Namun semerbak diantara semak itu engkau
Mungkin mereka belum tahu
Namun aku tahu
            Buih debur riak gelombang itu dikau
Teduhnya lautan itu dikau
Hamparan kemilauan permadani yang menawan itu engkau
            Mungkin mereka belum tau
            Namun aku tau
            Karena aku mencintaimu
            Karena engkau
            Duniaku ..…
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar