KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT saya ucapkan atas selesainya buku ini. Tanpa
ridho dan petunjuk dari-Nya mustahil buku ini dapat dirampungkan, tidak lupa
saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang membantu dalam menyelesaikan buku
ini.
Buku yang terdiri dari beberapa puisi
syair sajak dan drama, bercerita akan keindahan makna dalam rangkaian kata.
Gelegak dari jiwa dan rasa yang merdeka.
Kisaran, April 2013
Penulis
Iwan Sekopdarat
“
Takutnya Aku “
Kala rasa ini tertuang
Takutnya aku memeluk bayang
Tergenang diluas samudra yang membentang
Kala
rindu ini mengalir
Takutnya
aku kelak kan tergulir
Terbenam
aku diantara debu dan pasir
Hanyut
dibawa deburan tetes air
Kala cinta ini mengalun
Takutnya aku tiada ampun
Menyambung jiwa bagai embun
Hilang dibalik rindang nan rimbun
Kala
rasa ini
Kala
rindu ini
Kala
cinta ini
Takutnya aku
Tersakiti terkhianati
Olehmu
Yang menghadirkan mimpi
“
Bisik Bulan “
Sunyi hati disimpang rasa
Terkadang aku terlupa
Merajut mimpi dalam lera
Lirih berkerudung desah
Bulan berbisik mesra
Aku tlah bertemu matahari
Kala terpelanting di telapak pijar
Saling menyapa
Saling menari
Dan berputar
Ketika rirai gerimis reda
Kembali bulan berbisik mesra
Aku ingin melihat pelangi
Pelangi dengan penuh warna – warni
Penuh nuansa alami.
Ketika
rona jingga menjelma
Kembali
bulan berbisik mesra
Aku
ingin melihat lembayung senja
Teburan
cakrawala di ujung pesona
Maha
karya Sang Pencipta
“
Dalam rembang “
Rembang memerah
Langit resah
Bumi gelisah
Tak lagi celah
Hanya desah
Senja
merona
Cakrawala
menata
Semburut
kian sirna
Hilang
seketika
Hampa
Petang kan datang
Mentari tak lagi garang
Elang punai pulang ke sarang
Ayam bertengger di pucuk rindang
Sekejap lagi tenang
“
Hamba Nan Hina “
Kepadaku seikat bunga
Anggrek melati mawar kenanga
Nusa indah bakung dan seroja
Wewangian dunia
Seribu pesona
Keindahan bunga – bunga
Kepadaku
spectrum warna
Merah kuning hijau biru
Hitam putih abu-abu
Ada juga jingga dan ungu
Nuansa cahaya dari sinar mata
Kesejukan warna – warni
Kepadaku serangkum doa
Malam pagi siang petang
Subuh jua berkumadang
Tiada lelah menadah tangan
Berharap kemuliaan
Dari bunga warna dan do’a
Tengadah do’a hamba nan hina
“
Dari Ini “
Dan ini aku tuliskan
Dari bilah merangkai aksara
Dengan apa yang aku rasakan
Kiranya hatilah yang angkat bicara
Dan
ini aku lukiskan
Dari
kuas ku usap lembut kanvas
Dengan
imajinasi kea lam bebas
Kiranya
aku lelah kehausan
Dan ini aku ukirkan
Dari belati menikam sukma
Dengan hujaman tiada terpilukan
Kiranya hati telah terluka
Dan
ini aku rangkaikan
Dari
kata menyulam kalimat
Dengan
aksara yang tersemat
Kiranya
aku memeluk angan
“
Tak berarti apa-apa”
Tunggu apa lagi
Jangan berhenti di sini
Kayuhkan saja
Selagi bisa
Di sini tak berarti apa-apa
Jangan
tunda lagi
Selagi
semangat berapi
Dayungkan
terus
Tanpa
putus
Di
sini tak ubah harap pupus
Itu tidak dua kali
Lakukan dengan kaji
Teliti dan hati – hati
Selagi usia belum lagi reda
Di sini tidak merubah kemungkinan
Menjadi ada
Selagi
bisa
Selagi
ada
Selagi
usia belum lagi reda
Tanpa
putus jangan pupus
Terus
saja
Karna
di sini tiada guna
“
Mati Suri “
Aku sudah lupa !
Dimana dulu kita pernah berjumpa ?
Wajah itu tidak asing bagiku
Mata itu tidak asing bagiku
Senyum itu tidak asing bagiku
Tapi
sungguh !
Aku
lupa !
Kapan
kita berjumpa
Dimana
kita bertemu
Semua seakan
tiada asing bagiku
Yach…
Mungkin pikiran ini telah buntu
Hingga tak mampu mengingat
Sesuatu dan yang telah berlaku
Tapi tunggu
Bau keringat
Yach… bau keringat
Aroma sangat menusuk pekat
Baru aku ingat
Bahwa itu
Tak lain adalah
dirimu
“
Jantan Dan Betina “
Sepasang dalam tabur bintang
Saling serang
Erang kerit silih selang
Menendang – nendang
Jantan betina satu kandang
Semalam
dalam kelam malam
Saling mencengkram
Sesekali keram
Tak jarang mengeram
Jantan betina hanyut tenggelam
Nafsu mengikat
Sungguh bejat
Meniti peluh keringat
Jantan beting sekarat
Tak lagi hebat
Kandang – kandang tiada tempat
Kadang – kadang hilang niat
Jantan betina penat
“
Lekas “
Lekas aku tiada waktu
Menunggu saja sudah jemu
Apalagi ini
Hilang semua debu
Lekas
kalau mau turut
Jangan
sampai di jemput
Tunggu
apalagi
Kelak
terengut
Lekas…lekaslah
Bergegaslah
Usah malas
Lekas
jangan ragu
Kelak
ragu membuang waktu
Lekas kalau ikut
Lama menunggu menyita waktu
Lekas
jangan malu
Karna
malu mengulur waktu
Lekas…lekaslah
Bergegaslah
“
Hutan dan Metropolitan “
Hutan dan metropolitan
Sebelas dua belas
Kejam dan ganas
Yang
kuat merajalela
Lemah
teraniaya
Yang kuasa melibas
Lemah tertindas
Hutan
dan metropolitan
Tak
jauh beda
Masih
tegak hukum rimba
Hutan terkikis karena erosi
Metropolitan najis ulah korupsi
Erosi
korupsi
Sebelas
dua belas
Lihat
jeli hati – hati
Juga
dengan hati
Hutan dan metropolitan
Hanya beda pengucapan
Tapi satu maksud dan tujuan
Penuh nafsu kebinatangan
“
Dimalam Aku Lupa Berdoa “
Dimalam aku lupa berdoa
Riuh rendah,
setan menbuh belanga
Dimalam aku lupa berdo’a
Gegap gempita, iblis berpesta pora
Dimalam aku lupa berdo’a
Hiruk pikuk, hantu bersuka ria
Dimalam aku lupa berdo’a
Nafsu – nafsu merajalela
Berharap untung-untungan
Mereguk kenikmatan
Mengunyah kemaksiatan
Itu lupa berdoa diwaktu malam
Melayang
jiwa ikut setan
Dimalam aku lupa berdo’a
Disitu jalan masuk dusta
Dimalam
aku lupa berdo’a
Disitu
cara setan menggoda
Dimalam aku lupa berdo’a
Disitu maksud iblis berusaha
Dimalam
aku lupa berdo’a
Disitu
hantu menyusun rencana
Dimalam aku lupa berdo’a
Disitu nafsu menjadi raja
“
Seberapa Besar Hati “
Seberapa besar hati ?
Tak ubah sekepal budak belia
Dari kasat mata
Tapi luasnya
Tiada terhingga
Seberapa
besar hati ?
Tak
ubah biji mangga
Dari
kesimpulannya
Tapi
dalamnya
Tiada
kira
Iman dalam hati
Kebenaran dikerjakan, berharap kemuliaan
Niat dalam hati
Terbagi dua kerat
Yang baik dan yang jahat
Rasa dalam hati
Cinta angkat bicara, diantara gemuruh sukma
Pikiran dalam hati
Setelah melewati tahapan
Lebih mengikuti aturan
Pandangan dalam hati
Rasio perbandingan
Cara membedakan
Jadi…
Seberapa besar hati ?
“
Kopi Cap Pantat Kuali “
Kopiku cap pantat kuali
Tidak beli mudah dicari
Karna aku tidak korupsi
Jamku
cap matahari
Lihat
sinar bayang bumi
Karna
aku bukan pencuri
Makanku hanya ubi
Tinggal cocok tumbuh sendiri
Karna aku tidak korupsi
Perhiasan
ku imitasi
Mirip
sekali dengan yang asli
Karna
aku bukan pencuri
Baik begini
Daripada korupsi
Bagus ini
Dari pada mencuri
Tak
usahlah korupsis
Tak
gunalah mencuri
Cobalah
lebih mensyukuri
Sebab
ini
Cara
yang mumpuni
“
Warisan Indah Penjajah “
Itu warisan
Saling menggulingkan
Saling makan
Warisan indah penjajah
Itu
juga warisan
Selalu
menjatuhkan
Selalu
merubuhkan
Warisan
indah penjajahan
Itu warisan
Memalingkan wajah
Mengatur siasat
Wasiat indah penjajah
Itu
juga wasiat
Membuat
pecah belah
Jadi
sekerat-kerat
Wasiat indah penjajah
Berakar sangat dalam desah
Wasiat indah penjajah
Berhamparan
pecahan
Warisan
indah penjajahan
“
Dari Dini “
Dari dini mengenal budi
Besar nanti tidak mencuri
Kelak, nanti tak korupsi
Dari
dini memahami
Besar
nanti tidak mencuri
Kelak,
nanti tak korupsi
Kelak, nanti tak korupsi
Besar nanti tidak mencuri
Dari dini mawas diri
Dari
dini memelihara hati
Besar
nanti tidak mencuri
Kelak,
nanti tak korupsi
Dari dini belajar arti
Besar nanti tidak mencuri
Kelak, nanti tak korupsi
Kelak,
nanti tidak korupsi
Besar nanti tidak mencuri
Dari dini memagari
Dari dini selagi pagi
“
Apalah Yang Di cari “
Apalah yang dicari
Kais sana kais sini
Lupa bulan lupa matahari
Jauh
disana diharapkan
Dekat
di sini ditinggalkan
Apalah yang dicari
Makan tidak minumpun tidak
Lebih dengan duniawi
Usia sendiri taupun tidak
Apalah
yang dicari
Gali
sana gali sini
Lupa
bintang lupa pelangi
Dalam sudah yang dikeruk
Wajah sendiri tak ubah beruk
Apalah
yang dicari
Sembahyang
tidak puasa tidak
Mengira
harta dibawa mati
Berzakatpun
tidak
“Seperti
Guli”
Semalam begitu
Sekarang begini
Besok bagaimana lagi?
Semalam
itu
Sekarang
ini
Besok
yang mana lagi
Ach…
Engkau tak ubah guli
Berputar tak tentu pasti
Semalam
sana
Sekarang
di sini
Besok
dimana lagi ?
Semalam jauh
Sekarang dekat
Besok kemana lagi ?
Ach..engkau
tak ubah guli
Berputar
tak tentu pasti
Semalam sehasta
Sekarang sedepa
Besok atau lusa seberapa lagi ?
Semalam
ya
Sekarang
tidak
Besok
apalagi ?
Ach… engkau tak ubah guli
Berputar tak tentu pasti
“
S o r K a l i “
Lihat tingkah kau
Sor kali kau !
Pas lewat depan aku
Fuih… muak aku
Jadi hilang selera makan
Tak
usahlah patentengan
Bukannya
hebat
Apa
yang kau anggarkan
Wajah
kau itu ?
Duit
kau itu ?
Mendengar
nama kau saja
Jadi
mual perut aku
Banyak kali bongak kau
Obral sana obral sini
Sor kali aku bah !
“
Permainan anak “
Tidak seperti hari bisa, hari ini
panasnya seakan membakar bumi. Padahal matahari belum pun tinggi, belum tegak
diatas kepala. Teriknya sudah sangat terasa. Masih jam 10 pagi, orang-orang
sepertinya enggan berjalan di bawah matahari, hanya satu dua saja lalu lalang.
Itupun karena ada keperluan.
Di pasar Kartini Kisaran jam 10
pagi sudah kelihatan sepi. Yang berbelanjapun tidak seamai tadi pagi. Orang
kebanyakan menyebutnya pajak pagi. Yach.. aktifitasnya lebih ramai subuh dan
pagi hari. Sementara siang dan sore sudah sepi. Merekapun lebih terbiasa
menyebut pasar dengan sebutan pajak. Bagi pedagang Pajak Kartini yang akan
berjualan di kampung-kampung atau desa jam 10 pagi sudah membereskan barang
dagangannya dengan rapi dan disusun di mobil box atau pick up. Biasanya para
pedagang tersebut berangkat menuju kampong-kampupng atas desa selesai shalat
zuhur. Sedangkan para pedagang yang tidak berjualan ke kampong-kampung sambil
menunggu pembeli merekapun membereskan barang dagangannya ke dalam peti atau
sekedar merapi-rapikan jualan mereka.
Jarak dari pajak Kartini ke
kampung-kampung yang mereka tuju + 40 sampai 60 menit. Ada juga yang
sampai ke tempat tujuan + 2 jam. Setiap kampung atau desa tersebut telah
menyediakan tempat khusus untuk para pedagang menjual barang dagangannya
semacam pasar kaget dengan pancang bambu atau kayu seadanya, Yang diberi tempat
plastik guna melindungi barang dagangan dari panas dan hujan. Tidak setiap
hari, seminggu hanya sekali dan tiap kampung sudah ditentukan harinya.
Contohnya Desa Sungai Silau di hari sabtu, Desa Sombahuta dihari minggu,
sedangkan hari Senin di Desa Aek Belu. Sementara Selasa di Desa Tinggi Raja,
rabu dan kamis juga sudah ada tempatnya masing-masing. Yang berjualan siang di
kampong – kampong atau desa biasanya menyebutnya dengan jualan ke pecan-pekan.
Sore hari sebelum sholat maghrib biasanya para pedagang tersebut sudah
membereskan barang dagangannya dan kembali ke tempat dimana mereka berangkat.
Ada juga dalam satu hari terdapat 2 atau 3 pekan, namun jarak dari satu tempat
jualan ke tempat yang lain berjauhan contohnya hari rabu ada yang berangkat ke
pecan Prapat Janji, ada yang ke Pekan Mandoge, ada juga pedagang yang berangkat
ke Pekan Kerenceng. Para pedagangnya pun bukan hanya dari Pasar Kartini saja,
ada yang dari Pasar Bhakti dan Pasar Kota. Ada juga pedagang yang tidak
berjualan di pasar tapi hanya kepekan-pekan saja. Pasar Bhakti serupa dengan
Pasar Kartini, pasar Kota saja yang biasanya berjualan sampai sore hari.
Sedangkan dihari Jum’at walaupun
ada pekannya tidak begitu banyak pedagang yang berangkat. Mereka yang paginya
berjualan di pasar lebih memilih istirahat. Setelah selesai membereskan barang
dagangannya siangnya mereka kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul
bersama keluarga.
Seperti Jum’at ini Ucok yang
berjualan di Pasar Kartini lebih memilih tidak berangkat ke pekan. Sambil
menunggu pembeli yang tidak seramai tadi pagi, ia merapi-rapikan barang
dagangannya Ucokpun berjalan menuju pelataran. Kak Butet yang berjualan nasi
dan minuman tak jauh dari tempat jualan si Ucok, si Tohar yang bekerja pada
Ucok menjaga jualannya, Ucokpun duduk dibangku sebelah kanan untuk dapat
melihat langsung tempat jualannya dari bangku tersebut sambil memesan minuman.
Ucok : “ Kak Butet, kopi satu ! “
(sambil Ucok membuka penutup
gorengan yang ada diatas meja, kak Butet masih merapi-rapikan piring dalam
steling jualan, tanpa melihat asal suara kak Butet menyahutnya.
Kak Butet : “ Kaunya itu Ucok ? “
Ucok : “ Ya iyalah kak, kopinya
biasa “
( sekilas kak Butet memandang
Ucok sambil merapikan letak jilbabnya, Kak butetpun membuatkan kopi yang di
pesan Ucok )
Kak Butet : “ Cok harga bawang
merah sekarang berapa ? “
( ujar kak Butet setelah
meletakkan kopi di atas meja )
Ucok : “ naik kak, 40 ribu sekilo
“
( kembali kak Butet duduk tak
jauh dari Ucok )
Kak
Butet : “ Lihat kau yang di tipi semalam ? Banyak kontener yang berisi bawang
tertahan di pelabuhan, katanya dokumen-dokumennya kurang memenuhi syarat “
Ucok
: “ ya lihatlah kak, tapi mau bagaimana, orang-orang diatas punya kuasa, kalau
aku ini apalah, murah diambil murah dijual, mahal diambil mahal juga dijual.
Tapi kalau harga bwang merah kayak gini, susah juga dijual, yang biasa beli 4
kg jadi beli 1 kg, belum lagi ibu rumah tangga, belinya sekarang per ons ! “
( si Ucokpun menuang kopinya
kedalam piring kecil, alas dari gelas kopi tersebut, meniupnya beberapa kali
lalu menyeruputnya )
Kak
Butet : “ kakak juga susah sekarang Cok, apa-apa mahal, mau menaikan harga nasi
takut pembelinya pada lari “
Ucok : Yach.. macam mana lagi
kak, coba sajalah dulu “
( Muktar yang berjualan ikan
basah datang dari arah belakang dan duduk di hadapan Ucok )
Muhtar
: “ Lomak bonar jang ! Jam segini sudah nyantai minum kopi, tak kapok kan kau
cok? “
Ucok
: “ Bah ! Muhtar sudah habis jualan kau, yang patenlah itu ! hari ini aku tak
ke pekan istirahat dululah besok baru berangkat.
Muhtar
: “ kak Butet kopi satu, yang biaso yo !
( Kak Butet beranjak dari
duduknya membuatkan kopi yang di pesan Muhtar, tak lama iapun meletakkan kopi
di atas meja )
Muhtar
: “ aponyo yang paten, patentengan iyo, sadikit ikan torang bulan cok, kalo
tarong bulan mahal hargo ikan sedikit sajo yang diambil yang penting jadi duit.
Asal bisolah mengopul daput tu, bagulai lomak. Ha…ha…ha…
( Ucokpun ikut tertawa, kak Butet
yang sedang mencuci piring tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Atau yang
baru saja datang dan duduk di samping Ucok ikut tersenyum juga
Atan
: “ Apelah ikan bedue ni, kalaulah bejumpeasek ketawe je, kak butet kopi satu
biasa ya?”
( Atan yang sudah sepuluh taun
merantau di kota Kisaran masih juga terbawa dialek kampung asalnya, Kepulauan
Riau. Di Pasar Kartini atau berjualan sembako. Kembali Kak Butet membuatkan
kopi pesanan Atan. Baik Ucok maupun Muhtar dan Atan memesan kopi dengan sebutan
“yang biasa” namun racikan yang dibuat kak Butet berbeda – beda. Karena ia
sudah paham betul selera mereka masing-masing. Si Tiur anak kak Buter yang
masih berumur 5 tahun sedang asik bermain ular tangga yang jauh dari meja di
mana Ucok, Muhtar dan Atan berada.
Ucok
: “ Bukan begitu lai Atan, tapi teman kita ini si Muhtar, tiap hari gulai
lomak. Ha…ha…ha… ngak ke pekan kau lai ?”
Atan
: “ tau la Cok, ni hari Jum’at ke mesjid ajalah, jangan nak di dunie je bekal
mati harus disiapkan juga”
Muhtar
: “ Botul itu jang, dunio ini kalau makin dikojar makin gilo kito”
Ucok
: “ Kalau macam gini pikiran kau, patenlah itu, bisa maju negara ini, tak ada
lagi bah hepeng na mangatur nagara on”
Atan
: “ amin … ai Cok kite bise becakap cam ni kalau orang lain manelah tau, rambut
je same itam hati tak same, ai zaman sekarang ni orang banyak lempa batu
senbunyi tangan, menggunteng dalam lipatan”.
Muhtar : “ Eit jangan salah kau Tan, dulunya rambut
samo itam hati lain babilang, jaman sekarang ini bukan hati sajo yang tak samo,
rambutpun sudah tak samo. Ada yang hitam ada yang pirang yang kuninglah, yang
hijaulah, yang merahlah poning kepalo aku, sampai-sampai yang dirumahpun mintak
duit katanyo ondak ka salon mamirang rambutnyo”
(
Yang lain mendengar perkataan Muhtar jadi senyum geli )
Ucok
: “ Ada-ada saja bah! Istri kau tu lai ! “
Muhtar
: “ Botul itu Cok, jadi ku bilanglah tak ado duit ke salon mamirang rambut,
kalau mau yang alami, bagus ikut aku malaut, bajomur di matahari karang pirang
sendirinyo “
(
kembali pecah tawa mereka yang mendengarkan ucapan Muhtar )
Atan
: “ Muhtar,,,Muhtar,,, suke betol melawak, geli anak tekak dengar, jadi macam
manelah lagi?
Muhtar
: “ Mandongar itu, langsunglah camborut yang di rumah itu, tapi aku bilang,
adek begini sajo sudah cantik, tak usahlah bapirang rambut tu, elok lagi
bakarudung atau bajilbab, lobih manis ha…ha…ha…
( kak butet pun jadi ikutan
tertawa sambil geleng-geleng kepala mendengar kekonyolan Muhtar )
Atan : “ oh iye,Cok, semalam tak
nonton tipi? Katenye bawang naek, ladapun ikot naek ”
Ucok
: “ Itulah, tadi jugo dibilang kak Butet soal bawang yang masih tertahan di
pelabuhan karna katanya dokumen-dokumen pengurusannya kurang lengkap”
Muhtar
: “ kalau sudah begitu, rakyat kecil la mandarito, tidak pas raso gulai lomak
kalau campuran bawangnyo bakurang ha…ha…ha…”
Atan
: “ Mudah-mudahan orang – orang yang diatas sana cepat tanggap, dengan keadaan
macam sekarang ini jangan sebalom dipileh obral janji sane sini, setelah
tepilih malah sembunyi balek kursi “
Ucok
: “ Betul bah ! seperti permainan catur, kayaknya enteng, tapi kalau diteliti
lebih lanjut paten kali yang menciptakan permainan itu, dimana kita harus paham
bagaimana mengambil langkah atau strategi, agar tidak berakibat fatal, sekali
saja salah melangkah, hancur semua , begitu juga negara ini haruslah
orang-orang yang hebat di atas sana supaya dapat membuat strategi atau dalam
melangkah dengan pemikiran yang teliti cermat dan gemilang kalau salah
melangkah, apa kata dunia “
Muhtar
: “ Kombur kau itu Cok, malotup, macam naga bonar ku dongar, apo kato dunio ?
ha…ha…ha… kalau menurutku bagusnyo kau jadi pangacaro barapi omonganmu”
(
Ucok hanya tersenyum melihat Muhtar berbicara dengan ekspresi wajahnya yang
polos)
Ucok
: “ Belum nasib lae! “
Atan
: “ Aok betol mang kate ikak Cok macam tadi malamlah anak saye ngajak maen
monopoli, saye maen separoh hati nyenangkan hati budak tu, tapi setelah due
tige kali putaran ternyata maen monopoli tu tak gampang, macam bedagang geg, dimana
kita harus beli tempat, sewa tempat, piki pon harus cermat, gerak langkah harus
di jage, salah – salah masok penjare, begitu geg dengan negara ini
mudah-mudahan dapat menterapkan monopoli perdagangan yang sehat. Bia rakyat
kecik tak jadi sekarat.
Muhtar
: “ Sarupolah dengan aku, tapi malu pula aku bacarito, karang tagolak kalian
semua ….
( Muhtar sengaja menggantungkan
ucapannya, sambil menyeruput kopi yang tadi disuguhkan kak Butet, Ucok yang
merasa penasaran segera mengajukan pertanyaan )
Ucok
: “ Bah! Lae mengapa kau jadi malu ? cerita saja belum “
Muhtar
: “ Begini ceritonyo. Semalam aku tidak kalaut, torang bulan anginpun koncang,
jadi badiam dirumahlah aku. Lagi enaknyo basantai datanglah si Ijah anak
perempuan ku itu, mengajak maen congkak, karano mamaknya lagi masak, mau tak
mau maen congkaklah aku macam omak-omak. Berapa kali maen tak pornah monang
aku, torus si Ijah yang monang, dor si Ijah. Begitu dijelaskan si Ijah barulah
paham aku kalau kita harus paham yang mano dulu ondak dijalankan, kita harus jeli
menaksir bijik-bijik dalam lubang – lubang congkak itu. Berarti kalau
disangkutkan dengan negaro, ada jugo manfaatnyo, mano-mano yang harus
didulukan.
Tidak lama Muhtar bercerita,
sayup terdengar suara orang mengaji dari masjid yang tak begitu jauh dari
lokasi pasar, menandakan bahwa sebentar lagi azan shalat jum’at berkumadang.
Dari tempat duduknya tak jauh di mana Ucok , Muhtar dan Atan bercerita. Kak
Butet pun mengingatkan dengan candaan segarnya,
Kak
Butet : “ Bapak-bapak pejabat, bapak mentri, bapak pengacara itu dari mesjid
sudah terdengar suara orang mengaji, bapak-bapak apa tidak beres-beres mau
shalat Jum’at ?”
Atan
: “ Sudah kak Butet, tadi sebelum kesini dah ngemas-ngemas jualan, tinggal di
tutup kios itu. Nak balek lah ni, nak pegi ke mesjid. Berapa kopi kami sekalian
same kopi orang berdue ni ?”
Ucok
: “ Bah ! Lae Atan, jadi tak enak hati aku, makasih la ya, yok jugalah akupun
mau beres-beres jualanku”
Kak
Butet : “ Sembilan ribu Tan “
Muhtar
: “ Alah… gayo kau itu Cok, puro-puro tak ondak, padahal baharap, ha…ha…ha…
( Ucok, Atan dan Kak Butet pun
ikut tertawa. Muhtar pun kembali melanjutkan ucapannya )
Muhtar
: “ Samolah akupun ondak pulang karang talambat ke masjid, ayok semuo.
Assalam’alaikum ”
( Merekapun menjawab salam dari
Muhtar secara berbarengan, Atan pun membayar kopi pesanan mereka kepada kak
Butet dan satu – satu mereka meninggalkan tempat jualan kak Butet.
“
Lihat “
Lihat liar rasa ini
Meliuk sana-sini
Menukik, mencuat
Berlari, melesat
Lihat
binal cumbu ini
Keeling
kesana kemari
Mendaki
sekelebat
Menurun
nikmat
Lihat buas birahi ini
Desah rintih-rintih
Nafsu berkeringat
Tiada penat
Lihat aku
Tubuh
dari liar rasa
Mata
dari binal cumbu
Hati dari buas
birahi
Tak lagi bara
Tak lagi abu
Tak lagi api
Memangku orang
Ditungku besi
“
Jarak Pandang “
Dua selendang jarak pandang
Cukup bagiku memahami
Apa yang sedang engkau kenang
Apa berkecambuk dalam hati
Dua
selendang jarak pandang
Cukup
ku mengerti
Malam
belum hilang
Pagi
masih meniti
Dua
selendang jarak pandang
Cukup
ku tau arti
Bulan masih mengambang
Kidung
belum berganti
Dua selendang jarak pandang
Cukupku salami
Luas angan membentang
Sedang mimpi ditumpuk jerami
Dua
selendang jarak pandang
Apa
aku harus pergi
Tinggalkan
detak ruang
Rindupun
harus berapi
“
Bagai Bayang Semu “
Berkubang dihatimu
Rindu ini jadi berlumpur
Selaksa kecubung biru
Warnanya sedikit kabur
Berendam
di hatimu
Rasa
ini basah kuyup
Laksana
gurindam lagu
Syair
tadah bertangkup
Berdiam hatimu
Kalbu berbisik ragu
Bagai baying semu
Di tiup angin lalu
“
Lelaki Itu mati Sebelum Menjamah “
Tau disebalik kalbu
Debu masih belum tersapu
Desah pilu itu haru
Haru pilu desah itu
Lelaki
itu mati
Sebelum
menjamah ia pergi
Mati
rasa mati cinta
Mati
juga rindu di dada
Bahu diarakkan awan
Bayu mengusap perlahan
Lirih kelu angan tertahan
Tertahan lirih kelu angan
Lelaki
itu mati
Sebelum
menjamah ia pergi
Kehendak
tak lagi meniti
Hasrat
tak lagi jadi
Mata di taburan tabir mega
Nyala kelopak terang saga
Separuhnya segenggam tiada
Tiada segenggam separuhnya
Hilang
sudah arti
Ditimbun
resah
Lelaki
itu mati
Sebelum
menjamah
“
Aku Kau “
Aku kau dua jiwa satu nyawa
Aku kau dua rasa satu cinta
Aku
kau dua hati satu janji
Aku
kau dua mungkin satu ingin
Aku kau satu dari dua kepala
Aku kau satu dari dua daya
Aku
kau dua punya satu pinta
Aku
kau dua tapa satu do’a
Aku
kau dua bunga satu mahkota
Aku
kau dua rumah satu tanah
Aku kau satu dari dua warna
Aku kau satu dari dua nuansa
Aku
kau dua bibir satu tabir
Aku
kau dua jantung satu relung
Aku
kau dua untaian satu belahan
Aku
kau dua buah satu wadah
Aku kau satu dari dua pasang mata
Aku kau satu dari dua pasang
telinga
Aku
kau Satu
Selamanya
selalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar