Minggu, 14 April 2013

CELAH SUKMA Bag. 1



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT saya ucapkan atas selesainya buku ini. Tanpa ridho dan petunjuk dari-Nya mustahil buku ini dapat dirampungkan, tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang membantu dalam menyelesaikan buku ini.
Buku yang terdiri dari beberapa puisi syair sajak dan drama, bercerita akan keindahan makna dalam rangkaian kata. Gelegak dari jiwa dan rasa yang merdeka.

Kisaran, April 2013
Penulis

Iwan Sekopdarat
 

“ Takutnya Aku “

Kala rasa ini tertuang
Takutnya aku memeluk bayang
Tergenang diluas samudra yang membentang
            Kala rindu ini mengalir
            Takutnya aku kelak kan tergulir
            Terbenam aku diantara debu dan pasir
            Hanyut dibawa deburan tetes air
Kala cinta ini mengalun
Takutnya aku tiada ampun
Menyambung jiwa bagai embun
Hilang dibalik rindang nan rimbun
            Kala rasa ini
            Kala rindu ini
            Kala cinta ini
Takutnya aku
Tersakiti terkhianati
Olehmu
Yang menghadirkan mimpi


“ Bisik Bulan “

Sunyi hati disimpang rasa
Terkadang aku terlupa
Merajut mimpi dalam lera
Lirih berkerudung desah
Bulan berbisik mesra
Aku tlah bertemu matahari
Kala terpelanting di telapak pijar
Saling menyapa
Saling menari
Dan berputar
Ketika rirai gerimis reda
Kembali bulan berbisik mesra
Aku ingin melihat pelangi
Pelangi dengan penuh warna – warni
Penuh nuansa alami.
            Ketika rona jingga menjelma
            Kembali bulan berbisik mesra
            Aku ingin melihat lembayung senja
            Teburan cakrawala di ujung pesona
            Maha karya Sang Pencipta

“ Dalam rembang “

Rembang memerah
Langit resah
Bumi gelisah
Tak lagi celah
Hanya desah
            Senja merona
            Cakrawala menata
            Semburut kian sirna
            Hilang seketika
            Hampa
Petang kan datang
Mentari tak lagi garang
Elang punai pulang ke sarang
Ayam bertengger di pucuk rindang
Sekejap lagi tenang


“ Hamba Nan Hina “

Kepadaku seikat bunga
Anggrek melati mawar kenanga
Nusa indah bakung dan seroja
Wewangian dunia
Seribu pesona
Keindahan bunga – bunga
            Kepadaku spectrum warna
Merah kuning hijau biru
Hitam putih abu-abu
Ada juga jingga dan ungu
Nuansa cahaya dari sinar mata
Kesejukan warna – warni
Kepadaku serangkum doa
Malam pagi siang petang
Subuh jua berkumadang
Tiada lelah menadah tangan
Berharap kemuliaan
Dari bunga warna dan do’a
Tengadah do’a hamba nan hina


“ Dari Ini “

Dan ini aku tuliskan
Dari bilah merangkai aksara
Dengan apa yang aku rasakan
Kiranya hatilah yang angkat bicara
            Dan ini aku lukiskan
            Dari kuas ku usap lembut kanvas
            Dengan imajinasi kea lam bebas
            Kiranya aku lelah kehausan
Dan ini aku ukirkan
Dari belati menikam sukma
Dengan hujaman tiada terpilukan
Kiranya hati telah terluka
            Dan ini aku rangkaikan
            Dari kata menyulam kalimat
            Dengan aksara yang tersemat
            Kiranya aku memeluk angan


“ Tak berarti apa-apa”

Tunggu apa lagi
Jangan berhenti di sini
Kayuhkan saja
Selagi bisa
Di sini tak berarti apa-apa
            Jangan tunda lagi
            Selagi semangat berapi
            Dayungkan terus
            Tanpa putus
            Di sini tak ubah harap pupus
Itu tidak dua kali
Lakukan dengan kaji
Teliti dan hati – hati
Selagi usia belum lagi reda
Di sini tidak merubah kemungkinan
Menjadi ada
            Selagi bisa
            Selagi ada
            Selagi usia belum lagi reda
            Tanpa putus jangan pupus
            Terus saja
            Karna di sini tiada guna


“ Mati Suri “

Aku sudah lupa !
Dimana dulu kita pernah berjumpa ?
Wajah itu tidak asing bagiku
Mata itu tidak asing bagiku
Senyum itu tidak asing bagiku
            Tapi sungguh !
            Aku lupa !
            Kapan kita berjumpa
            Dimana kita bertemu
Semua  seakan tiada asing bagiku
Yach…
Mungkin pikiran ini telah buntu
Hingga tak mampu mengingat
Sesuatu dan yang telah berlaku
Tapi tunggu
Bau keringat
Yach… bau keringat
Aroma sangat menusuk pekat
Baru aku ingat
Bahwa itu
 Tak lain adalah dirimu


“ Jantan Dan Betina 

Sepasang dalam tabur bintang
Saling serang
Erang kerit silih selang
Menendang – nendang
Jantan betina satu kandang
            Semalam dalam kelam malam
Saling mencengkram
Sesekali keram
Tak jarang mengeram
Jantan betina hanyut tenggelam

Nafsu mengikat
Sungguh bejat
Meniti peluh keringat
Jantan beting sekarat
Tak lagi hebat
Kandang – kandang tiada tempat
Kadang – kadang hilang niat
Jantan betina penat


“ Lekas “

Lekas aku tiada waktu
Menunggu saja sudah jemu
Apalagi ini
Hilang semua debu
            Lekas kalau mau turut
            Jangan sampai di jemput
            Tunggu apalagi
            Kelak terengut
Lekas…lekaslah
Bergegaslah
Usah malas
            Lekas jangan ragu
            Kelak ragu membuang waktu
Lekas kalau ikut
Lama menunggu menyita waktu
            Lekas jangan malu
            Karna malu mengulur waktu

Lekas…lekaslah
Bergegaslah


“ Hutan dan Metropolitan “

Hutan dan metropolitan
Sebelas dua belas
Kejam dan ganas
            Yang kuat merajalela
            Lemah teraniaya
Yang kuasa melibas
Lemah tertindas
            Hutan dan metropolitan
            Tak jauh beda
            Masih tegak hukum rimba
Hutan terkikis karena erosi
Metropolitan najis ulah korupsi
            Erosi korupsi
            Sebelas dua belas
            Lihat jeli hati – hati
            Juga dengan hati
Hutan dan metropolitan
Hanya beda pengucapan
Tapi satu maksud dan tujuan
Penuh nafsu kebinatangan

“ Dimalam Aku Lupa Berdoa “

Dimalam aku lupa berdoa
Riuh rendah,  setan menbuh belanga
Dimalam aku lupa berdo’a
Gegap gempita, iblis berpesta pora
Dimalam aku lupa berdo’a
Hiruk pikuk, hantu bersuka ria
Dimalam aku lupa berdo’a
Nafsu – nafsu merajalela
Berharap untung-untungan
Mereguk kenikmatan
Mengunyah kemaksiatan
Itu lupa berdoa diwaktu malam
            Melayang jiwa ikut setan
Dimalam aku lupa berdo’a
Disitu jalan masuk dusta
            Dimalam aku lupa berdo’a
            Disitu cara setan menggoda
Dimalam aku lupa berdo’a
Disitu maksud iblis berusaha
            Dimalam aku lupa berdo’a
            Disitu hantu menyusun rencana
Dimalam aku lupa berdo’a
Disitu nafsu menjadi raja


“ Seberapa Besar Hati “

Seberapa besar hati ?
Tak ubah sekepal budak belia
Dari kasat mata
Tapi luasnya
Tiada terhingga
            Seberapa besar hati ?
            Tak ubah biji mangga
            Dari kesimpulannya
            Tapi dalamnya
            Tiada kira
Iman dalam hati
Kebenaran dikerjakan, berharap kemuliaan
Niat dalam hati
Terbagi dua kerat
Yang baik dan yang jahat
Rasa dalam hati
Cinta angkat bicara, diantara gemuruh sukma
Pikiran dalam hati
Setelah melewati tahapan
Lebih mengikuti aturan
Pandangan dalam hati
Rasio perbandingan
Cara membedakan
Jadi…
Seberapa besar hati ?



“ Kopi Cap Pantat Kuali “

Kopiku cap pantat kuali
Tidak beli mudah dicari
Karna aku tidak korupsi
            Jamku cap matahari
            Lihat sinar bayang bumi
            Karna aku bukan pencuri
Makanku hanya ubi
Tinggal cocok tumbuh sendiri
Karna aku tidak korupsi
            Perhiasan ku imitasi
            Mirip sekali dengan yang asli
            Karna aku bukan pencuri
Baik begini
Daripada korupsi
Bagus ini
Dari pada mencuri
            Tak usahlah korupsis
            Tak gunalah mencuri
            Cobalah lebih mensyukuri
            Sebab ini
            Cara yang mumpuni


“ Warisan Indah Penjajah “

Itu warisan
Saling menggulingkan
Saling makan
Warisan indah penjajah
            Itu juga warisan
            Selalu menjatuhkan
            Selalu merubuhkan
            Warisan indah penjajahan
Itu warisan
Memalingkan wajah
Mengatur siasat
Wasiat indah penjajah
            Itu juga wasiat
            Membuat pecah belah
            Jadi sekerat-kerat
Wasiat indah penjajah
Berakar sangat dalam desah
Wasiat indah penjajah
            Berhamparan pecahan
            Warisan indah penjajahan


“ Dari Dini “

Dari dini mengenal budi
Besar nanti tidak mencuri
Kelak, nanti tak korupsi
            Dari dini memahami
            Besar nanti tidak mencuri
            Kelak, nanti tak korupsi
Kelak, nanti tak korupsi
Besar nanti tidak mencuri
Dari dini mawas diri
            Dari dini memelihara hati
            Besar nanti tidak mencuri
            Kelak, nanti tak korupsi
Dari dini belajar arti
Besar nanti tidak mencuri
Kelak, nanti tak korupsi
            Kelak, nanti tidak korupsi
Besar nanti tidak mencuri
Dari dini memagari
Dari dini selagi pagi


“ Apalah Yang Di cari “

Apalah yang dicari
Kais sana kais sini
Lupa bulan lupa matahari
            Jauh disana diharapkan
            Dekat di sini ditinggalkan
Apalah yang dicari
Makan tidak minumpun tidak
Lebih dengan duniawi
Usia sendiri taupun tidak
            Apalah yang dicari
            Gali sana gali sini
            Lupa bintang lupa pelangi
Dalam sudah yang dikeruk
Wajah sendiri tak ubah beruk
            Apalah yang dicari
            Sembahyang tidak puasa tidak
            Mengira harta dibawa mati
            Berzakatpun tidak


“Seperti Guli”
Semalam begitu
Sekarang begini
Besok bagaimana lagi?
            Semalam itu
            Sekarang ini
            Besok yang mana lagi
Ach…
Engkau tak ubah guli
Berputar tak tentu pasti
            Semalam sana
            Sekarang di sini
            Besok dimana lagi ?
Semalam jauh
Sekarang dekat
Besok kemana lagi ?
            Ach..engkau tak ubah guli
            Berputar tak tentu pasti


Semalam sehasta
Sekarang sedepa
Besok atau lusa seberapa lagi ?
            Semalam ya
            Sekarang tidak
            Besok apalagi ?
Ach… engkau tak ubah guli
Berputar tak tentu pasti


“ S o r   K a l i  

Lihat tingkah kau
Sor kali kau !
Pas lewat depan aku
Fuih… muak aku
Jadi hilang selera makan
            Tak usahlah patentengan
            Bukannya hebat
            Apa yang kau anggarkan
            Wajah kau itu ?
            Duit kau itu ?
            Mendengar nama kau saja
            Jadi mual perut aku
Banyak kali bongak kau
Obral sana obral sini
Sor kali aku bah !


“ Permainan anak “

Tidak seperti hari bisa, hari ini panasnya seakan membakar bumi. Padahal matahari belum pun tinggi, belum tegak diatas kepala. Teriknya sudah sangat terasa. Masih jam 10 pagi, orang-orang sepertinya enggan berjalan di bawah matahari, hanya satu dua saja lalu lalang. Itupun karena ada keperluan.
Di pasar Kartini Kisaran jam 10 pagi sudah kelihatan sepi. Yang berbelanjapun tidak seamai tadi pagi. Orang kebanyakan menyebutnya pajak pagi. Yach.. aktifitasnya lebih ramai subuh dan pagi hari. Sementara siang dan sore sudah sepi. Merekapun lebih terbiasa menyebut pasar dengan sebutan pajak. Bagi pedagang Pajak Kartini yang akan berjualan di kampung-kampung atau desa jam 10 pagi sudah membereskan barang dagangannya dengan rapi dan disusun di mobil box atau pick up. Biasanya para pedagang tersebut berangkat menuju kampong-kampupng atas desa selesai shalat zuhur. Sedangkan para pedagang yang tidak berjualan ke kampong-kampung sambil menunggu pembeli merekapun membereskan barang dagangannya ke dalam peti atau sekedar merapi-rapikan jualan mereka.
Jarak dari pajak Kartini ke kampung-kampung yang mereka tuju + 40 sampai 60 menit. Ada juga yang sampai ke tempat tujuan + 2 jam. Setiap kampung atau desa tersebut telah menyediakan tempat khusus untuk para pedagang menjual barang dagangannya semacam pasar kaget dengan pancang bambu atau kayu seadanya, Yang diberi tempat plastik guna melindungi barang dagangan dari panas dan hujan. Tidak setiap hari, seminggu hanya sekali dan tiap kampung sudah ditentukan harinya. Contohnya Desa Sungai Silau di hari sabtu, Desa Sombahuta dihari minggu, sedangkan hari Senin di Desa Aek Belu. Sementara Selasa di Desa Tinggi Raja, rabu dan kamis juga sudah ada tempatnya masing-masing. Yang berjualan siang di kampong – kampong atau desa biasanya menyebutnya dengan jualan ke pecan-pekan. Sore hari sebelum sholat maghrib biasanya para pedagang tersebut sudah membereskan barang dagangannya dan kembali ke tempat dimana mereka berangkat. Ada juga dalam satu hari terdapat 2 atau 3 pekan, namun jarak dari satu tempat jualan ke tempat yang lain berjauhan contohnya hari rabu ada yang berangkat ke pecan Prapat Janji, ada yang ke Pekan Mandoge, ada juga pedagang yang berangkat ke Pekan Kerenceng. Para pedagangnya pun bukan hanya dari Pasar Kartini saja, ada yang dari Pasar Bhakti dan Pasar Kota. Ada juga pedagang yang tidak berjualan di pasar tapi hanya kepekan-pekan saja. Pasar Bhakti serupa dengan Pasar Kartini, pasar Kota saja yang biasanya berjualan sampai sore hari.
Sedangkan dihari Jum’at walaupun ada pekannya tidak begitu banyak pedagang yang berangkat. Mereka yang paginya berjualan di pasar lebih memilih istirahat. Setelah selesai membereskan barang dagangannya siangnya mereka kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul bersama keluarga.
Seperti Jum’at ini Ucok yang berjualan di Pasar Kartini lebih memilih tidak berangkat ke pekan. Sambil menunggu pembeli yang tidak seramai tadi pagi, ia merapi-rapikan barang dagangannya Ucokpun berjalan menuju pelataran. Kak Butet yang berjualan nasi dan minuman tak jauh dari tempat jualan si Ucok, si Tohar yang bekerja pada Ucok menjaga jualannya, Ucokpun duduk dibangku sebelah kanan untuk dapat melihat langsung tempat jualannya dari bangku tersebut sambil memesan minuman.
Ucok : “ Kak Butet, kopi satu ! “
(sambil Ucok membuka penutup gorengan yang ada diatas meja, kak Butet masih merapi-rapikan piring dalam steling jualan, tanpa melihat asal suara kak Butet menyahutnya.
Kak Butet : “ Kaunya itu Ucok ? “
Ucok : “ Ya iyalah kak, kopinya biasa “
( sekilas kak Butet memandang Ucok sambil merapikan letak jilbabnya, Kak butetpun membuatkan kopi yang di pesan Ucok )
Kak Butet : “ Cok harga bawang merah sekarang berapa ? “
( ujar kak Butet setelah meletakkan kopi di atas meja )
Ucok : “ naik kak, 40 ribu sekilo “
( kembali kak Butet duduk tak jauh dari Ucok )
Kak Butet : “ Lihat kau yang di tipi semalam ? Banyak kontener yang berisi bawang tertahan di pelabuhan, katanya dokumen-dokumennya kurang memenuhi syarat “
Ucok : “ ya lihatlah kak, tapi mau bagaimana, orang-orang diatas punya kuasa, kalau aku ini apalah, murah diambil murah dijual, mahal diambil mahal juga dijual. Tapi kalau harga bwang merah kayak gini, susah juga dijual, yang biasa beli 4 kg jadi beli 1 kg, belum lagi ibu rumah tangga, belinya sekarang per ons ! “
( si Ucokpun menuang kopinya kedalam piring kecil, alas dari gelas kopi tersebut, meniupnya beberapa kali lalu menyeruputnya )
Kak Butet : “ kakak juga susah sekarang Cok, apa-apa mahal, mau menaikan harga nasi takut pembelinya pada lari “
Ucok : Yach.. macam mana lagi kak, coba sajalah dulu “
( Muktar yang berjualan ikan basah datang dari arah belakang dan duduk di hadapan Ucok )
Muhtar : “ Lomak bonar jang ! Jam segini sudah nyantai minum kopi, tak kapok kan kau cok? “
Ucok : “ Bah ! Muhtar sudah habis jualan kau, yang patenlah itu ! hari ini aku tak ke pekan istirahat dululah besok baru berangkat.
Muhtar : “ kak Butet kopi satu, yang biaso yo !
( Kak Butet beranjak dari duduknya membuatkan kopi yang di pesan Muhtar, tak lama iapun meletakkan kopi di atas meja )
Muhtar : “ aponyo yang paten, patentengan iyo, sadikit ikan torang bulan cok, kalo tarong bulan mahal hargo ikan sedikit sajo yang diambil yang penting jadi duit. Asal bisolah mengopul daput tu, bagulai lomak. Ha…ha…ha…
( Ucokpun ikut tertawa, kak Butet yang sedang mencuci piring tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Atau yang baru saja datang dan duduk di samping Ucok ikut tersenyum juga
Atan : “ Apelah ikan bedue ni, kalaulah bejumpeasek ketawe je, kak butet kopi satu biasa ya?”
( Atan yang sudah sepuluh taun merantau di kota Kisaran masih juga terbawa dialek kampung asalnya, Kepulauan Riau. Di Pasar Kartini atau berjualan sembako. Kembali Kak Butet membuatkan kopi pesanan Atan. Baik Ucok maupun Muhtar dan Atan memesan kopi dengan sebutan “yang biasa” namun racikan yang dibuat kak Butet berbeda – beda. Karena ia sudah paham betul selera mereka masing-masing. Si Tiur anak kak Buter yang masih berumur 5 tahun sedang asik bermain ular tangga yang jauh dari meja di mana Ucok, Muhtar dan Atan berada.
Ucok : “ Bukan begitu lai Atan, tapi teman kita ini si Muhtar, tiap hari gulai lomak. Ha…ha…ha… ngak ke pekan kau lai ?”
Atan : “ tau la Cok, ni hari Jum’at ke mesjid ajalah, jangan nak di dunie je bekal mati harus disiapkan juga”
Muhtar : “ Botul itu jang, dunio ini kalau makin dikojar makin gilo kito”
Ucok : “ Kalau macam gini pikiran kau, patenlah itu, bisa maju negara ini, tak ada lagi bah hepeng na mangatur nagara on”
Atan : “ amin … ai Cok kite bise becakap cam ni kalau orang lain manelah tau, rambut je same itam hati tak same, ai zaman sekarang ni orang banyak lempa batu senbunyi tangan, menggunteng dalam lipatan”.
Muhtar  : “ Eit jangan salah kau Tan, dulunya rambut samo itam hati lain babilang, jaman sekarang ini bukan hati sajo yang tak samo, rambutpun sudah tak samo. Ada yang hitam ada yang pirang yang kuninglah, yang hijaulah, yang merahlah poning kepalo aku, sampai-sampai yang dirumahpun mintak duit katanyo ondak ka salon mamirang rambutnyo”
( Yang lain mendengar perkataan Muhtar jadi senyum geli )
Ucok : “ Ada-ada saja bah! Istri kau tu lai ! “
Muhtar : “ Botul itu Cok, jadi ku bilanglah tak ado duit ke salon mamirang rambut, kalau mau yang alami, bagus ikut aku malaut, bajomur di matahari karang pirang sendirinyo “
( kembali pecah tawa mereka yang mendengarkan ucapan Muhtar )
Atan : “ Muhtar,,,Muhtar,,, suke betol melawak, geli anak tekak dengar, jadi macam manelah lagi?
Muhtar : “ Mandongar itu, langsunglah camborut yang di rumah itu, tapi aku bilang, adek begini sajo sudah cantik, tak usahlah bapirang rambut tu, elok lagi bakarudung atau bajilbab, lobih manis ha…ha…ha…
( kak butet pun jadi ikutan tertawa sambil geleng-geleng kepala mendengar kekonyolan Muhtar )
Atan : “ oh iye,Cok, semalam tak nonton tipi? Katenye bawang naek, ladapun ikot naek ”
Ucok : “ Itulah, tadi jugo dibilang kak Butet soal bawang yang masih tertahan di pelabuhan karna katanya dokumen-dokumen pengurusannya kurang lengkap”
Muhtar : “ kalau sudah begitu, rakyat kecil la mandarito, tidak pas raso gulai lomak kalau campuran bawangnyo bakurang ha…ha…ha…”
Atan : “ Mudah-mudahan orang – orang yang diatas sana cepat tanggap, dengan keadaan macam sekarang ini jangan sebalom dipileh obral janji sane sini, setelah tepilih malah sembunyi balek kursi “
Ucok : “ Betul bah ! seperti permainan catur, kayaknya enteng, tapi kalau diteliti lebih lanjut paten kali yang menciptakan permainan itu, dimana kita harus paham bagaimana mengambil langkah atau strategi, agar tidak berakibat fatal, sekali saja salah melangkah, hancur semua , begitu juga negara ini haruslah orang-orang yang hebat di atas sana supaya dapat membuat strategi atau dalam melangkah dengan pemikiran yang teliti cermat dan gemilang kalau salah melangkah, apa kata dunia “
Muhtar : “ Kombur kau itu Cok, malotup, macam naga bonar ku dongar, apo kato dunio ? ha…ha…ha… kalau menurutku bagusnyo kau jadi pangacaro barapi omonganmu”
( Ucok hanya tersenyum melihat Muhtar berbicara dengan ekspresi wajahnya yang polos)
Ucok : “ Belum nasib lae! “
Atan : “ Aok betol mang kate ikak Cok macam tadi malamlah anak saye ngajak maen monopoli, saye maen separoh hati nyenangkan hati budak tu, tapi setelah due tige kali putaran ternyata maen monopoli tu tak gampang, macam bedagang geg, dimana kita harus beli tempat, sewa tempat, piki pon harus cermat, gerak langkah harus di jage, salah – salah masok penjare, begitu geg dengan negara ini mudah-mudahan dapat menterapkan monopoli perdagangan yang sehat. Bia rakyat kecik tak jadi sekarat.
Muhtar : “ Sarupolah dengan aku, tapi malu pula aku bacarito, karang tagolak kalian semua ….
( Muhtar sengaja menggantungkan ucapannya, sambil menyeruput kopi yang tadi disuguhkan kak Butet, Ucok yang merasa penasaran segera mengajukan pertanyaan )
Ucok : “ Bah! Lae mengapa kau jadi malu ? cerita saja belum “
Muhtar : “ Begini ceritonyo. Semalam aku tidak kalaut, torang bulan anginpun koncang, jadi badiam dirumahlah aku. Lagi enaknyo basantai datanglah si Ijah anak perempuan ku itu, mengajak maen congkak, karano mamaknya lagi masak, mau tak mau maen congkaklah aku macam omak-omak. Berapa kali maen tak pornah monang aku, torus si Ijah yang monang, dor si Ijah. Begitu dijelaskan si Ijah barulah paham aku kalau kita harus paham yang mano dulu ondak dijalankan, kita harus jeli menaksir bijik-bijik dalam lubang – lubang congkak itu. Berarti kalau disangkutkan dengan negaro, ada jugo manfaatnyo, mano-mano yang harus didulukan.
Tidak lama Muhtar bercerita, sayup terdengar suara orang mengaji dari masjid yang tak begitu jauh dari lokasi pasar, menandakan bahwa sebentar lagi azan shalat jum’at berkumadang. Dari tempat duduknya tak jauh di mana Ucok , Muhtar dan Atan bercerita. Kak Butet pun mengingatkan dengan candaan segarnya,
Kak Butet : “ Bapak-bapak pejabat, bapak mentri, bapak pengacara itu dari mesjid sudah terdengar suara orang mengaji, bapak-bapak apa tidak beres-beres mau shalat Jum’at ?”
Atan : “ Sudah kak Butet, tadi sebelum kesini dah ngemas-ngemas jualan, tinggal di tutup kios itu. Nak balek lah ni, nak pegi ke mesjid. Berapa kopi kami sekalian same kopi orang berdue ni ?”
Ucok : “ Bah ! Lae Atan, jadi tak enak hati aku, makasih la ya, yok jugalah akupun mau beres-beres jualanku”
Kak Butet : “ Sembilan ribu Tan “
Muhtar : “ Alah… gayo kau itu Cok, puro-puro tak ondak, padahal baharap, ha…ha…ha…
( Ucok, Atan dan Kak Butet pun ikut tertawa. Muhtar pun kembali melanjutkan ucapannya )
Muhtar : “ Samolah akupun ondak pulang karang talambat ke masjid, ayok semuo. Assalam’alaikum ”
( Merekapun menjawab salam dari Muhtar secara berbarengan, Atan pun membayar kopi pesanan mereka kepada kak Butet dan satu – satu mereka meninggalkan tempat jualan kak Butet.


“ Lihat “

Lihat liar rasa ini
Meliuk sana-sini
Menukik, mencuat
Berlari, melesat
            Lihat binal cumbu ini
            Keeling kesana kemari
            Mendaki sekelebat
            Menurun nikmat
Lihat buas birahi ini
Desah rintih-rintih
Nafsu berkeringat
Tiada penat
Lihat aku        
            Tubuh dari liar rasa
            Mata dari binal cumbu
Hati dari buas birahi
            Tak lagi bara
            Tak lagi abu
            Tak lagi api
Memangku orang
Ditungku besi


“ Jarak Pandang “

Dua selendang jarak pandang
Cukup bagiku memahami
Apa yang sedang engkau kenang
Apa berkecambuk dalam hati
            Dua selendang jarak pandang
            Cukup ku mengerti
            Malam belum hilang
            Pagi masih meniti
                        Dua selendang jarak pandang
                        Cukup ku tau arti
                        Bulan masih mengambang
                        Kidung belum berganti
Dua selendang jarak pandang
Cukupku salami
Luas angan membentang
Sedang mimpi ditumpuk jerami
            Dua selendang jarak pandang
            Apa aku harus pergi
            Tinggalkan detak ruang
            Rindupun harus berapi


“ Bagai Bayang Semu “

Berkubang dihatimu
Rindu ini jadi berlumpur
Selaksa kecubung biru
Warnanya sedikit kabur
            Berendam di hatimu
            Rasa ini basah kuyup
Laksana gurindam lagu
            Syair tadah bertangkup
Berdiam hatimu
Kalbu berbisik ragu
Bagai baying semu
Di tiup angin lalu


“ Lelaki Itu mati Sebelum Menjamah “

Tau disebalik kalbu
Debu masih belum tersapu
Desah pilu itu haru
Haru pilu desah itu
            Lelaki itu mati
            Sebelum menjamah ia pergi
            Mati rasa mati cinta
            Mati juga rindu di dada
Bahu diarakkan awan
Bayu mengusap perlahan
Lirih kelu angan tertahan
Tertahan lirih kelu angan
            Lelaki itu mati
            Sebelum menjamah ia pergi
            Kehendak tak lagi meniti
            Hasrat tak lagi jadi
Mata di taburan tabir mega
Nyala kelopak terang saga
Separuhnya segenggam tiada
Tiada segenggam separuhnya
            Hilang sudah arti
            Ditimbun resah
            Lelaki itu mati
            Sebelum menjamah

“ Aku Kau “

Aku kau dua jiwa satu nyawa
Aku kau dua rasa satu cinta
            Aku kau dua hati satu janji
            Aku kau dua mungkin satu ingin
Aku kau satu dari dua kepala
Aku kau satu dari dua daya
            Aku kau dua punya satu pinta
            Aku kau dua tapa satu do’a
                        Aku kau dua bunga satu mahkota
                        Aku kau dua rumah satu tanah
Aku kau satu dari dua warna
Aku kau satu dari dua nuansa
            Aku kau dua bibir satu tabir
            Aku kau dua jantung satu relung
                        Aku kau dua untaian satu belahan
                        Aku kau dua buah satu wadah
Aku kau satu dari dua pasang mata
Aku kau satu dari dua pasang telinga
            Aku kau Satu
            Selamanya selalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar