Tentang rindu II bag.3
Padahal sebelumnya Har bingung ingin menyanyikan lagu apa. Har tidak
begitu mahir dalam menciptakan lagu. Ibu Har yang mengetahui masalah itu
segera mengambil gitar dan buku lagu dalam lemarinya. Semenjak
kepergian suaminya, Putri menyimpan gitar dan buku lagu itu, jika kelak
Hari bisa dengan piawai bermain gitar mungkin inilah saat yang tepat
bagi Putri menjelaskan semuanya pada Har tentang gitar, buku dan kisah
Her. Hari terharu mendengar cerita ibunya, bersama ibunya Hari berziarah
ke makam Her yang tak jauh dari makam ayahnya ia membersihkan makam
keduanya. Ia membersihkan makam keduanya tak lupa berdoa semoga ayahnya
dan Her diterima Yang Maha Kuasa. Putri mengajarkan lagu – lagu yang ada
di buku itu pada Har, tidak sulit bagi Har menguasai lagu – lagu
ciptaan Her karena Har memang piawai dalam memetik senar gitar, ia
mempelajari 2 lagu yang ada di buku itu berulang – ulang karena lagu itu
ingin dipersembahkannya kepada sahabatnya Dinda. Adapun kedua lagu itu
berjudul “lebaran sebentar lagi” dan “bulan bahagie” karena acara
perpisahan sekolah berdekatan dengan menyambut datangnya bulan suci
ramadhan karena itu Har memilih kedua lagu ini yang bernuansa bulan
ramadhan.
Adapun lirik lagunya sebagai berikut:
Lebaran Sebentar Lagi
Cipt. Iwan Sekopdarat
C
Lebaran sebentar lagi, hai lebaran sebentar lagi
F C
Minal aidin walfaidzin
G C
Mohon maaf lahir batin 2x
F C
Setelah puasa di bulan ramadhan
G C
Tiba saat di hari kemenangan
F C
Setelah puasa di bulan ramadhan
G
Yang kita jalankan
G A F
Reff Oh lebaran sebentar lagi
G C A F
Minal aidin walfaidzin, oh lebaran sebentar lagi
G C
Maafkan lahir dan batin 2x
( Lagu “Lebaran Sebentar Lagi” bisa di lihat dan di dengar di youtube di pencarian Iwan Sekopdarat )
Bulan Bahagie
Cipt. Iwan Sekopdarat
Amn
Ayah emak sanak saudare, kejap lagi kan puase
E
Riang hati yang tak terkire, kejap lagi hari raye
Amn
Selua baju baru semue, gaye macamlah laksmane
A
Adek kakak kawan semue, itu bukanlah utame
E
Tak baru pon tak la mengape, mantapkan iman di dada
A
Puase penoh semue, ikhlaskan berlapang dade
D A
Yang penteng bersehkan hati saleng memaaf
E A
Salam memberi bia selamat di hari nanti
D A E
Jaohkan iri dan dengki apelagi dendam di hati
A
Bia selamet di hari nanti
A E A
Reff Ayah emak sanak saudare adek kakak kawan semue
E A
Kejap lagi bulan puase kejap lagi hari raye
Amn E Amn
Ayah emak sanak saudare adek kakak kawan semue
E Amn
Ikhlaslah berlapang dade menyambut bulan bahagie
Amn E
Jangan peneng, jangan teleng apelagi sampai bebuneng
Amn
Gaye samseng duet celeng jage mate jangan juleng
( Lagu “Bulan Bahagie” bisa di lihat dan di dengar di youtube di pencarian Iwan Sekopdarat )
Dinda sangat bahagia mendengar lagu yang dibawakan Har untuk
dirinya, acara perpisahan kakak kelas di SMP itu berjalan dengan lancar.
Tidak terasa sekarang Dinda telah duduk di bangku Sekolah Menengah
Umum kelas dua jurusan IPA. Sementara Hari dan Azizah duduk di kelas 3
SMP, hari ini adalah hari pertama mereka libur panjang selesai kenaikan
dan kelulusan sekolah. Hari dan Azizah lulus dengan nilai yang memuaskan
begitu juga dengan Dinda yang sekarang naik ke kelas 3 dengan nilai
yang membanggakan. Ayah Azizah, Pajar menginginkan Azizah melanjutkan
sekolahnya di kampung halaman ayahnya Dabosingkep, selain biaya sekolah
yang mahal di Batam Pajar tak ingin Azizah terikut arus pergaulan anak
sekarang yang menjurus ke arah yang negatif. Azizah pun menuruti kemauan
ayahnya, berat hati Azizah berpisah dengan saudaranya Har dan
sahabatnya Dinda. Hari ini Dinda ke rumah Azizah,ia ingin membelikan
Azizah hadiah berupa kenang – kenangan karena Azizah akan pergi ke
Dabosingkep melanjutkan sekolahnya. Dinda meminta Azizah menemaninya
membelikan hadiah itu di pusat perbelanjaan di muka kuning. Tak lupa
Dinda pun meminta Har untuk menemani mereka. Dari rumah Har Azizah
menelepon ibu Har yang biasa dipanggilAzizah dan Dinda dengan sebutan
“mak long”, Putri ibu Hari mengizinkan Hari menemani Azizah dan Dinda.
Mereka pun pergi ke pusat perbelanjaan yang berada di kawasan muka
kuning dengan menggunakan taksi. Setelah berbelanja beberapa cenderamata
buat Azizah, mereka pun berniat pulang ke rumah. Azizah selalu mengolok
– olok Dinda dan saudaranya. Azizah tau Dinda menaruh hati pada Har.
Har dan Dinda hanya tersenyum mendengar canda Azizah apalagi Azizah
mengetahui bahwa Dinda meminta dengan sangat kepada Har untuk tidak
memanggil dirinya dengan sebutan kakak. Har pun memanggil Dinda dengan
sebutan nama saja. Diam – diam Har pun menaruh hati juga pada Dinda,
namun Har malu untuk mengungkapkannya karena mereka masih anak ingusan
ddan belum pantas bercerita tentang rasa, Har menyimpannya dalam hati.
Selesai berbelanja, Har, Dinda dan Azizah berjalan keluar dari areal
pusat perbelanjaan menuju jalan raya, di simpang muka kuning mereka
berniat menunggu taksi. Beberapa taksi yang di stop mereka tidak
berhenti karena memang penumpangnya sudah penuh, dari arah belakang Har
mendengar suara orang memanggilnya “Har tunggu”, Topan menghampiri Har
“aku ingin membuat perhitungan denganmu”, Topan meneruskan perkataannya.
“ape hal bang Topan, kami rase kite tak punye masalah, mengape bang
Topan datang – datang ngamok”, dengan tenang Har menjawabnya. Dinda
segera menarik lengan Har mengajak berlalu dari tempat itu. “kalau kau
yang tak punya masalah, aku yang punya masalah sama kau, aku ingin
membuat perhitungan denganmu disana, jika kau tidak datang aku tau
sekolah Dinda, aku akan mengancam Dinda”, Topan menunjukkan arah suatu
tempat. Har yang mendengar Topan akan mengancam Dinda segera menerima
tantangan Topan. Dinda dan Azizah melarangnya namun Har tetap bersikeras
menerima tantangan duel Topan. Har mengatakan pada Dinda dan Azizah
untuk tetap menunggu disini, Har berjanji akan kembali, dengan berat
hati Dinda dan Azizah mengizinkan Har, mereka tetap dipinggir jalan
raya. Har berjalan menuju tempat yang ditunjukkan Topan, setibanya
disana Topan telah menanti Har dengan keenam temannya, Har tau bahwa ia
dijebak Topan yang ingin mengeroyoknya.
Topan tersenyum sinis penuh rasa kemenangan, “aku tak perduli Har,
kau mau sabuk coklat, sabuk hitam, dan 1, dan 2, dan 3 aku tak gentar
karena aku dan kawan – kawan, ha…ha..ha…”, Topan tertawa mengejek. “kami
tak mau begadoh bang Topan, jike kami ade salah dengan bang Topan
maafkan kami, kami mengaku kalah tolong jangan ganggu Dinda”, dengan
tetap tenang Har menjawabnya. Tiada sedikit pun rasa gentar di wajah Har
menghadapi Topan dan kawan – kawannya. “cuiiiih, banyak cerita kau
terima ini, hiaaaat!!”, Topan meludah ke tanah dengan satu gebrakan ia
mulai menyerang Hari disusul teman – temannya. Pertarungan yang tidak
seimbang tak dapat dielakkan lagi. Hari dikeroyok Topan dan teman –
temannya, dengan menggunakan jurus – jurus karate Har coba bertahan
menangkis serangan. Har tidak menggunakan ilmu silat laksmane, ia ingat
pesan Mak Biah dan pakciknya, jika dalam keadaan terdesak saja baru
boleh digunakan ilmu silat itu, dikeroyok sedemikian rupa Har akhirnya
terdesak namun ia tetap bertahan untuk tidak menggunakan ilmu silatnya
apalagi salah seorang teman Topan menggunakan sepotong kayu menyerang
Har dengan jurus karate. Har menangkis kayu tersebut dengan tangannya,
kayu itu mengenai jari Har dan mematahkan cincin di jari Har pemberian
Mak Biah. Har tertegun melihat cincin dari tanduk rusa pemberian Mak
Biah patah dan jatuh menjadi dua bagian ke tanah, buyar konsentrasi Har.
Kesempatan ini digunakan teman Topan menghantamkan kayu ke kepala Har,
har terhuyung dengan darah segar yang keluar dari kepalanya. Topan dan
teman – temannya memukuli Har dengan pukulan dan tendangan yang bertubi –
tubi membuat Har tersungkur roboh di tanah tak jauh dari patahan cincin
itu. Topan tersenyum puas dapat merobohkan Har, bersama teman –
temannya Topan terbawa bangga. Har tergeletak di tanah tidak terima
diperlakukan sedemikian rupa, hilang sudah kesabaran Har, ia segera
bangkit memunguti patahan cincin itu lalu menyimpannya di sakunya. Har
membuat kuda – kuda rendah dengan suatu gerakan aneh, ia mulai
mengeluarkan ilmu silat panglimanya. Teman – teman Topan menertawakan
gerakan Har seperti orang mau menari karena Har menepuk – nepukkan
tangannya. Dengan keadaan Har yang sedemikian rupa mereka yakin Har
tidak akan menang melawan mereka apalagi kepala Har telah berdarah dan
wajahnya bengkak – bengkak, darah segar keluar dari mulut dan hidung
har, hanya Topan saja yang ciut nyalinya menatap mata har yang merah
menahan amarah, bagai mata elang, Topan ingat mata itu pernah dilihatnya
sewaktu masih di SD dulu ketika berantam dengan har.
Topan tak sempat mencegah serangan temannya kearah har, har yang
diserang tidak berusaha mundur atau menangkis serangan itu, dengan kuda –
kuda rendah har malah maju membuat serangan silat panglima setelah
tendangan lawan hampir mengenai har, har memiringkan sedikit badannya,
dan langsung memukul dengan kepalan kearah kemaluan lawan disusul dengan
pukulan telak diulu hati lawan, teman Topan yang tadi menyerang pingsan
seketika mendapat serangan dari Hari, Hari tidak menggunakan seluruh
kekuatannya ia hanya mengeluarkan ¼ nya saja, har masih dapat menguasai
dirinya, jika har menggunakan seluruh tenaganya, niscaya lawannya akan
menemui ajalnya, atau setidaknya cacat seumur hidup, Topan dan teman –
temannya jadi ciut nyali mereka terlanjur malu, salah satu teman topan
kembali menyerang har, Topan masih terpaku ditempatnya, har memiringkan
sedikit badannya menghindar tinjuan teman Topan, har menarik tangan itu
kebelakang, mengganjal kaki lawan yang menyerang maju, lalu membuat satu
pukulan yang cukup keras kearah tengkuk lawan yang condong mau roboh,
nasib teman Topan sama seperti teman sebelumnya, dengan seketika ia
jatuh pingsan, Topan yang melihat kejadian itu dengan seketika
memberikan aba – aba untuk kabur, Topan dan teman – temannya lari
terbirit – birit meninggalkan kedua temannya yang tergeletak pingsan,
har tidak berniat mengejar Topan dan teman – temannya, dari arah
berlawanan secara tiba – tiba muncul Dinda, Azizah, Frans dan beberapa
warga ketempat perkelahian, mereka berpapasan dengan Topan cs yang
berlari dengan wajah pucat, ditempat kejadian mereka mendapati har
dengan kepala penuh darah dan wajah yang babak belur, disamping har
tergeletak 2 pemuda yang sedang pingsan, beberapa warga membantu teman –
teman Topan yang lagi pingsan membawa kerumah sakit terdekat, sementara
Frans, Dinda dan Azizah mendekati Hari, Dinda menangis sambil memeluk
har, Dinda sangat terharu akan tanggung jawab har yang melindungi Dinda
dengan tulus. Dinda makin mengagumi har.
Har membiarkan Dinda menangis sambil memeluknya. Azizah dan Frans
jadi ikut terharu melihat kejadian itu. Tak lama Frans pun mengajak
mereka semua pulang. Sewaktu Azizah dan Dinda diminta Har untuk
menunggunya di pinggir jalan, tak lama dari arah batu aji berhenti
sebuah taksi tak jauh dari Dinda dan Azizah berdiri, Frans keluar dari
taksi tersebut. Frans berencana membeli beberapa keperluan kebutuhan
rumah tangganya, biasanya ia bersama istrinya. Frans hanya seorang diri
karena anak mereka kurang sehat jadi istrinya tidak bisa ikut. Frans
yang baru saja turun dari taksi segera dihampiri Dinda dan Azizah,
“om…om, gawat Hari berantam”, dengan suara terengah – engah Dinda
berkata pada omnya. “dimana??”, dengan nada penasaran Frans bertanya
kepada Dinda. “disana om!!”, ujar Azizah sambil menunjukkan jarinya
dimana tempat perkelahian Hari dan Topan. Frans pun meminta beberapa
warga untuk ikut dengannya, coba melerai perkelahian antara Hari dan
Topan namun belum sempat mereka tiba di tempat tersebut, ternyata
perkelahian itu telah usai dengan larinya Topan dan kawan – kawannya.
Dinda sangat mengenali Frans karena Frans sahabat ayahnya, Reno.
Frans juga sahabat Putri ibunya Har karena itu mereka memanggil Frans
dengan sebutan om ( untuk lebih jelasnya baca di novel tentang rindu 1
).
Mereka membawa Har pulang ke rumah Dinda. Di perjalanan Dinda terus
menangis, Har coba meminta Dinda untuk tidak menangis. Dinda menahan
isak tangisnya. Setibanya di rumah Dinda, Siska ibunya Dinda langsung
menanyakan perihal keadaan Har yang wajahnya penuh dengan darah. Azizah
menjelaskan semua kejadiannya kepada tante Siska sementara Dinda
langsung membersihkan luka Har dan mengobatinya. Har tertidur pulas
karena memang sebelumnya sewaktu Azizah dan Dinda minta ditemani ke muka
kuning. Har sudah ingin tidur siang namun demi Dinda, Har berusaha
melawan rasa ngantuknya agar dapat menemani Dinda dan Azizah berbelanja
di muka kuning. Tak lama Frans pun pamit kepada Siska karena ia masih
ada keperluan belanja untuk keperluan rumah tangganya yang di pesan
istrinya. Tak lupa Siska mengucapkan terima kasih kepada Frans yang sudi
mengantarkan Har ke rumahnya. Frans pun kembali ke muka kuning dengan
menggunakan taksi.
Setelah mendengar cerita Azizah, ibunya Dinda paham duduk
permasalahannya. Mereka membiarkan Har yang tertidur di ruang tengah.
Siska segera menelepon Putri dan menceritakan sedikit kejadian yang
dialami Har kepada Putri dan meminta Putri untuk datang ke rumahnya,
bersama Mak Biah Putri datang ke rumah Siska. Azizah dan Dinda
menerangkan kejadian mengapa Har jadi berkelahi kepada Putri, Dinda pun
menangis meminta ibunya Har untuk tidak memarahi Har karena Har tidak
bersalah, Har hanya mempertahankan diri dengan melindungi Dinda. Putri
terharu melihat Dinda memohon kepadanya. Putri pun berjanji tidak akan
memarahi Har karena Putri dan Mak Biah tau duduk permasalahannya. Putri
dan Mak Biah pun membiarkan Har yang sedang tidur di ruang tamu, Putri
berencana memindahkan sekolah Har di tempat lain keluar dari Pulau
Batam. Putri tak ingin kejadian ini terulang kembali, mungkin saja Topan
dan teman – temannya masih menaruh dendam pada Har dan ingin
mencelakakan Har. Putri tidak ingin nyawa Har dalam bahaya, dengan tetap
menyuruh Har bertahan di Pulau Batam, Putri ingin Har melanjutkan
sekolahnya di tempat ayahnya, kakek Har di Jogja karena jarak yang cukup
jauh Putri masih menimbang keputusannya. Mak Biah menyarankan agar Har
melanjutkan sekolahnya di Dabosingkep, selain jarak Pulau Batam dan
Dabosingkep yang tidak begitu jauh, Har juga fasih menggunakan bahasa
melayu, Dabosingkep karena dari kecil memang Har diasuh Mak Biah yang
berasal dari Dabosingkep apalagi Azizah pun melanjutkan sekolahnya di
Dabosingkep atas permintaan ayah Azizah karena jarak yang tidak begitu
jauh kapan saja Putri bisa mengunjunginya di Dabosingkep. Biaya dari
Batam ke Pulau Singkep pun tidak sebesar biaya dari Batam ke Jogja.
Putri dan Siska menyetujui saran Mak Biah dan berencana memindahkan
Har bersekolah di Dabosingkep. Dinda sangat sedih mendengar keputusan
itu namun Dinda mengikhlaskan Har bersekolah di Dabosingkep jauh dari
Batam demi keselamatan jiwa Har dari ancaman Topan teman – temannya.
Setelah Har terbangun dari tidurnya, Putri pun menerangkan perihal
kepindahan Har ke Dabosingkep. Har pun menyetujui keputusan ibunya,
karena tidak ingin bermasalah lagi dengan Topan cs, har melihat raut
wajah sedih Dinda yang tak ingin berpisah dengannya.
Sorenya baru Har, Ibunya dan Mak Biah pamit pulang kepada Sisika dan
Dinda, mereka pun pulang kerumah masing – masing. Mak Biah bercerita
kepada Pajar yang baru pulang dari bengkelnya, tentang perkelahian har
dan rencana Putri untuk memindahkan Har bersekolah di Dabosingkep, Pajar
langsung menuju rumah Putri ia mendapati Har yang sedang berbaring di
kamarnya “hai, pendekar. Mengape lebam biram ? katepoh juare karate
se-Indonesie ?” Pajar coba menggoda Hari “Ai, macam manelah Pakcik di
keroyok 7 orang, pake kayu lagi” ujar Hari, “ngape tak dihantam dengan
silat panglime ?”. Pajar coba mengetus Hari. “kami selalu ingat pesan
Pakcik same ninek, jangan pakai ilmu tu sembarangan hanya dalam keadaan
tedesak je, kami cuma pakai juros karate je, waktu kami tangkes dengan
tangan orang tu mepah kami, cincen tu patah, hilang konsentrasi kami
jadi camnilah akibatnye lebam biram, habestu baru lah kami serang dengan
silat laksemane, 2 orang tebuntang yang laen beterebas. “Har coba
menerangkan kepada Pajar, “jadi awak hantam dengan tenage penoh ye
har?”, tanya Pajar. “dak la pakcik, seperempat je”, jawab har. “ilmu
silat laksemane tu dipakai dalam perang dan betarong hidop mati jaman
raje – raje dulu, banyak yang tau ilmu silat itu tapi die orang tak mau
mengajakan pade orang lain, die takot orang yang diajanye jadi salah
jalan, macam pakcik kau ni duluk, jangan awak meniru kelaku yang tak
baek og har?”, Pajar mengingatkan Har. “iye pakcik, kami selalu ingat
pesan pakcik”, jawab Har. “kejap pakcik cerita cincen tadi kami teringat
cincen tu kat kocek celane di kaen koto, kami ambek luk og pakcik”, Har
segera keluar dari kamar menuju kamar mandi mengambil cincin yang patah
itu dan kembali ke kamarnya. “pakcik kami nak jumpe nenek, kami nak
mintak maaf same nenek, cincen yang nenek kasih patah”, Har segera ke
rumah neneknya atau rumah Pajar, Pajar menyusul dari belakang, har pun
minta maaf kepada neneknya karena tidak bisa menjaga cincin itu. Mak
biah tidak marah dan memaafkan har, Azizah segera membuatkan teh manis
untuk har. Har pun bercerita dengan nenek, Azizah dan kedua orang tua
Azizah. “jadi har awak pindah ke dabok?”, ibu Azizah bertanya kepada har
karena ia tau setelah mendengar cerita mertuanya tadi. “mane baek
mamaklah makcik”, jawab har, “bile berangkat har? Kalau dak berangkatnye
same Azizah je, die pun nak di sekolahkan di dabok, payah di Batam ni
budak – budak maken degel je”, ujar ibu Azizah. “kelak di dabok terserah
awaklah har nak tinggal same Azizah di rumah nenek die tau di rumah
pakcik Hamed kau, adek pakcik ni”, Pajar memberi pilihan pada har untuk
tinggal dimana, antara rumah ibunya Mirna mertua Pajar atau di rumah Mak
Biah yang kini ditempati adik Pajar yang bernama Hamid, Hamid pun sudah
berkeluarga dan mempunyai 2 anak yang masih kecil, seperti Pajar, Hamid
pun membuka bengkel motor. Ilmu itu di dapatkan Pajar dan Hamid dari
ayah mereka yaitu suami Mak Biah semasa hidupnya. Suami Mak Biah
meninggal di saat Pajar duduk di bangku SMA. Pajar pun meneruskan usaha
ayah mereka. Setamat sekolah Pajar langsung merantau ke Batam, ia tidak
kuliah karena keterbatasan dana. Hamidlah yang meneruskan usaha bengkel
mereka. Setelah Hamid tamat sekolah barulah Pajar membawa ibunya untuk
tinggal bersamanya.
“kelaklah pakcik kami tanye same Mamak bile berangkat dan tinggal
dimane”, jawab Har. Tak lama Har pun pulang ke rumahnya. Keesokan
harinya Dinda datang menjenguk Har ditemani Azizah. Dinda bertanya
bagaimana keadaan Har karena Dinda sangat mengkhawatirkan Har, ketika
Har mengatakan bahwa ia sehat – sehat saja baru ia merasa tenang.
Seminggu setelah kejadian itu Putri pun mengantarkan Azizah dan har
untuk melanjutkan sekolahnya di dabosingkep karena masih dalam suasana
liburan Dinda pun ikut mengantarkan Azizah dan har sampai di dabosingkep
atau pulau singkep yang tidak begitu jauh dari Pulau Batam. Kedatangan
mereka disambut baik oleh nenek Azizah. Mereka pun berkunjung ke rumah
Hamid adik Pajar. Har memutuskan untuk tinggal di rumah pakcik Hamid
anak Mak Biah adik Pajar. Har ingin membantu pakcik Hamid di bengkelnya.
Hamid sangat senang har mau tinggal di rumahnya. Har membawa gitarnya
yang dibelikan ibunya hadiah ulang tahun Har saat ia berumur 9 tahun.
Sekali Har pernah memainkan gitar saat ia duduk di kelas 1 SMP. Di acara
perpisahan kakak kelasnya, ia menggunakan gitar dan membawakan lagu
ciptaan Har yang ia persembahkan untuk Dinda. Har mengembalikan gitar
dan buku lagu tersebut pada ibunya untuk disimpan di lemari. Ibunya
meminta Har menyalin ulang buku lagu itu agar Har bisa membawakan semua
lagu Her. Har pun menyalinnya, dari ibunya Har mempelajari lagu – lagu
itu, kini Har sudah paham semua lagu yang ada di buku itu. Har selalu
menyanyikan lagu – lagu ciptaan Her dengan gitar hadiah ulang tahunnya
yang diberikan ibunya.
Hamid dan istrinya membawa mereka mengunjungi beberapa tempat
rekreasi yang berada di Pulau Singkep diantaranya Batu Ampar dan Batu
Berdaun. Batu Ampar merupakan suatu pemandangan yang eksotis, air yang
mengalir disela – sela hamparan batu yang berasal dari mata air gunung
muncung menyerupai aliran sungai kecil bagai intan berkilauan diterpa
sinar mentari. Hawa dingin dari aliran air tersebut menambah kesejukan
hati pada dataran tinggi yang tersusun oleh bebatuan terdapat air
terjun, di bawah air terjunlah biasanya orang membersihkan diri bermain
dan berenang, berkumpul bersama keluarga menikmati panorama alam yang
indah nan asri pepohonan atau hutan alami masih menghiasi di sekitarnya,
kicau – kicau burung masih terdengar, terbang kesana kemari saling
berkejaran. Karena banyak terdapat hamparan batu yang dilewati air dari
mata air gunung muncung. Penduduk setempat menamakannya dengan sebutan
“batu ampar” merupakan salah satu tempat rekreasi aset berharga Pulau
Singkep. Tak jauh dari tempat rekreasi batu ampar terdapat perkampungan
penduduk, nama kampung tersebut adalah “air salak” penduduknya sangat
ramah dan sopan. Selain batu ampar, tempat rekreasi yang tak kalah
menarik adalah “batu berdaun” yang berlokasi di pinggir pantai tak jauh
dari tempat pemukiman penduduk, tempat pemukiman penduduk itu diberi
nama “kampong kebon nio” dikatakan oleh penduduk setempat dengan nama
“batu berdaun karena terdapat batu yang sangat besar di bibir pantai
yang di atas batu tersebut tumbuh suatu tanaman atau sejenis pohon
dengan akar yang menempel di batu itu, oleh sebab itu penduduk setempat
menamakannya “batu berdaun pemandangan pantai di batu berdaun memiliki
keindahan tersendiri, hamparan pasir putih di sekitar pantai bagai
mutiara bertaburan dan apabila kita memandang ke arah laut lepas terasa
sesak di dada sirna laut yang membiru laksana permadani biru beranyam
sutra, nyiur melambai mengiringi nyanyian alam melantunkan lagu
kehidupan dan apabila kita melihat pemandangan di sore hari selesai
turun hujan di sekitar pantai, maka mata kita akan terbuka dan penuh
rasa bersyukur kepada Yang Maha Kuasa atas keagungan ciptaannya.
Lembayung senja merona dihias pelangi pada siluet cakrawala dimana
awan – awan cinta saling berkejaran, camar laut beterbangan, di saat
nelayan mulai melemparkan jalanya sungguh indah nuansa – nuansa bening
pada panorama alam di tepi pantai. Masih banyak lagi tempat – tempat
rekreasi yang berada di Pulau Singkep diantaranya pemandian air panas,
pendakian gunung muncung dll. Namun Hamid dan istrinya membawa mereka ke
batu ampar dan batu berdaun saja karena Putri tidak bisa berlama – lama
di Pulau Singkep, dari pihak puskesmas tempat Putri bertugas ia diberi
izin hanya seminggu berarti hanya lima hari di Pulau Singkep. Setelah
semua urusan perpindahan Har selesai, Putri pun kembali ke Batam bersama
Dinda, kepada Azizah dan Har, Dinda mengatakan sangat merindukan
mereka. Har dan Azizah tidak begitu sulit beradaptasi dengan
lingkungannya, mereka cepat membaur dengan penduduk setempat karena
memang Har dan Azizah sangat fasih berbahasa melayu Dabosingkep, malahan
Har jago merangkai pantun yang sering di dengarnya dari Mak Biah yang
sering berpantun untuk menidurkannya di waktu kecil dulu. Di sini Har
lebih banyak belajar sastra melayu baik itu pantun, gurindam,
peribahasa, syair, dll yang biasa disebut dengan puisi lama. Banyak
orang tua yang sebaya dengan ibunya mengira Hari punya hubungan
kekeluargaan dengan Her, mungkin saja orang tua tersebut kenal dengan
Her atau mungkin teman Her di waktu sekolah. Hari hanya tersenyum
menanggapinya, Hari tak menyangkal kalau ia mirip dengan Her karena
ibunya pernah menunjukkan foto Her kepada Hari. Hari pun sering melihat
foto Her di rumah Dinda yang terpajang di dinding ruang tamu rumah
Dinda. Disitu Her berfoto bersama Reno, Frans dan keempat sahabat
lainnya. Dinda dan kedua orang tuanya pun mengatakan hal yang sama bahwa
wajah Hari sangat mirip dengan Her.
Kini zaman telah berubah teknologi semakin canggih semua serba
modern, dengan adanya telepon seluler atau telepon genggam yang biasa
disebut HP memudahkan orang saling berhubungan berbicara lewat telepon
dimana saja. Dengan HP Hari sering menghubungi ibunya atau Dinda baik
itu bicara secara langsung atau lewat SMS, walau jarang bertemu rindu di
hati Dinda terobati sudah kepada Azizah dan Har mereka selalu
berhubungan lewat telepon seluler. Tak terasa sudah setengah tahun Har
dan Azizah tinggal di Pulau Singkep. Azizah tinggal di tempat neneknya
(ibu Mirna) di sungai lumpur. Sementara Hari tinggal bersama pakcik
Hamid ( anak Mak Biah ) adiknya Pajar di Sekop laut. Pakcik Hamid dan
istrinya sangat sayang pada Har karena Har anak yang rajin dan rendah
hati. Sepulang sekolah Har selalu membantu pakcik Hamid bekerja di
bengkelnya, di Batam pun Har sudah biasa membantu pakcik Pajar di
bengkel karena itu tidak canggung bagi Har bekerja di bengkel. Pakcik
Pajar pun 3 bulan sekali pulang ke Dabosingkep, sekedar memberi uang
belanja dan uang saku Azizah anaknya dan membawakan beberapa alat – alat
onderdil sepeda motor lebih murah di Batam daripada di Dabosingkep.
Putri pun menitipkan uang belanja dan uang saku kepada Pajar untuk
diberikan kepada Har, dalam soal keuangan Har tidak pernah kekurangan
selain uang yang diberikan ibunya, Pakcik Hamid pun sering memberikan
uang saku pada Har yang membantunya di bengkel. Har lebih sering
menolaknya ketimbang menerimanya.
Har dan Azizah bersekolah di SMA N 1 Dabosingkep yang letaknya di
jalan pelajar diperbatasan antara kampung sekop darat bawah dan kampung
pasir kuning, letak sekolah tersebut tak jauh dari tempat tinggal
mereka. Azizah sering mengunjungi saudaranya di bengkel, paling malam
saja Har sesekali mengunjungi Azizah karena di sekolah mereka tiap hari
bertemu. Malam harinya Har lebih sering di rumah bermain gitar dan
bernyanyi ketimbang keluyuran bersama teman – temannya. Malam itu Dinda
menelepon Har lewat HP sekedar bertanya kabar Har, mereka saling
bercanda. Har mengatakan bahwa semalam ia menciptakan lagu buat Dinda.
Dinda penasaran dan meminta Har menyanyikan lagu yang dibuatnya untuk
Dinda lewat HP atas permintaan Dinda, Dinda sangat senang mendengarnya
hingga meminta Har untuk menyanyikan lagu itu sekali lagi, karena malam
semakin larut mereka menghentikan pembicaraan lalu tidur pada mimpi
indah yang terajut syahdu. Dinda sangat bahagia malam itu, sama
sebahagia Har.
Adapun lagu yang diciptakan Hari berjudul “rasaku malu” yang liriknya sebagai berikut.
Rasaku Malu
Cipt. Iwan Sekopdarat
Amn E
Menganyam tikar gadis melayu
E Amn
Tikar dianyam di depan pintu
Dmn Amn E
Karna cinta hati pon malu pabila ketemu
Amn
Terselip ku rindu 2x
Amn Dmn Amn
Kunang – kunang sayap terbang menyala
Dmn E
Terkenang – kenang ku asmara
C G
Reff Pelepah pisang hijau berwarna
F C
Indah dimata elok dirupa
Dmn C
Hatiku terpasung karna cinta
G C
Lelah rasaku tak berdaya
C G
Biduk berlayar arah utara
F C
Merekah sampan kayu cendana
Dmn C
Hendak kutanya kabarnya cinta
G C
Ataukah ku simpan di dada
( Lagu “Rasaku Malu” bisa di lihat dan di dengar di youtube di pencarian Iwan Sekopdarat)
Pagi harinya Har mendapat SMS dari Dinda. Dalam SMSnya Dinda menulis
“maaf jika aku salah menduga dengan lagu yang kau ciptakan untukku, dan
sekali lagi maaf atas kelancanganku tak pantas bagi seorang wanita
mengatakannya lebih dulu namun aku tak sanggup menahan semua ini, jika
ini membuatmu merasa terganggu maafkan aku. Dinda yang merinduimu”.
Har bahagia membaca SMS ini, ia pun membalas pesan singkat Dinda
mengatakan bahwa ia pun sama merasakan apa yang dirasakan Dinda,
akhirnya Har dan Dinda resmi berpacaran walau lewat telepon genggam.
Hari – hari yang mereka lalui penuh dengan keceriaan semoga dengan
hubungan ini menjadi acuan atau semangat mereka menggapai cita – cita.
Azizah sangat senang mendengar kabar ini karena memang Azizah ingin
saudaranya Hari lebih dekat dengan sahabatnya Dinda. Azizah pun berjanji
pada Dinda untuk selalu menjaga saudaranya Hari buat Dinda. Malamnya
jika mereka berbicara lewat telepon Dinda selalu meminta Har menyanyikan
lagu yang dibuat Hari untuknya karena Dinda sangat senang mendengar
lagu tersebut. Lagu yang berjudul “rasaku malu” tergolong dalam lagu
melayu karena pada lirik lagu itu terdiri atas beberapa bait pantun yang
disisipkan dengan gurindam pada puisi lama dirangkum dan dikemas
menjadi lirik lagu. Sengaja Har menciptakan lagu itu buat Dinda karena
dari tubuh Dinda masih mengalir darah melayu. Siska ibunya Dinda asli
melayu asahan, kedua orang tua Siska, kakek dan nenek Dinda berasal dari
suku melayu Asahan. Mereka tinggal di kota Kisaran, sementara Reno ayah
Dinda perpaduan dari jawa dan batak. Ayah Reno kakeknya Dinda orang
jawa sementara ibunya Reno atau opungnya Dinda asli orang Tapanuli yang
biasa disebut suku batak bermarga “marpaung”. Dinda biasa memanggil
kakek dan neneknya ayah dan ibu Reno dengan sebutan opung doli (untuk
laki – laki) dan opung boru (untuk nenek perempuan). Opung Dinda tinggal
di binjai mayoritas suku batak tak jauh dari kota Medan Sumatera Utara,
baik Putri, Siska dan Reno tau hubungan anak mereka. Mereka
menyetujuinya, Putri berpesan agar Har selalu menjaga hatinya, jangan
sampai dengan hubungan mereka menjadi retak persahabatan kedua orang
tuanya. Har pun berjanji kepada ibunya untuk tidak mempermainkan Dinda,
Reno juga berpesan semoga dengan hubungan ini menjadi semangat mereka
dalam meraih cita – cita Har dan Dinda merasa sangat bahagia setelah tau
kedua orang tuanya menyetujui hubungan mereka, bukan hanya Dinda dan
Har saja yang merasakan kebahagiaan. Azizah pun juga getar – getar rasa
menjalar di hati Azizah dan Firman kakak kelas mereka yang duduk di
kelas 2 pernah terjadi kesalahpahaman di antara Har dengan Firman hingga
berujung pada perkelahian. Azizah yang diberitahukan teman yang lainnya
bahwa terjadi perkelahian di halaman belakang sekolah antara Har dengan
Firman segera menuju ke tempat kejadian. Azizah segera menuju ke tempat
kejadian. Azizah segera meleraikan keduanya, darah segar keluar dari
hidung dan mulut Firman terkena pukulan karate Har. Azizah tak ingin
Firman kekasihnya menjadi bulan – bulanan Har karena Azizah tau betul
siapa saudaranya itu.
Azizah memberi pengertian kepada saudaranya Har, Har cuma tak senang
ketika coba menasehati Firman untuk tidak mempermainkan saudaranya
Azizah, Firman menjawab dengan acuh, Firman pun merasa kurang nyaman
jika harus didikte Hari yang tidak lain adik kelasnya sendiri. Perang
mulut terjadi diantara mereka hingga berujung dengan perkelahian,
setelah Azizah menengahi barulah mereka sadar atas kekhilafan mereka.
Her pun minta maaf dan Firman juga meminta maaf, mereka akhirnya
berpelukan. Azizah merasa tenang melihat keduanya akur. Har meminta
Firman untuk selalu menjaga Azizah dan tidak mempermainkan Azizah.
Firman pun berjanji kepada Har untuk menjaga Azizah. Perkelahian itu
berawal ketika jam istirahat pertama, Har yang mendengar kabar bahwa
Azizah kini berpacaran dengan Firman ingin menanyakan langsung kepada
Firman, ketika bertemu di kantin, Har berkata “man, ape betol awak cewek
Azizah, kalau betol tolong jangan maenkan ati Azizah”, ujar Har. “tak
janjilah, Tuhan punye kuase kalau jodoh tak kemane”, dengan cuek Firman
menjawab sambil tersenyum sinis Firman tidak memandang lawan bicaranya,
teman – teman Firman yang lain pada tertawa tertahan Har merasa
dipermainkan namun ia tetap bersabar, “kami cakap betol man”, Har coba
meredam emosinya, “ngape rupanye aku tak becakap betol ke, awak tak
pecaye Tuhan? Aku memang cewek izah kau tak senang, kau nak ape?”,
Firman yang tadinya cuek merasa di dikte adik kelasnya, ia malu pada
teman – temannya karena itu ia menjawab dengan keras. “ndok awak ni man,
kami tanye baek – baek mengape awak besinge?”, Har masih tetap tenang.
“aku tak senang kau cakap macam tu di depan kawan – kawan aku, kalau kau
tidak suka same aku ayok kite betumbok satu lawan satu”, Firman pun
mencengkram kerah baju Har, Har segera menepis tangan Firman tidak
sepatah kata pun keluar dari mulut Har, ia mengikuti Firman menuju
halaman belakang sekolah dengan postur badan Firman yang lebih tnggi dan
lebih besar dari Har ditambah lagi dengan ilmu silat yang dimilikinya.
Firman merasa dengan mudah dapat mengalahkan Har dalam beberapa gebrakan
saja, terjadi perkelahian antara Firman dan Har. Firman membuka dengan
kuda – kuda rendah dan bergaya seperti orang menari sambil menepuk –
nepukkan tangannya. Har hapal gerakan itu. Itu adalah ilmu silat
panglima sebelumnya pakciknya Har (Pajar) telah berpesan agar ditanah
melayu Har harus hati-hati menggunakan silat panglima karena di tanah
melayu ada juga orang yang menguasai ilmu silat panglima “diatas langet
maseh ade langet”, itulah pesan Pajar pada Har. Har berhati – hati
menghadapi Firman dengan silat panglimanya. Har berniat menjajal Firman
dengan pukulan dan kuda - kuda karatenya saja namun menggunakan kepekaan
mata batin untuk melihat arah serangan lawan yang dipelajari dari silat
panglima. Firman segera menyerang, beberapa jurus-jurus pembuka atau
jurus-jurus awal dikeluarkan Firman, dengan mudah dapat ditangkis dan
dielakkan Har. Har berpikir mungkin saja Firman tidak mengeluarkan
semuanya karena memang silat panglima sangat berbahaya. Har coba
memancing emosi Firman dengan tidak menyerang, ia hanya mengelak
serangan itu atau menangkis dengan satu tangan, sementara tangan yang
lain tetap berada dibelakang, Firman merasa dipermainkan, baik dikampung
atau disekolah Firman sangat disenangi kawan – kawannya karena Firman
menguasai ilmu silat panglima dan jago berantam, sebenarnya Firman anak
yang baik ia merasa kurang senang saja ditanya Har adik kelasnya seakan
mendiktenya padahal Firman sangat disegani oleh kawan – kawannya dan
sekolah ini, sebenarnya Har juga salah, karena dibawa rasa penasaran ia
bertanya pada Firman tidak pada tempatnya, akibat kesalahpahaman ini
berujung dengan perkelahian.
Firman pun terpancing emosi, ia menyerang Har dengan kekuatan penuh
dengan jurus – jurus pembuka segala kemampuan telah ia kerahkan namun
tak sanggup merobohkan Har, biasanya Firman merobohkan lawannya hanya
dalam beberapa gebrakan saja, sekalipun lawannya punya ilmu bela diri,
tak mampu menandingi Firman, Firman sadar bahwa Har lawan yang tangguh,
semua jurus telah ia kerahkan, namun Har tidak roboh, kini Har tau
kemampuan Firman, Firman menguasai ilmu silat laksemane hanya sebatas
jurus pembuka saja, tanpa ada jurus – jurus pamungkas yang mematikan,
Firman juga tidak belajar ilmu kepekaan mata batin dari silat panglima
tersebut. Mungkin saja orang yang melatih Firman tidak mengajarkan
semuanya, karena tau silat panglima itu sangat berbahaya dan melatih
Firman sebatas jurus pembuka, mungkin orang itu takut dengan menguasai
semua ilmu silat panglima, Firman jadi lupa diri dan salah jalan, kini
pahamlah Har akan pesan pakcik Pajar mengatakan “diatas langet, maseh
ade langet”, itu berarti tidak menutup kemungkinan ilmu silat panglima
yang dikuasai Har, ada taraf atau tingkat yang lebih tinggi lagi, yang
tidak har ketahui, karena itu Har harus berhati – hati ditanah melayu.
Har yang melihat serangan Firman yang sudah tidak beraturan, membuka
serangan dengan pukulan karatenya, hingga menyebabkan hidung dan bibir
Firman berdarah, Firman sempoyongan disaat itulah Azizah melerai
perkelahian tersebut, kini setelah saling memaafkan tak ada lagi dendam
diantara har dan Firman, mereka sama – sama mengakui kekhilafan mereka.
Malamnya Azizah menjenguk Firman ia khawatir dengan wajah Firman
yang tadi berdarah, disaat berantam sama Her, rupanya Firman sehat –
sehat saja hanya sedikit lecet dibibirnya, Azizah tau bahwa Har tidak
meladeni Firman dengan sepenuh hati, kepada Firman Azizah bercerita
siapa Har sesungguhnya, Firman pun jadi malu, ia sadar bahwa ia bukan
tandingan Har, kalau Har mau dalam sekali gebrakan saja Firman bisa
pingsan dibuatnya.
Disekolah mereka hanya menunggu pembagian rapor kenaikan kelas, dan
pengumuman kelulusan mereka baru selesai ujian. Dinda meminta Har untuk
liburan kembali ke Batam Dinda ingin bertemu dengan Har karena selesai
kelulusan Dinda akan kuliah di Medan dan tinggal dengan opungnya, Ibu
Har pun mengatakan hal yang sama meminta Har ke Batam, setelah pembagian
raport dan liburan sekolah, Har dan Azizah kembali ke Batam melepas
rindu pada orang tua mereka, nenek Azizah berpesan agar Azizah singgah
dulu ke Pulau Penyengat mengantarkan Lempok, dan Tempoyak dari durian
kerumah Maklong Habibah, kakak dari Ibu Azizah. Neneknya juga mengatakan
agar Azizah dan Har hendaknya menginaplah di Penyengat barang 2, 3
malam. Azizah dan Har menuruti pesan neneknya, Lempok dan Tempoyak
adalah salah satu makanan khas Dabosingkep, Lempok durian berupa semacam
manisan dari durian, sementara Tempoyak adalah durian yang sudah
dibuang bijinya disimpan didalam toples, beberapa hari seperti
diasamkan, biasanya dijadikan sambal. Har dan Azizah naik kekelas 2
dengan nilai yang memuaskan, juga Dinda lulus dengan nilai yang
membanggakan.
Pagi itu Har dan Azizah sudah bersiap – siap untuk berangkat, dengan
menggunakan mobil sewa mereka menuju Pelabuhan jagoh, disana mereka
membeli tiket kapal feri tujuan Tanjung Pinang, karena tidak ada jurusan
yang langsung ke Batam. Jarak P. Singkep ke Tanjung
Pinang kurang lebih 4 jam perjalanan lewat laut, karena Kepulauan Riau
terdiri dari pulau – pulau. Untuk menuju kesatu pulau harus menyebrangi
lautan. Mereka harus transit di Tanjung Pinang dahulu. Dari Tanjung
Pinang menggunakan speed boat baru menuju Batam, jarak Tanjung Pinang ke
Batam kurang lebih 1 jam perjalanan lewat laut.
Dari Dabosingkep Har dan azizah berangkat pukul 7 pagi dan tiba di
Tanjung Pinang kurang lebih pukul 11.30 wib, mereka berjalan keluar
menuju tangkahan atau dermaga yang membawa mereka ke Pulau Penyengat
sejenak Har dan Azizah beristirahat, mereka makan siang di Tanjung
Pinang, selesai makan barulah mereka manuju ke Pulau Penyengat dengan
menggunakan Pompong, atau perahu biasa yang diberi mesin, Har tau Pulau
Penyengat dari cerita teman – temannya saja atau dari buku sejarah. Har
sangat bahagia menginjakkan kakinya di Pulau Penyengat, ia ingin melihat
– lihat bukti sejarah dan mempelajari sejarah Pulau Penyengat.
Jarak Pulau Penyengat tidak begitu jauh dengan Tanjung Pinang, dari
Tanjung Pinang kita sudah bisa melihat Mesjid Penyengat yang bersejarah
itu, kurang lebih 6 km dan 15 menit waktu yang diperlukan menyebrangi
lautan untuk sampai di Pulau Penyengat. Siang harinya begitu tiba di
Pulau Penyengat terdengar suara adzan dzuhur dari mesjid Penyengat Har
meminta Azizah untuk menunggu sebentar, Har ingin sholat dzuhur di
mesjid Penyengat yang bersejarah itu, selesai sholat dzuhur barulah Har
dan Azizah kerumahKmakcik Habibah, Babibah adalah kakak Mirna., Ibu dari
Azizah, rumah makcik Bibah tak jauh dari mesjid Penyengat, makcik Bibah
dan suaminya pakcik Hasan sangat senang, kedatangan Azizah dan Har.
Azizah pun memberikan makcik Bibah Lempok dan Tempoyak buatan neneknya,
oleh – oleh dari P. Singkep. Makcik Bibah menyiapkan makan siang
mengajak har dan Azizah makan, mereka masih kenyang karena baru saja
makan siang di Tanjung Pinang, makcik Bibah membuatkan teh manis dan
menghidangkan sepiring roti mereka bercerita, makcik Bibah menanyakan
kabar ibunya atau nenek Azizah dikampung.
Tak lama mereka bercerita masuk waktu sholat ashar, Har permisi
kepada pakcik Hasan dan makcik Bibah untuk sholat ashar dimesjid. Har
pun sholat dimesjid Penyengat, selesai sholat har mendekati orang tua
yang bersorban putih yang tadi dijumpainya sewaktu bersama – sama sholat
dzuhur. Orang itu bernama atok Dahlan biasa dipanggil dengan sebutan
atok saja, kepada atok Dahlan Har bertanya sejarah Pulau Penyengat. Atok
Dahlan hapal betul sejarah kampung kelahirannya, karena atok Dahlan
asli penduduk Pulau Penyengat. Atok mulai bercerita Pulau Penyengat
biasa disebut dengan Pulau Penyengat Indera Sakti atau Bumi Gurindam 12
adalah pulau kecil yang berukuran ± 2500 m x 750 m. Disini
banyak menyisakan bukti sejarah diantaranya Mesjid Raya Sultan Riau yang
terbuat dari putih telur yang kini disebut dengan Mesjid Penyengat,
makam – makam para raja, makam raja Alihaji, komplek Istana Sultan dan
Benteng Pertahanan di Bukit Kursi.
Pada abad ke – 18, raja Haji membangun sebuah benteng di Pulau
Penyengat tepatnya berada di Bukit Kursi ia meletakkan beberapa meriam
sebagai pertahanan melindungi Pulau Bintan. Pulau Penyengat menurut
sejarahnya adalah pulau yang dihadiahkan Sultan Mahmud kepada istrinya
Putri raja Hamidah, bersamaan dengan itu dibangunlah mesjid Sultan,
terjadi perombakan mesjid itu pada keturunan raja, raja Ja’far membangun
Pulau Penyengat sekaligus memperlebar mesjidnya. Pembangunan mesjid
secara besar – besaran pada masa raja Abdul Rahman dengan gelar yang
Dipertuan Muda Riau – Lingga (1832 – 1844) menggantikan raja
Ja’far. Pada 1 syawal tahun 1284 H (1832 M) selesai sholat ied, ia
menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun mesjid. Dalam gotong
royong masyarakat membawa berbagai perbekalan termasuk telur, karena
berlimpah banyak putih telur yang tidak habis dimakan oleh pekerja putih
telur itu dijadikan campuran adukan, karena mereka yakin dengan
campuran itu bangunan akan lebih kokoh dan tahan lama, di mesjid ini
juga menyimpan Mushaf Al – Qur’an tulisan tangan yang diletakkan
dalam peti kaca didepan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Putera Riau
yang dikirim belajar ke Turki tahun 1867 namanya Abdurrahman Istambul,
ada juga Al – Qur’an tulisan tangan lainnya, namun tak diperlihatkan
kepada umum karena umurnya sudah terlalu tua dan rentan, ditulis pada
tahun 1752 uniknya dibingkai Mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini
terdapat tafsiran – tafsiran dari ayat – ayat Al – Qur’an, bahkan
terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa melayu kata perkata diatas
tulisan ayat – ayat tersebut. Mushaf ini tersimpan bersama 300 – an
kitab dalam dua lemari disayap kanan depan mesjid.
Selain mesjid Penyengat terdapat juga makam – makam bersejarah
diantaranya komplek makam Engku Puteri Raja Hamidah, komplek makam Raja
Alihaji, komplek makam Raja Ja’far, komplek makam Raja Abdul Rahman,
juga terdapat 2 komplek makam yang dari namanya berdarah Bugis yaitu
komplek makam Daeng Marewah dan komplek makam Daeng Celak, mungkin
inilah salah satu sebab banyak warga Pulau Penyengat yang namanya
“Daeng” berasal dari Bugis, seperti halnya pakcik Hasan suami makcik
Bibah sebenarnya ia bernama Daeng hasan Lasindrang namun Azizah lebih
suka memanggil dengan sebutan pakcik Hasan. Pakcik Hasan tak
mempersalahkannya, atok Dahlan bercerita juga tentang raja Alihaji yang
lahir di Pulau Penyengat, anak dari raja Haji Ahmad (1808 – 1873). Raja
Alihaji ulama, sejarawan, pujangga dan pencatat pertama dasar – dasar
tata bahasamelayu lewat buku pedoman bahasa menjadi standart bahasa
melayu, bahasa melayu standart itulah yang dalam Kongres Pemuda
Indonesia 28 Oktober 1928, ditetapkan sebagai Bahasa Nasional.
Beliau keturunan kedua (cucu) dari raja Haji Fisabillilah yang
dipertuan IV dari Kesultanan Lingga – Riau dan juga merupakan bangsawan
Bugis, garis keturunan Daeng Celak, karya monumentalnya adalah Gurindam
12 (1847) menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Judul bukunya Kitab
Pengetahuan Bahasa yaitu kamus Longhet. Melayu, Johor, Pahang – Riau,
Lingga merupakan kamus Eka Bahasa di Nusantara, ia juga menulis Syair
Siti Shianah, Syair Suluk Pegawai, Syair Hukum Nikah dan Syair Sultan
Abdul Muluk. Ia juga menulis buku yang diberi judul Tuhfat Al – Nafis
(bingkisan berharga) tentang sejarah melayu, dan beliau juga menulis
Mukaddimah Fi Intizam (hukum dan politik). Raja Alihaji diangkat sebagai
penasehat kerajaan dan beliau ditetapkan sebagai pahlawan Nasional pada
tanggal 5 November 2004.
Atok Dahlan pun memberitahukan kepada Har beberapa isi Gurindam 12
yang terdiri atas 12 pasal dan dikategorikan sebagai “Syi’r Al –
Irsyadi” atau Puisi Didaktik karena berisikan nasehat dan petunjuk hidup
yang diridhoi Allah. Atok Dahlan hanya memberitahukan 2 pasal saja
yaitu pasal 1 dan pasal 2, Har mendengarkannya dengan seksama.
ð Pasal Pertama
- Barang siapa tiada memegang agama, segala – gala tiada boleh dibilang nama
- Barang siapa mengenal yang empat (dasar ilmu tasawuf
terdiri dari syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat) maka yaitulah
orang yang ma’rifat.
- Barang siapa mengenal Allah, suruh dan tegaknya tiada ia menyalah
- Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
- Barang siapa mengenal dunia, taulah ia barang yang terpedaya
- Barang siapa mengenal akhirat, taulah ia dunia mudharat.
ð Pasal Kedua
- Barang siapa mengenal yang tersebut, taulah ia makna takut
- Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang
- Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa.
- Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat.
- Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.
Har sangat kagum mendengar semua penjelasan atok Dahlan dengan
pengetahuannya yang luas akan sejarah, karena hari semakin sore Har
pamit pulang pada atok Dahlan. Dirumah makcik Bibah, Azizah dan pakcik
Hasan telah menanti Har dengan hidangan sore berupa bubur kacang. Makcik
Bibah hanya tinggal berdua dengan suaminya, kedua anak mereka sudah
dewasa dan bekerja di Pulau Batam dan di Tanjung Balai Karimun. Palaing
suasana lebaran saja anak makcik Bibah baru pulang kekampung halamannya,
malamnya pakcik Hasan pun bercerita kepada Har apa yang diceritakan
atok Dahlan.
Keesokan harinya dengan membawa gitar kecil yang dibelinya di
Dabosingkep di Toko Sakura, bersama Azizah ia melihat tempat – tempat
yang ada di Pulau Penyengat diantaranya komplek makam raja, komplek
istana sultan yang biasa disebut dengan istana kantor dan benteng
pertahanan di Bukit Kursi, dari Bukit ini Har dapat memandang laut
lepas, melihat anak – anak yang bermain dengan perahunya seakan
bercengkrama dengan lautan dan bersahabat dengan alam, disini Har
menciptakan lagu tentang anak – anak tersenut, lagu itu dibuat diatas
Bukit Kursi benteng pertahanan Pulau Penyengat. Adapun lirik lagunya
sebagai berikut
“ Anak Pulau “
Cipt. Iwan Sekopdarat
C A F
Anak pulau, mengitari awan, arungi lautan
G
Hadapi gelombang
C A F
Anak pulau bak elang lautan, hadapi rintangan
G
Yang datang menghadang
G F G C
Berteman dengan lautan
F G C
Bercengkrama dengan samudra 2x
G C F C
Reff Du…du… du… du… du… du… du… duuuu du
C F G C
Duuu dududu dududu duuuu du 2x
( Lagu yang diberi judul Anak Pulau ciptaan Iwan Sekopdarat dibuat
dibenteng pertahanan Bukit Kursi dapat dilihat dan didengar di youtube
di pencarian Iwan Sekopdarat)
Setelah puas seharian mengitar Pulau Penyengat, esok harinya Har dan
Azizah melanjutkan perjalanannya menuju Batam kampung halaman mereka
dengan menggunakan speed boat dari Tanjung Pinang, kini mereka telah
tiba di Pulau Batam dipelabuhan Punggur dengan jarak tempuh 1 jam
perjalanan. Putri mendapati anaknya dirumah sangat bahagia, Putri sangat
rindu pada putranya, begitu juga dengan orang tua Azizah, Azizah
menelpon Dinda meminta Dibda datang kerumahnya, taklama Dinda pun datang
kerumah Azizah, kedua sahabat ini saling melepas rindu, lalu Azizah
menemani Dinda kerumah Har, Azizah sengaja membiarkan Har berduaan
dengan Dinda ngobrol diruang tamu, sementara ia bercerita panjang lebar
dengan maklongnya, (Ibunya Har). Sewaktu ia dan Har bersekolah di
Dabosingkep. Diruang tengah, tak banyak yang dibicarakan Har dan Dinda
mereka hanya saling menatap, saling tersenyum, kadang tertunduk malu,
tidak seperti berbicara ditelpon, mereka sering bercanda, ketika bertemu
lebih banyak hati mereka yang berbicara.
“nda, Topan pernah dak ngusek awak lagi?”, Har menanyakan perihal
Topan yang menyebabkan ia harus pindah bersekolah di Dabosingkep. “nggak
Har, seminggu yang lalu aku pernah bertemu Topan di pintu masuk MKGR,
kayaknya Topan menghindar dariku”, jawab Dinda. “ape sebab?” Har
bertanya penasaran. “nggak tau juga Har, sewaktu bertemu aku melihat
jalan Topan agak pincang, semalam baru aku tau dari Wati teman sebangku
ku mengatakan kini kaki Topan cacat, sewaktu ia berkelahi kakinya
dipukul dengan kayu oleh lawannya”, Dinda menjelaskan pada Har, “ndok
kasian pulak kaweh, dak nyangke die sampai macam tu” Har merasa iba,
lalu mereka terdiam kembali. “bile jadi ke Medan nda?” Har menanyakan
keberangkatan Dinda, “3 hari lagi, karena pendaftaran masuk Perguruan
Tinggi Negeri dibuka seminggu lagi”, jawab Dinda, “ai baruje kami
datang, awak lah nak pegi, ndak rindu ke?” har coba bercanda, Dinda
tersipu malu, Har juga bercerita pada Dinda pengalamannya di
Dabosingkep, juga waktu singgah di Pulau Penyengat. 3 hari waktu yang
sangat cepat bagi mereka melepas rindu. Sewaktu mereka jalan – jalan di
Matahari Mall Centre yang letaknya di Batam Centre. Har dan Dinda
bertemu Topan, Topan coba menghindari Har dengan jalan agak pincang,
“bang Topan, tunggu!”, Har memanggil Topan lalu mendekatinya. Topan pun
berhenti, “ngape cam ni bang?”, tanya Har. “panjang cerita Har, oh ya
Har maafkan aku atas kejadian dulu”, Topan menyodorkan tangannya meminta
maaf, Har pun menjabat erat tangan Topan lalu memeluknya, “same –
samelah bang, saye pon minta maaf”, mereka saling berpelukan. Dinda
tersenyum melihat keakraban yang tulus, “ayok bang, kami mau makan, same
– same kite makan!”, ujar Har, “duluanlah Har, nggak enak ganggu orang
pacaran”, Topan coba bercanda. “ade – ade je abang ni, macam dak orang
lain je ayoklah!”, Har mengajak setengah memaksa, akhirnya mereka
bersama makan bareng. Topan pun bercerita mengapa sekarang jalannya jadi
pincang, Har dan Dinda dengan serius mendengar cerita Topan. Tak lama
mereka pun pulang ke rumah masing – masing tanpa ada dendam sedikit pun
di hati Topan dan Har. Mereka kini sadar dengan kekeliruan selama ini.
Pagi itu di Pelabuhan Sekupang, kedua orang tua Dinda mengantar
Dinda berangkat meninggalkan Batam menuju Medan. Reno ayahnya Dinda pun
ikut berangkat hanya ibunya Dinda yang tidak ikut. Har dan Azizah juga
mengantar Dinda sampai di pelabuhan. Azizah dan Dinda saling berpelukan.
Dinda pun mencium tangan ibunya, mohon doa restu moga sehat danselamat
di perantauan. Har pun menjabat tangan Dinda, lama mereka bersalaman
berat rasa hati keduanya untuk berpisah, “ndok, lame na besalam, kalau
dak kami bilang same maklong awak sekolah kat Medan je, ha…ha…ha…”,
Azizah menggoda saudaranya. Dinda langsung tertipu dan melepaskan
tangannya dari genggaman Har. Har hanya menunjukkan tinjunya pada
saudaranya, tak lupa Har pun dengan hormat menyalami ayahnya. Dinda yang
ikut berangkat menemani Dinda ke rumah opungnya (ibunya Dinda). Azizah
dan Har melambaikan tangan sebagai tanda selamat jalan kepada Dinda dan
ayahnya ketika kapal pelni “sinabung” yang tadinya bersandar di dermaga
kini perlahan mengarungi lautan.
Seminggu setelah itu, Azizah dan Har pun kembali ke Pulau Singkep.
Setelah masa liburan selesai, mereka kembali pada rutinitas masing –
masing. Dinda menelepon Har, mengatakan ia diterima di Universitas
Sumatera Utara. Dinda masuk di Fakultas Pertanian USU karena memang dari
kecil Dinda hobi menanam tanaman di halaman belakang rumahnya, baik itu
bunga atau tanaman palawija, apalagi ayahnya membeli beberapa hektar
lahan pertanian di Kisaran kampung halaman mertuanya untuk pegangan hari
tua mereka karena itu Dinda masuk di Fakultas Pertanian ingin membantu
ayahnya mengolah lahan pertanian dengan hasil yang optimal. Har pun
sangat senang mendengar cita – cita luhur kekasihnya.
Tak terasa sudah setengah tahun Har duduk di kelas dua bersama
Azizah. Har aktif di organisasi siswa mereka dipilih menjadi anggota
OSIS. Hari ini ia membersihkan ruang BP. Har melihat satu piala yang
bertuliskan satu nama yang sangat dikenalnya. Tak lama masuk Pak Frans
Edwinata dan Ibu Ani Setiawati. Pak Frans dan Ibu Ani adalah tenaga
pengajar di SMA N 1 Dabosingkep. Pak Frans yang melihat Hari memegang
piala itu bercerita bahwa piala itu milik Her sewaktu menjadi utusan
perwakilan dari Dabosingkep setelah menyisihkan beberapa perwakilan
sekolah lain yang ada di Pulau Singkep dalam lomba pemasyarakatan dan
pembudayaan P-4. Lomba pidato tingkat Kabupaten Kepulauan Riau yang
diselenggarakan di Tanjung Pinang ( kini menjadi Provinsi Kepulauan Riau
), Her tampil sebagai juara 2 dan piala itulah penghargaan dari
pemerintah yang disumbangkan Her di sekolah tempat ia menimba ilmu.
Sempat terdengar kabar tak sedap bahwa pihak penyelenggara menggeser
utusan dari Dabosingkep agar utusan tuan rumah tampil sebagai juara 1
namun itu tidak terlalu dipermasalahkan utusan dari Dabosingkep karena
itu baik Pak Win dan Bu Ani pernah bertanya kepada Har sewaktu Hari baru
masuk sekolah di SMA N 1, mereka menanyakan apakah Hari punya hubungan
kekeluargaan dengan Her karena wajah Hari sangat mirip dengan Her. Saat
itu Hari hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya terlalu pelik
masalahnya untuk diceritakan. Pak Win juga bercerita bahwa Her adalah
temannya satu sekolah baik SMP maupun SMA. Pak Win kenal baik dengan Her
walau mereka tidak satu lokal, Her di jurusan Biologi dan Pak Win di
jurusan Fisika. Mereka sama – sama alumni SMA N 1 tempat sekarang Pak
Win dan Bu Ani mengajar.
Bu Ani juga menambahkan bahwa Her sahabat baiknya, mereka terus satu
kelas dari SMP sampai SMA. Bu Ani tau betul sifat sahabatnya itu. Tak
lama lonceng berbunyi menandakan jam istirahat selesai. Har kembali ke
kelasnya sementara Pak Win dan Bu Ani berjalan menuju kelas masing –
masing untuk mengajar.
Har dan Dinda sering berhubungan lewat telepon seluler namun
semenjak Dinda di Medan, Har sering menggoda Dinda karena tanpa tak
sadar jika berbicara lewat HP, logat Medan Dinda terbawa – bawa. Dinda
yang merasa digoda hanya merajuk manja pada Har. Pernah pada suatu hari
ketika Har menggodanya, Dinda bertanya apakah di Dabosingkep nggak ada
orang batak?, Har menjawab ada, malah teman sebangkunya di sekolah yang
bernama Bernard Napitupulu asli orang batak yang biasa dipanggil Ober
baru pindah ke Dabosingkep 4 bulan yang lalu karena ayahnya seorang
tenaga pengajar di sekolah menengah pertama di tempatkan di Dabosingkep.
Dinda balik menggoda Har, Dinda mengatakan kalau ia ingin dibuatkan
lagu dalam bahasa batak kepada Har, dalam waktu 1 minggu lagu itu harus
siap, Har menyanggupinya. Setelah selesai menutup telepon baru Har
tersadar bahwa ia dikerjai Dinda karena selama ini ia sering menggoda
Dinda namun Har kembali tersenyum karna Ober bisa membantunya mengatasi
tantangan Dinda.
Keesokan harinya Har bertanya kepada Ober di waktu jam istirahat,
“ber, awak bise bantu aku dak, cewek aku mintak buatkan lagu batak,
waktu de seminggu je”, ujar Har dengan mimik serius. “orang batak
rupanya pacarmu Har?”, Ober malah bertanya, “bukan ber, orang Medan,
bapaknye jawa, mamaknya batak, aku sereng ngaton die, die merajok kalau
dalam waktu satu minggu aku tak bise buat lagu batak, die tak mau cakap
same aku lagi”, jawab Har. “bah, apa itu ngaton Har?”, Ober penasaran.
“ngaton tu macam becandelah becakep ngejek – ngejek siket”, jawab Har
lagi. “ha…ha…ha… apa kau bilang, jangan suka ngerjain orang medan, orang
medan galak – galak, nyanyikan saja lagu Sinanggartullo ha…ha…ha…”,
Ober malah tertawa, “matilah kau ha…ha…ha…”, Ober menambah ucapannya.
“oi ber, orang lagik bingong kau malah ketawe, bise bantu dak?”, Har
masih dengan mimik serius. “asal kau tau Har, orang jawa di Medan
pintar – pintar bahasa batak, kalau pada lagu pemenggalan bahasa nggak
sama Har, kayak pada lirik Jangan Kau Tangisi, dalam bahasa batak Unang
Ho Tangisi ito, kan pemenggalan katanya udah lain, maulah nanti bahasa
bataknya jadi saponggol – saponggol (setengah – setengah) apa kata
dunia! Ha..ha..ha..haa”, Ober coba menjelaskan sambil tertawa. “jadi
macam manelah tu ber, maulah aku tak di cakapkannye lagi”, seakan kecewa
Har mengatakannya. Si Ober senyum – senyum saja melihat sahabatnya lalu
Ober memeluk pundak Har dari samping.
“sudah tenang saja, kalau di tanah melayu punya pantun, di tanah
batak ada umpasa pengertiannya sama sejenis perumpamaan dan nasehat –
nasehat. Bapakku hapal umpasa batak, dari umpasa batak bisa kau jadikan
lagu”, Ober memberi solusi. Her hanya tersenyum dengan wajah berseri –
seri, “makaseh ber, kelak siang aku ke rumah awak”, ujar Har. “sore
sajalah setelah bapakku istirahat”, jawab Ober. Her pun mengangguk,
mereka kebali mengikuti mata pelajaran yang diajarkan guru setelah
selesai lonceng jam istirahat.
Sore harinya Har ke rumah Ober, ia permisi pada pakciknya karena
sore itu tak bisa membantu pakciknya di bengkel. Pakcik Hamid
mengizinkannya. Di rumah Ober ayahnya sedang duduk membaca surat kabar,
segelas kopi menemani ayahnya membaca surat kabar. Ayah Ober bernama
Harisman Napitupulu, ia seorang guru. Har hanya mendengarkan ketika
Ober bercerita kepada ayahnya tentang pembicaraan mereka tadi di
sekolah. Har mengatakan bahwa neneknya Dinda (ibu Reno) boru “marpaung”
ketika Pak Haris menanyakannya. Pak Haris pun menjelaskan ada hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan antara marga “marpaung” dan marga
“napitupulu”. Pak Haris mulai bercerita menerangkan tarombo (silsilah
garis keturunan) marganya yang satu tarombo dengan marga opungnya Dinda.
Secara garis besar dimulai dari raja batak yang tinggal di Pusuk Buhit
mempunyai 2 orang anak yaitu guru tatea bulan dan raja Isumbaon. Dari
raja Isumbaonlah cilak bakal marga mereka. Raja Isumbaon atau raja Somba
mempunyai seorang putra yang bernama tuan Sorimargaraja. Tuan
Sorimargaraja mempunyai 3 orang putra yang bernama Tuan Sorbajulu
bergelar naimbaton, Tuan Sorbajae bergelar nairasaon dan Tuan
Sorbadibanua bergelar naisuanon, dari keturunan Tuan Sorbadibanua
memiliki 8 putra yaitu 1. Sibogotnipohan, 2. Sipaet tua, 3. Silalahi
Sabungan, 4. Raja Oloan, 5. Raja Huta lima, 6. Raja Sumba, 7. Raja Sobu,
8. Raja Naipospos. Dari Sibogotnipohan mempunyai 4 putra yaitu tuan
Sihubil, Tuan Somanimbil, tuan Dibagarna dan raja Sorak makla. Dari raja
Sonak Makla memiliki 4 putra yaitu Simangunsong, Marpaung (marga
neneknya Dinda, biasa disebut boru untuk perempuan), Napitupulu
(marganya Ober dan ayahnya) dan Pardede.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar